Selasa, 22 Maret 2011

DPRA Tolak Bahas Proyek Otsus 2011

Dokumen Pendukung tak Tersedia

Tue, Feb 8th 2011, 10:14

BANDA ACEH - Kelompok Kerja (Pokja) II Badan Anggaran DPRA yang melakukan pembahasan bersama RKA RAPBA 2011 milik Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Senin (7/2) kemarin menolak untuk membahas paket proyek fisik yang bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) maupun dana tambahan bagi hasil minyak dan gas (migas) kabupaten/kota senilai Rp 1,1 triliun.

“Penolakan itu kita lakukan, karena Dinas BMCK dan Bappeda Aceh tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung usulan paket proyek otsus maupun tambahan bagi hasil migas 2011 kepada Pokja II Badan Anggaran DPRA,” ujar Ketua Pokja II Badan Anggaran DPRA, Ir Jufri Hasanuddin kepada Serambi, Senin (7/2) kemarin seusai membahas RKA RAPBA 2011 milik Dinas BMCK Aceh.

Didampingi Sekretaris Pokja, Anwar, Ketua Pokja II Badan Anggaran DPRA itu mengatakan, penolakan tersebut dilakukan karena pada waktu anggota Pokja mempertanyakan usulan paket pembebasan tanah di Kota Banda Aceh senilai Rp 15 miliar, pihak BMCK dan Bappeda Aceh yang dimintai surat persetujuan DPRK dan Wali Kota Banda Aceh atas usulan anggaran sebanyak itu belum bisa menunjukkan dokumennya.

Anggota Pokja punya dasar meminta tanda persetujuan Pimpinan DPRK dan Wali Kota Banda Aceh itu. Dasarnya adalah aturan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengusulan dan Penggunaan Dana Otsus serta Tambahan Bagi Hasil Migas Aceh. Qanun Nomor 2 itu lahir atas perintah Pasal 183 ayat (5) Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 itu dijelaskan, setiap program dan proyek yang diusul yang akan menggunakan dana otsus maupun tambahan bagi hasil migas ke provinsi haruslah yang telah mendapat persetujuan bersama antara pimpinan DPRK dengan bupati/wali kota. Program yang diusul juga harus sesuai dengan isi Pasal 183 UUPA dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.

Persetujuan bersama dari kabupaten/kota itu, ungkap Jufri, diminta DPRA karena berdasarkan pengalaman dua tahun lalu, banyak usulan program dari kabupaten/kota yang menggunakan dana otsus maupun migas yang telah dibahas bersama antara Pokja Badan Anggaran DPRA dengan masing-masing SKPA, para bupati/wali kota dan pimpinan DPRK kabupaten/kota malah minta diganti dengan usulan program yang baru dibuat. Alasannya, usulan program terdahulu belum disepakati bersama. Hal ini sangat merepotkan dan bisa membuat sistem perencanaan pembangunan Aceh tidak fokus pada apa yang akan dicapai dalam tahun berjalan.

Jadi, tegas Jufri, sebelum ada permintaan perubahan anggaran yang telah diusul untuk sebuah program kepada program lainnya dari kabupaten/kota, Pokja II Badan Anggaran DPRA, menolak untuk membahas paket proyek otsus itu. Kepada Dinas BMCK dan Bappeda Aceh diberikan tenggat waktu sampai Kamis (10/2) mendatang untuk menyediakan dokumen pendukung yang diperlukan.

Sementara itu, Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA, Abdullah Saleh menegaskan, pihaknya tidak lagi diberi tugas tambahan memangkas harga satuan barang atau alat tulis kantor (ATK) yang belum rasional/belum memenuhi harga satuan yang telah dibuat Gubernur Aceh.

“Pemangkasan harga satuan yang belum rasional atau belum seragam itu tugasnya Tim Anggaran Pemerintah Aceh,” ujar Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA itu. Sebelumnya, Sekda Aceh, T Setia Budi sudah menegaskan dalam pertemuan dengan Pokja II Badan Anggaran DPRA terkait belum seragamnya harga satuan barang yang terdapat dalam rincian kegiatan anggaran (RKA) masing-masing SKPA yang ditemukan Pokja I-V Badan Anggaran DPRA. Bahwa, menurut Sekda, Pokja Badan Anggaran DPRA tidak perlu sungkan memangkasnya sampai pada harga yang rasional atau sesuai dengan pedoman harga barang yang telah dibuat Gubernur Aceh.

Pernyataan Sekda Aceh itu, kata Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA, Abdullah Saleh, dapat diterima. Tapi, dalam Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TPA) juga terdapat tim kecil yang tugasnya mengoreksi penulisan harga satuan barang pada RKA yang belum sesuai dengan harga pedoman satuan barang yang telah diterbitkan Gubernur Nomor: 028/689/2010 tanggal 8 Desember 2010 tentang Penetapan Standar Barang dan Harga Satuan Barang Kebutuhan Pemerintah Aceh untuk Tahun 2011.

Contohnya seperti yang ditemukan Pokja II Badan Anggaran DPRA terhadap RKA Inspektorat dan Biro Pembangunan mengenai harga satuan pembelian kertas HVS folio 70 gram. Inspektorat menulis dalam RKA-nya Rp 41.000/rim, sementara untuk barang yang sama Biro Pembangunan menulis Rp 33.000/rim.

Tugas untuk membetulkan harga satuan barang yang masih berbeda ini, menurut Abdullah Saleh, bukan tugas Pokja Badan Anggaran DPRA, melainkan tugas tim kecil TAPA, yaitu Bappeda, DPKKA, Biro Pembangunan, dan Biro Perlengkapan. Jadi, setelah pembahasan dengan pokja nanti masih ditemukan harga satuan barangnya belum standar atau seragam dalam RKA SKPA, maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah tim kecil TAPA dimaksud.

Menurut Abdullah Saleh, kalau Tim Perumus Badan Anggaran DPRA harus ikut membetulkan angka harga satuan barang yang belum sesuai dengan harga satuan barang yang telah diterbitkan Gubernur Aceh, boleh saja. Akan tetapi, haruslah melibatkan tim tambahan lagi dan waktu pembahasan RKA SKPA bisa bertambah dua minggu lagi. Akibatnya, pengesahan RAPBA 2011 bisa molor sampai akhir Maret. (her)

Sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar