Minggu, 31 Juli 2011

Pemerintah Tak Taat Aturan Pembangunan

TUESDAY, 31 MAY 2011 22:10

BANDA ACEH – Digelarnya kembali sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus proyek pembangunan Jalan Ladia Galaska merupakan suatu bentuk sikap Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh dan juga merupakan warning kepada Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk menerapkan azas ketaatan pada hukum dan aturan ketika melaksanakan berbagai program pembangunan di Aceh.

Hal ini dikemukakan oleh Direktur Eksekutif WALHI Aceh kepada Waspada Online malam tadi terkait dengan digelarnya sidang perkara pemeriksaan berkas dan bukti baru (Novum) oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh atas proyek Jalan Ladia Galaska pada tahun 2002.

"Insya Allah kami berkeyakinan bahwa atas bukti-bukti baru yang kami serahkan, maka PK yang kami ajukan akan dikabulkan oleh Mahkamah Agung" ujarnya.

Menurutnya, kasus Proyek Jalan Ladia Galaska hendaknya menjadi pembelajaran penting kepada pemerintah Aceh untuk taat aturan dan tidak boleh melanggar aturan main terutama aturan tentang perlindungan hutan dan lingkungan."Program pembangunan apapun yang dikerjakan oleh pemerintah harus mempertimbangkan aturan yang ada, jangan seenaknya main tabrak aturan dan melakukan perusakan terhadap hutan yang seharusnya dilindungi" sebutnya.

Dijelaskannya, dalam proyek pembangunan Jalan Ladia Galaska, banyak aturan yang dilanggar, yakni antara lain Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penataan Ruang, Penanggulangan Bencana dan banyak lagi lainnya.

Ditambahkannya, bukti-bukti baru yang diajukan oleh WALHI Aceh dalam PK di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. Dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan, kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan). Dan selain itu juga pasal 8 ayat (2) PP No.28 Tahun 1985 menentukan, siapa pun menebang pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya. Pasal 50 ayat (3) huruf c. UU No.41 Tahun 1999.

Sumber Waspada.co.id

Tambang di Aceh diminta ditutup

TUESDAY, 31 MAY 2011 15:10

BANDA ACEH - Puluhan mahasiswa dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam barisan rakyat anti tambang melakukan aksi unjuk rasa di kantor gubernur, massa menuntut gubernur segera menutup pertambangan di Aceh.

Data pertambangan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan diantaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan.

Aksi berlangsung ricuh, ketika massa berusaha masuk ke dalam kantor gubernur yang dikawal puluhan polisi dan satpol-pp. Mereka meminta Gubernur Irwandi Yusuf turun menemui mereka.

Sebelum massa berada dipelataran kantor gubernur, massa sempat merobohkan pintu pagar kantor gubernur, karena pada saat itu pintu pagar tersebut ditutup oleh satpam, karena pihak keamanan dari kepolisian belum sampai dilokasi aksi.

Dalam orasinya, koordinator aksi, Robby mengatakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan alam di Aceh adalah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf , setiap izin eksplorasi perusahaan tambang di Aceh ada rekomendasi dari gubernur.

“Kehadiran perusahaan tambang di Aceh tidak akan bisa mensejahterakan rakyat karena yang memperoleh hasilnya adalah perusahaan dan pejabat yang member izin. Apalagi selama ini perusahaan tambang tidak pernah peduli dampak kerusakan alam akibat eksplorasi,”kata Robby.

Aksi tersebut diterima oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan, kepada massa ia mengatakan, izin tambang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tetapi bukan gubernur.

Said menyatakan, tidak ada peraturan yang melarang izin pertambangan, dan peraturan itu terdapat dalam undang-undang, dan qanun, “Saya tidak bisa menutup tambang di Aceh, semuanya kami jalankan sesuai aturan, kalo memang minta stop tambang maka jangan berlakukan UU dan qanun tambang di Aceh,”ujarnya.

Ia mengakui ada eksplorasi tambang di wilayah hutan lindung, dan menurutnya tidak melanggar hokum hanya saja ada ketentuan.

Massa melanjutkan aksi ke hotel Hermec Palace dengan berjalan kaki, karena menurut informasi yang mereka terima bahwa gubernur berada di hotel tersebut.

Sumber Waspada.co.id

BMKG minta waspadai kebakaran hutan

MONDAY, 30 MAY 2011 12:43

BANDA ACEH - Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan diminta untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Sebab, berdasarkan amatan melalui satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18, sedikitnya kembali ditemukan empat titik api (hot spot), setelah sebelumnya ditemukan 11 titik api di kawasan hutan di Aceh.

Peringatan tersebut disampaikan oleh Kepala Bidang Observasi dan Informasi pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar, Alvianto, melalui Prakirawan, Rahmad Tauladani dan Jaya Martuah Sinaga.

Dikatakan, dari empat titik api tersebut, satu ditemukan pada Jumat (27/5) di Abdya dan Sabtu (28/5) ditemukan kembali tiga titik api di kawasan hutan Aceh Barat dan Nagan Raya. Karena itu, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan di tiga daerah tersebut, diminta waspada terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan.

“Titik api bisa kita lihat sekitar pukul 17.00 WIB atau 18.00 WIB. Kebakaran hutan gambut yang terjadi Jumat (27/5) di Abdya, titik apinya sudah padam. Tadi kita amati melalui Satelit NOAA 18. Saat bersamaan kita kembali menemukan titik api kebakaran hutan. Satu di Aceh Barat dan dua di Nagan Raya,” kata Rahmad.

Menurutnya, tiga titik api yang terlihat Sabtu (28/5) kemarin, baru akan diketahui sudah padam atau belum keesokan sore harinya melalui satelit yang sama. “BMKG sekedar menginformasikan hari ini dan kemarin kembali menemukan empat titik api. Ini sebagai informasi kepada instansi terkait dan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Jaya mengatakan dengan semakin bertambahnya titik api di tengah musim kemarau yang sedang melanda Aceh sekarang ini, tentu sangat rawan terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan teriknya sinar matahari. “Karena itu, kita memprediksikan sepekan ke depan (28 Mei-4 Juni), kebakaran hutan dikhawatirkan kembali akan terulang,” katanya.

Dia mengatakan, pada Juli mendatang, suhu akan meningkat mencapai maksimum 35-36 derajat Celcius. Untuk Mei-Juni menurut prakiraannya suhu masih mencapai maksimum 34 derajat celcius. “Dengan suhu udara yang cukup tinggi, mendukung terjadinya titik api kebakaran hutan pada lahan kering dan tanah gambut di beberapa wilayah Aceh,” ujarnya.

Menurut Jaya, fenomena lain yang turut dirasakan sepekan depan meski kemarau, suplai uap air dan pertumbuhan awan hujan (konvektif) berskala lokal masih terjadi di atmosfir Aceh. Dengan demikian meski kemarau, hujan tetap berpeluang terjadi dengan intensitas ringan di pesisir Aceh Utara dan Aceh Timur.

Selain itu, Jaya juga memprakirakan, sebagian wilayah Aceh, akan dilanda angin kencang. Sebutnya seperti di Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Timur. Kecepatan angin yang bertiup dari arah barat daya menuju barat laut dengan kecepatan 10-40 km/jam. “Angin diperkirakan bisa naik lagi kecepatannya maksimum 45 km/jam,” jelasnya.

sumber Waspada.co.id

Jumat, 29 Juli 2011

LSM: Stop izin tambang

MONDAY, 30 MAY 2011 11:21

BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dari beberapa LSM mengingatkan pemerintah tentang berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. Salah satu warning yang dikeluarkan elemen sipil tersebut adalah jangan keluarkan izin tambang kalau pemerintah tak mampu mengontrolnya.

Berbagai persoalan seputar masalah pertambangan mengemuka ketika audiensi aktivis lingkungan dari beberapa LSM dengan Kepala Dinas Pertambangan & Energi (Distamben) Aceh, Said Ikhsan. Audiensi yang berlangsung secara dialogis tersebut mendiskusikan berbagai persoalan tambang di Aceh.

Aktivis lingkungan yang melakukan audiensi tersebut adalah Walhi Aceh, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), dan ACSTF.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal, secara filosofis mengatakan, sejak dahulu bencana memang sudah ada, tak terhindarkan. “Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula kita memperparah dengan merusak alam seperti penambangan. Tambang itu kan udah dipotong di atas, dikeruk lagi di bawah,” katanya.

TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi kemudian tidak mampu mengontrolnya. “Wajar saja jika investor tambang mempertahankan asetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja. Agar tak memunculkan kerugian terhadap semua pihak, stop mengeluarkan izin tambang kalau memang tak mampu mengontrolnya,” ujar Haikal ketika audiensi maupun dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, kemarin.

Dampak buruk
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar menyampaikan berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. “Banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif,” kata Zulfikar.

Walhi mengkhawatirkan kondisi itu, apalagi Aceh termasuk daerah yang rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda. “Dari dua sampel pertambangan, PT PSU di Manggamat dan PT LSM di Lhoong, sudah menimbulkan konflik sosial. Kayaknya cuma mimpi ada perusahaan tambang yang bisa menerapkan prinsip-prinsip good mining practices, saya belum pernah lihat,” jelas Zulfikar.

Zulfikar menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan, dan lainnya. Apalagi kini menurutnya semua mata tengah melirik Aceh, menantikan keberhasilan program moratorium logging. “Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos, bolong-bolong,” kata Zulfikar.

Zulfikar mengingatkan apa artinya jika memiliki banyak emas dari pertambangan tetapi hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak. “Emas nggak ada arti kalau kita tidak ada air yang bisa diminum. Siapkan emas untuk cadangan terakhir, jika yang lain-lain tidak bisa kita olah lagi,” ucapnya.

Sedangkan Rusliadi dari Jatam mengingatkan, konflik tambang di Aceh masih sangat besar. Ia mengambil contoh tambang di Lhoong, yang kebetulan merupakan kampung halamannya.

Sumber waspada.co.id

Gubernur minta hentikan rambah hutan

SUNDAY, 29 MAY 2011 17:10

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menyerukan kepada masyarakat untuk segera berhenti melakukan perambahan hutan, terutama di kawasan hutan lindung sepanjang jalan Takengon (Aceh Tengah)-Beutong (Nagan Raya).

"Ini merupakan kawasan yang harus dilindungi. Saya minta aksi perambahan hutan harus segera dihentikan, sebab jika dibiarkan berlangsung maka ke depan akan menjadi bencana," katanya, sore ini.

Gubernur Aceh menyampaikan hal itu ketika menyaksikan langsung kawasan hutan yang telah gundul di sepanjang ruas jalan antara Kabupaten Aceh Tengah-Nagan Raya, pedalaman provinsi Aceh. Irwandi bersama rombongan "Aceh Internasional 4x4 Tourism Experience" itu melakukan perjalanan tur kawasan pedalaman Aceh, dan sempat memergoki warga yang sedang memotong kayu di wilayah Aceh Tengah dan Nagan Raya.

Karena itu ia meminta bupati di kedua kabupaten itu tidak tutup mata dengan masih adanya aksi perambahan kawasan hutan di daerah masing-masing. "Saya berharap Bupati Aceh Tengah dan Nagan Raya lebih aktif mengontrol kawasan hutan, apalagi di wilayah yang dilindungi seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)," katanya.

Menurut dia, kegiatan pembukaan lahan dan penebangan dihutan lindung tersebut seakan-akan pembiaran oleh kabupaten sehingga masyarakat menilai hal itu boleh dilakukan. "Jika tidak ada larangan maka akan banyak masyarakat yang akan melakukan pembukaan lahan dan menebang kayu di hutan lindung," katanya.

Pihaknya berharap seluruh bupati dan wali kota dapat meningkatkan sosialisasi dan pengawasan hutan lindung untuk mendukung program "Moratorium Loging" (jeda tebang) kayu yang telah dideklarasikan Pemerintah Aceh 2007.

Bahkan, dalam perjalanannya bersama tim "Federasi Off-road Indonesia (IOF)", Irwandi Yusuf langsung berhenti ketika menemukan seorang warga yang sedang membelah kayu di kawasan hutan lindung, Nagan Raya. Gubernur menanyakan surat izin kepada oknum masyarakat sedang memotong kayu di kawasan hutan yang mulai gundul tersebut.

Warga tersebut, Abubakar menyatakan memotong kayu setelah mendapat izin dari pemilik tanah. "Kayu ini untuk membangun rumah, saya memperoleh izin dari pemilik tanah ini," kata Abubakar.

Sumber Waspada.co.id

Tambang untuk generasi mendatang

FRIDAY, 27 MAY 2011 21:18

BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dan beberapa elemen sipil meminta kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini Kepala Dinas Pertambangan dan Energi untuk menerapkan prinsip-prinsip kehatian-hatian dalam memberikan izin pertambangan dan pembukaan hutan untuk lahan pertambangan.

Permintaan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi TM Zulfikar kepada kepala dinas terkati ketika melakukan rapat pertemuan antara aktivis lingkungan, LSM dan komponen sipil lainnya terkait maraknya pertambangan di Aceh dan juga konflik antara masyarakat dan pengusaha tambang beberapa waktu belakangan ini di Aceh.

Dalam penjelasannya dihadapaan Kadis Pertambangan dan Energi Aceh, TM Zulfikar, memaparkan persoalan-persoalan dampak buruk pengelolaan tambangan yang terjadi di Aceh. ‘ Banyak Kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif’ sebutnya.

Dicontohkannya, dari dua perusahaan pertambangan yakni PT. Pinang Sejati Utama (PSU) di kecamatan Manggamat, Aceh Selatan dan PT Lhong Setia Minning (LSM) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, bukan kesejahteraan rakyat yang didapat, namun justru kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang justru terjadi di dua areal tambang tersebut. ‘ Sepertinya Cuma mimpi ada perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip Good Minning Practices dalam pengelolaan pertambangan’ jelasnya.

Dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh WALHI Aceh, TM Zulfikar menyarankan agar pemerintah untuk sementara waktu menyimpan candangan berbagai bahan tambang yang ada di Aceh untuk generasi mendatang dan hendaknya pemerintah lebih memprioritaskan sektor-sektor pertanian, agribisnis, perikanan dan sektir kelautan.
Pertemuan ini juga diikuti oleh bebera organisasi dan elemen sipil lainnya, yakni Jaringan Tambang (JATAM), ACSTF, dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS).

Sumber : waspada.co.id

Kawasan KEL tak ada izin tambang

FRIDAY, 27 MAY 2011 22:10

BANDA ACEH – Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak akan pernah memberikan izin pertambangan diareal Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hal ini dilakukan guna mencegah kerusakan hutan yang meluas dikawasan itu. Penegasan ini disampaikannya kepada Waspada Online malam ini.

‘ Untuk KEL tidak ada tawar menawar konsensi pertambangan didalamnya’ tegasnya.

Menurutnya, Di dalam KEL sendiri mengandung banyak sekali potensi tambang. Namun melarang total pembukaan tambang batu bara atau bijih besi di KEL

Dijelaskannya, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang memiliki Qanun yang dapat mengontrol Izin Usaha Pertambangan nya sendiri, dan saat ini Pemerintah Aceh sedang melakukan review dan evaluasi izin-izin pertambangan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. ‘ Kalau prosedur perizinannya menyalahi aturan, Pemerintah Aceh akan meminta Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencabut dan tidak memperpanjang izin tersebut’ jelasnya.

Ditambahkannya, dari data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan diantaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan.

Sumber : Waspada.co.id

Selasa, 26 Juli 2011

Peresmian PLTA Peusangan Dialihkan ke Sumut

Wed, May 25th 2011, 07:46

BANDA ACEH - Peresmian jarak jauh proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pesangan I dan II di Aceh Tengah, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dialihkan ke Sei Mangkei, Sumatera Utara, pada 27 Mei 2011.

Deputi Manager Komunikasi dan Hukum PT Persero PLN wilayah Aceh, Said Mukharram di Takengon, Aceh Tengah, Selasa menyatakan, seyogiannya peresmian jarak jauh itu dilaksanakan di lokasi proyek, namun karena ada masalah teknis dialihkan ke Sumut.

Dikatakan, peresmian dengan sistem jarak jauh dari Istana Negara menggunakan jasa telekonference yang akan disaksikan para pejabat dari tiga daerah kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Bireuen.

Terkait pemindahan tersebut, Manajer Proyek PLTA Peusangan Ir Eddy Nirwan mengatakan pengalihan itu adalah ketentuan dari Istana Presiden.”Karena PLTA Peusangan adalah proyek untuk Sumatera maka bisa dilakukan peresmiannya di Sei Mangkei, Sumatera Utara,” ujarnya.Sei Mangkei sendiri adalah kawasan industri berbasis kelapa sawit yang dibangun oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Proyek ini diharapkan menjadi pioner bagi pengembangan industri hilir kelapa sawit dan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.

Proyek pembangunan PLTA Peusangan I dan II di Kecamatan Silih Nara, proyek PLTA yang memiliki kapasitas 86 mega watt (MW) diperkirakan akan mulai berproduksi pada akhir tahun 2014.

Survei rencana pembangunan proyek PLTA Peusangan I dan II telah dimulai sejak tahun 1996, yang didukung pendanaan oleh Japan Bank International Coorporation (JBIC) yang sempat tertunda 10 tahun akibat konflik Aceh.Ia menyatakan, keberadaan PLTA tersebut untuk mengatasi kekurangan listrik dan sekaligus mendukung program PLN “Aceh Mandiri Listrik” pada 2012. Ia menyatakan, PLTA akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk kepentingan masyarakat di dataran tinggi Gayo, setelah itu apabila ada kelebihan akan disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) ke jaringan trans Sumatera dari Gardu Induk (GI) di Takengon ke Kabupaten Bireuen dan melintasi Kabupaten Bener Meriah.

“Dengan selesainya proyek PLTA Peusangan, maka kita harapkan di dua Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan surplus energi listrik,” katanya. Ia mengharapkan dukungan penuh warga Aceh Tengah untuk menjaga ekosistem Danau Laut Tawar dan daerah aliran sungai (DAS) Peusangan, sehingga debit air Sungai Peusangan sebagai pemutar turbin selalu mencukupi.”Dengan memelihara hutan dan menjaga keseimbangan lingkungan, maka DAS Peusangan akan bisa hidup beribu-ribu tahun lamanya,” ujarnya.Ia menyatakan, hingga April 2011, beban puncak daya listrik di Aceh 298 MW dan sekitar 50 persen masih dipasok dari pembangkit di Sumatera Utara.

Oleh karenanya, untuk menuju Aceh Mandiri Listrik 2012, pihaknya terus melakukan upaya pengembangan kelistrikan, baik melalui proyek PLTA, PLTU, maupun sumber energi panas bumi, katanya.

Jumlah pelanggan PLN Wilayah Aceh hingga saat ini mencapai 995.679 pelanggan dengan rasio desa berlistrik 96,98 persen. Selain itu, PLN Aceh juga melakukan efisiensi dengan cara menagih para pelanggan yang menunggak. “Alhamdulillah selama dua tahun yakni 2009 dan 2010, kami telah mampu menekan pencurian arus senilai Rp704 miliar lebih. Ini semua berkat bantuan masyarakat, khususnya media,” katanya.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Banjir Landa Tiga Kabupaten

* Dampak Terparah di Agara
Tue, May 24th 2011, 10:51


Hujan yang menguyur Kabupaten Aceh Tenggara, menyebabkan Desa Penangalan, Seldok, dan sejumlah lokasi lainnya di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Minggu (22/5/) sekitar pukul 22.00 WIB diterpa banjir bandang. SERAMBI/ASNAWI

LHOKSUKON – Sepanjang Minggu hingga Senin (22-23/5) kemarin, banjir melanda tiga kabupaten di Aceh, meliputi Aceh Utara, Aceh Barat Daya (Abdya), dan Aceh Tenggara (Agara). Ekses terparah dirasakan di Agara, karena selain banjir bandang, juga terjadi longsor yang menimbun badan jalan, sehingga berbagai kendaraan dari Agara menuju Gayo Lues (Galus) tak bisa melintas, demikian pula sebaliknya. Banjir terbaru justru terjadi di Aceh Utara, Senin pagi. Meliputi empat kecamatan: Matangkuli, Paya Bakong, Tanah Luas, dan Pirak Timu. Banjir disebabkan meluapnya air Krueng Keureuto yang alirannya mencakup empat kecamatan tersebut.

Amatan Serambi kemarin, tinggi air yang merendam puluhan desa di empat kecamatan itu lebih dari satu meter. Banjir juga merendam SDN 6 Matangkuli, MTsN 1, dan MAN 1 Matangkuli. Akibatnya, aktivitas belajar-mengajar di sekolah itu dihentikan.

Terlihat pula relawan PMI, SAR, RAPI, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) Aceh Utara siaga di lokasi banjir. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada warga yang meninggalkan desanya yang kebanjiran. Mereka hanya mengungsi ke rumah saudara yang kebetulan tak terkena banjir, namun masih berada di desa itu. Adanya rumah yang kebanjiran, ada yang tidak, itu karena topografi desa itu ada yang landai, ada yang berbukit.

Desa yang terendam di Matangkuli meliputi Desa Hagu, Tumpok Barat, Parang Sikureung, Ceubrek Pirak, Lawang, Tanjong Teungku Kari, Tanjong Haji Muda, Punti, Blang, Mee, dan Desa Alue Euntok.

Banjir juga merendam Desa Asan Krueng Kreh, Rayeuk Pange, Geulumpang, Bungong, Lubok, Ceumeucet, dan Desa Alue Bungkoh di Kecamatan Pirak Timu. Di Tanah Luas, banjir merendam Desa Serba Jaman dan Desa Rayeuk Kuta. Sedangkan di Kecamatan Paya Bakong, banjir merendam Desa Meuria Lhong dan Desa Jok.

Mukim Pirak, Abdullah, meminta agar pemerintah setempat membangun tanggul sungai di daerah itu. “Kami harap, pemerintah membangun tanggul di sekitar DAS Krueng Keureuto, sehingga kami tak selalu didera banjir,” ujar Abdullah.

Pemerintah juga diminta memberikan bantuan boat untuk desa-desa yang kerap banjir. “Kalau ada boat di kampung, masyarakat bisa langsung dievakuasi ke dataran tinggi begitu banjir,” sebut Abdullah.

Sementara itu, sekitar pukul 13.30 WIB kemarin, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, meninjau sejumlah lokasi banjir. “Kita akan bangun tanggul untuk kecamatan yang terkena banjir. Pokoknya dalam waktu dekat, kita buat program pembangunan tanggul itu,” pungkas Ilyas.

Banjir Agara
Dari Agara dilaporkan, hujan yang mengguyur kabupaten itu menyebabkan Desa Penangalan, Seldok, dan sejumlah lokasi lainnya di Kecamatan Ketambe, Minggu (22/5/2011) sekitar 22.00 WIB dilanda banjir bandang. Akibatnya, jalan tertimbun longsor yang bermaterikan bebatuan, tanah, dan pohon, sehingga kendaraan roda empat maupun jenis lainnya dari Agara menuju Gayo Lues tak bisa melintas, begitu pula sebaliknya.

Kendaraan dari dan ke dua kabupaten itu terpaksa antrean 12 jam, akibat opprit jalan di Desa Penangalan putus 20 meter lebih. Selain itu, tiga rumah warga dibawa banjir dan satu unit gedung Yayasan Darul Aitam roboh akibat dihantam arus sungai.

Bencana banjir bandang itu langsung ditinjau Bupati Agara Ir Hasanuddin B, didampingi unsur muspida setempat. Bupati langsung mengerahkan dua alat berat jenis scopel untuk membersihkan jalan.

Sulaiman, warga setempat, kepada Serambi, Senin mengatakan, pada malam itu hujan turun deras, sehingga terjadi banjir bandang pada Minggu (22/5) pukul 21.30 WIB. Akibat banjir itu kayu gelondongan menumpuk di jembatan, sehingga jalan sepanjang 20 meter ambruk.

Bupati Agara Hasanuddin B mengatakan, banjir bandang itu terjadi akibat hujan terus-menerus membawa kayu. Kayu itu merupakan hasil pembalakan liar yang sudah lama terjadi.

Menurut Bupati, penanganan akan dilakukan secara darurat dan mengembalikan fungsi sungai serta memperbaiki opprit jembatan yang rusak. Tapi perbaikan jalan agar transportasi Agara-Gayo Lues lancar belum terselesaikan pada pukul 14.00 WIB kemarin.

Kata Bupati Agara, ke depan akan dibangun beronjong permanen dan diperbaiki opprit jembatan yang rusak, maupun rumah yang rusak dilanda banjir. Kebutuhan biayanya akan diajukan ke provinsi dan ke Jakarta, karena Pemkab Agara hanya menangani dampak banjir pada saat masa panik.

Krisis air bersih
Dilaporkan juga, akibat banjir Agara ini, warga Desa Seldok, Desa Penangalan, Kecamatan Ketambe, mengalami krisis air bersih. Salamah, warga Desa Seldok, kepada Serambi, Senin (23/5) mengatakan, saat ini mereka kesulitan memperoleh air bersih, karena air sungai di Seldok berlumpur akibat banjir bandang. Air tersebut tak bisa mereka manfaatkan untuk memasak, mencuci pakaian, dan kebutuhan lainnya.

Untuk mendapatkan air bersih, mereka terpaksa membelinya ke Kumbang yang jaraknya mencapai belasan kilometer. Untuk itu, mereka minta kepada Pemkab Agara agar memberikan air bersih, baik untuk memasak maupun mencuci pakaian.

Bupati Agara Hasanuddin B mengatakan, pihaknya telah mendatangkan dua mobil tangki berisi air bersih untuk masyarakat Desa Seldok dan Desa Penangalan.

Banjir Abdya
Dari Blangpidie, ibu kota Abdya dilaporkan, sedikitnya dua dusun di Gampong Persiapan Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, Minggu (22/5) malam dilanda banjir. Banjir luapan setinggi 70 cm yang sempat menggenangi puluhan rumah penduduk dan belasan hektare sawah warga itu diperkirakan akibat hujan lebat yang berdampak meluapnya aliran sungai setempat.

Jaruddin (38), mantan Kadus Lhok Gayo yang ditemui Serambi, Minggu malam menuturkan, banjir luapan yang sudah dua kali terjadi selama Mei ini akibat makin dangkalnya aliran sungai dan tersumbatnya sejumlah saluran pembuang di desa itu. Masyarakat setempat berharap PT Juya Aceh Mining (PT JAM) dan dinas terkait segera meninjau kondisi warga sekitar. Dia tambahkan, hujan lebat yang berujung banjir luapan itu terjadi sekira pukul 13.00 hingga 16.00 WIB. Namun, selang beberapa menit kemudian air terus naik dan meluap hingga ke permukiman penduduk. Bahkan ikut menenggelamkan areal persawahan warga yang baru ditanami padi.

“Kami sempat merekam kejadian itu. Kami yakin itu dampak dari beroperasinya tambang bijih besi, sebab sebelumnya kejadian seperti ini tak pernah terjadi di desa kami,” paparnya.

Jaruddin yang didampingi sejumlah warga lainnya berharap, pihak PT JAM dan Pemkab Abdya segera membuat saluran pembuang di desa itu agar terhindar dari dampak banjir yang sudah dua kali terjadi dalam sebulan ini.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan masyarakat sekitar akan terus menerima dampaknya. Kami tak menuntut banyak, kami hanya ingin PT JAM dan Pemkab Abdya membangun saluran pembuang di desa kami. Jika kondisi ini dibiarkan, masyarakat di sini yang akan dirugikan,” kata Jaruddin.

Serambi yang turun ke lokasi malam itu melihat bekas ketinggian air mencapai sepinggang orang dewasa. “Hingga kini kami masih merasa waswas akan terjadinya banjir susulan, sebab hingga Senin (23/5) siang cuaca mendung masih menyelimuti kawasan kami,” ujarnya. Terhadap kondisi tersebut, Serambi belum berhasil memperoleh konfirmasi dari PT JAM. (tz/as/c46)

Sumber Serambinews.com

Moratorium Lahan dan Kegelisahan Petani

Mon, May 23rd 2011, 09:43
Dari Workshop Prospek Industri Sawit

PENGANTAR - Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang berlaku mulai tahun ini, dikhawatirkan menutup ruang bagi perusahaan perkebunan untuk memperoleh lahan sawit. Khawatir akan hal itu, PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk menggelar Workshop Wartawan se-Indonesia dengan tema “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan di Jakarta, 18-19 Mei 2011. Harian Serambi mengirim Misbahuddin dalam workshop itu dan berikut ini reportasenya.

BERBICARA masalah perkebunan kelapa sawit, yang terbayang di benak kita biasanya persoalan lahan. Apakah soal sengketa, ganti rugi, bahkan soal tumpang tindih kepemilikan lahan. Itu karena, untuk membuka kebun sawit dibutuhkan lahan yang luas dan memadai. Tak jarang ketika ada perusahaan swasta yang ingin membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit, senantiasa muncul kegelisahan di kalangan masyarakat.

Kelapa sawit telah memberi harapan besar kepada masyarakat tani, sehingga hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh terlihat hamparan kebun sawit yang subur. Kegelisahan bahkan penolakan masyarakat atas hadirnya perusahaan sawit di suatu daerah, acap memicu sengketa lahan antara masyarakat versus perusahaan sawit. Biasanya rakyat senantiasa menjadi pecundang, karena rata-rata tak memiliki bukti hak milik atau izin garap.

Namun, kali ini bukan hanya masyarakat yang resah, tapi juga perusahaan-perusahaan besar yang menanam investasi di bidang industri kelapa sawit. Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang mulai berlaku tahun ini, justru akan menutup ruang bagi perusahaan untuk memperoleh lahan sawit. Dalam acara Workshop Wartawan se-Indonesia yang bertajuk “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk di Jakarta pada 18-19 Mei 2011 lalu, terungkap persoalan sulitnya memperoleh lahan bagi perusahaan industri sawit.

Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Joko Supriyono, dalam pertemuan itu menyinggung soal moratorium lahan yang telah ditandatangani Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu. Katanya, kebijakan pemerintah itu sungguh akan merugikan masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit. Bahkan Joko Supriyono yang juga Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kepada Serambi yang mewawancarainya seusai workshop itu menambahkan,

kebijakan moratorium membuat kepastian berusaha di industri sawit makin tidak jelas, sehingga dikhawatirkan memicu ekspansi di sektor ini menjadi terhenti dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Dia tambahkan, industri sawit memiliki peran yang besar terhadap pembangunan nasional dan 40 persen dari perkebunan sawit yang ada merupakan kebun rakyat. Saat ini, perkebunan dan industri kelapa sawit memberikan penghidupan bagi sekitar 2,8 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia.

“Tapi sekarang sudah tidak pasti. Dengan adanya moratorium lahan, yang pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” katanya. Gapki, tambah Joko, meminta peraturan moratorium tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak mengorbankan pengembangan sawit nasional.

“Dengan kita tidak bisa ekspansi, maka kehilangan kesempatan untuk membangun, artinya poverty alleviation (upaya mengurangi kemiskinan -red) bisa terganggu. Maka biaya yang harus ditanggung akan lebih mahal. Selain itu, kalau semua berekspansi (minyak nabati), lalu sawit terhalang ekspansinya, ini kan tidak fair,” tegasnya.

Menurut Joko, Peraturan Presiden mengenai kebijakan moratorium lahan itu tidak sinkron dengan letter of intent (LoI) Indonesia kepada Pemerintah Norwegia mengenai skema pengurangan emisi dari deforestasi.

Ditegaskan juga, draf perpres moratorium itu hanya akan memberikan efek negatif terhadap industri sawit. Pelaksanaan moratorium konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun merupakan salah satu bentuk kerja sama Indonesia dan Norwegia yang telah disepakati dengan ditandatanganinya letter of intent antara kedua belah pihak.

Dalam dokumen LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia yang ditandatangani 26 Mei 2010 lalu itu, kata Joko, penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun, dimulai tahun 2011.

Dalam dokumen LoI tersebut juga diatur item peluncuran program uji coba REDD plus provinsi (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai tahun ini, kemudian dilanjutkan dengan uji coba REDD plus untuk provinsi kedua pada 2012. Mulai tahun ini juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh Pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.

Penundaan izin ini berlaku hingga lima tahun dan dikenakan tidak hanya bagi pembukaan lahan baru, tapi izin yang sudah ada juga bisa ditinjau kembali. Pelaku usaha sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk memberikan masukan agar Perpres tentang Moratorium Lahan tidak terlalu merugikan industri sawit di dalam negeri.

Dalam diskusi itu juga berkembang, bila pemerintah tetap menjalankan aturan ini, maka pelaku industri harus meyakinkan pemerintah agar menerapkan standar nasional dan standar sustainable palm oil sebagai acuan pengolahan sawit. Pelaku usaha dan petani sawit rakyat di lapangan harus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitasnya supaya bisa mencapai 40 ton per hektare.

Begitupun, Direktur PT AAL itu juga mengakui tidak ada masalah dengan moratorium logging yang diprogramkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sejak 2007. Sebab, program Gubernur Aceh itu hanya bersifat jeda bagi penebangan kayu. Namun, selama ini pihak PT AAL juga sangat hati-hati dalam membuka lahan baru di Aceh ataupun dalam pengalihan lahan.

Menurut Ir M Basyir Hasan, Community Development Area Manager Andalas I PT AAL, kehati-hatian perusahaan dalam memproleh lahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih pembayaran. Apalagi, jika lahan yang akan diperoleh itu merupakan lahan dari perusahaan lain. (misbahuddin)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 12 Juli 2011

Pansus XI: Raqan RTRW Diselesaikan Juni

* Penambahan Luas Hutan Masih Jadi Polemik
Mon, May 9th 2011, 09:53

BANDA ACEH - Panitia Khusus (Pansus) XI DPRA menyatakan, Rancangan Qanun (Raqan) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh tahun 2010 - 2030 yang diserahkan eksekutif tahun 2010 lalu kepada DPRA, akan diselesaikan pada Juni 2011.

“Bulan Juni 2011 kita tetapkan sebagai batas akhir penyelesaian pembahasan isi raqan RTRW, sejalan dengan perpanjangan keempat masa kerja Pansus XI yang diberikan Pimpinan DPRA,” kata Ketua Pansus XI DPRA, Ir Jufri Hasanuddin kepada Serambi Minggu (8/5), di Banda Aceh.

Jufri mengatakan, salah satu kendala pembahasan raqan ini adalah masih adanya polemik antara Pemerintah Aceh yang menginginkan penambahan kawasan hutan, dengan sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang menginginkan penambahan kawasan budidaya. Tuntutan kabupaten/kota itu disebabkan desakan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan lapangan kerja baru di luar sektor kehutanan. Yaitu sub sektor perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya.

Di antara kabupaten yang menolak penambahan luas kawasan hutan adalah Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Abdya, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus XI pada tahun 2010 lalu, para pemimpin kabupaten itu menyatakan menolak draf raqan yang diajukan eksekutif, dan setuju dengan draf raqan yang telah diperbaiki Pansus XI.

Dalam draf Raqan RTRW yang dibuat eksekutif, Pemerintah Aceh berkeinginan menambah 1 juta hektare luas areal hutan. Sementara draf raqan RTRW yang telah diperbaiki Pansus XI, memberikan peluang bagi kabupaten/kota yang areal budidayanya masih kecil untuk menambah kawasan budidaya, dengan catatan tidak merusak dan mengurangi kawasan lindung.

Tuntutan sejumlah kabupaten/kota itu, menurut Jufri Hasanuddin, sejalan dengan pendapat anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Demokrat, Ir Nova Iriansyah. Ia menyatakan, jika Pemerintah Aceh mengusul tambahan areal hutannya, akan memberikan konsekwensi terhadap menurunnya alokasi dana infrastruktur Aceh dari sumber APBN maupun pinjaman lunak dari luar negeri.

Padahal, banyak kabupaten/kota yang setiap tahunnya mengusulkan kepada anggota DPR RI maupun DPRA agar alokasi anggaran untuk pembangunan jalan dan pemeliharaan jalan negara terus ditambah. Contohnya untuk kawasan pedalaman Aceh (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lueas, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil), dan pantai Barat-Selatan.

Sementara di sisi lain, Pemerintah Aceh mengusulkan kepada Kementrian Kehutanan tambahan areal kawasan lindung mencapai 1 juta hektare, tambah dia.

Jufri mengatakan, untuk menyelasikan polemik tersebut, Pansus XI saat ini melakukan pengecekan kembali dan meminta kabupaten/kota yang menginginkan tambahan areal budidaya mengusulkan permohonan dengan database yang akurat dan titik koordinat yang benar. Sehingga pada waktu Pansus XI berdialog kembali dengan Tim Pemerintah Aceh untuk finalisasi isi Raqan RTRW, Pemerintah Aceh bisa menerima isi Raqan RTRW yang telah disempurnakan Pansus XI.

Pasalanya, pengesahan raqan itu baru bisa dilakukan kalau kedua belah pihak (legislatif dan eksekutif) sudah sepakat dengan isi raqan yang mau diparipurna dan disahkan.

Namun, lanjut Jufri, Pemerintah Aceh sampai kini belum memberikan sinyal menerima atau tidak isi raqan RTRW yang telah disempurnakan Pansus. Pun demikian, Pansus tetap akan menyelesaikan raqan itu bulan Juni.

“Mengenai diterima atau tidak isi Raqan RTRW hasil penyempurnaan Pansus XI oleh Gubernur, kita lihat saja nanti dalam sidang paripurna raqan ini yang akan dijadwalkan pada bulan Juli 2011 mendatang. Tugas Pansus XI saat ini adalah menyelesaikan pembahasan isi raqan sesuai tahapan pembahasan sebuah raqan dan menampung aspirasi masyarakat,” ujarnya.(her)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 05 Juli 2011

Hutan Aceh jadi Aset Transaksi Saham Broker Karbon

Thu, May 5th 2011, 10:13

JAKARTA - Greenomics Indonesia mengungkapkan, perusahaan broker karbon asal Australia, Carbon Conservation, telah menjadikan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh sebagai aset dalam bertransaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation, sebuah perusahaan tambang emas Kanada yang telah melakukan eksplorasi emas di hutan Aceh.

Dalam perjanjiannya dengan Pemerintah Aceh tersebut --yang ditandatangani pada Juli 2008— Carbon Conservation mendapatkan hak ekslusif dalam pemasaran dan penjualan karbon kredit hutan Aceh pada Blok Ulu Masen seluas 700.000 hektare.

Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh East Asia Minerals Corporation tertanggal 3 Mei 2011 (waktu Kanada), East Asia Minerals Corporation yang tercatat pada Toronto Stock Exchange menyatakan bahwa mereka akan membayar tunai sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat serta menerbitkan 2,5 juta lembar saham untuk Carbon Conservation.

“Greenomics Indonesia menentang keras langkah Carbon Conservation tersebut, yang telah menjadikan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh sebagai aset dalam transaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation. Greenomics meminta Gubernur Aceh untuk tidak membiarkan transaksi tersebut berlanjut,” tegas Koordinator Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi, dalam siaran pers yang diterima Serambi, Rabu (4/5) malam.

Vanda mengatakan, mekanisme transaksi saham itu secara jelas telah menjadikan hutan Aceh seperti agunan yang digadaikan melalui suatu skema transaksi saham. “Di satu sisi, East Asia Minerals Corporation punya kepentingan bisnis tambang emas di hutan Aceh (Miwah Project). Di sisi lain Carbon Conservation memiliki hak eksklusif dari Gubernur Aceh untuk menjual dan memasarkan karbon kredit dari 700.000 hektare hutan Aceh pada blok hutan Ulu Masen. Mengapa hutan Aceh dijadikan aset oleh Carbon Conservation untuk mendapat dana dari transaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation? Ini jelas mengandung konflik kepentingan,” tulis Vanda.

Carbon Conservation menurutnya telah menyalahgunakan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh. “Transaksi saham itu harus ditolak mentah-mentah,” tegas Vanda.

Menurut Vanda, motif transaksi tersebut sangat jelas untuk kepentingan bisnis East Asia Minerals Corporation dan Carbon Conservation. Buktinya adalah pernyataan dari East Asia Minerals Corporation dalam siaran persnya yang menyebutkan bahwa terdapat fakta di mana pelaku bisnis perhiasan skala besar melakukan boikot terhadap emas yang diambil dari praktik pertambangan yang tidak ramah lingkungan, atau mengambil emas dari kawasan-kawasan yang sensitif secara lingkungan.

“Hutan Aceh, terutama kawasan hutan lindungnya, tergolong kawasan-kawasan yang sensitif secara lingkungan. Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Carbon Conservation telah dijadikan tameng operasi tambang East Asia Minerals Corporation melalui transaksi saham antara kedua perusahaan itu,” jelas Vanda.

Vanda mengaku sudah melakukan konfirmasi kepada Gubernur Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA Hasbi Abdullah soal transaksi saham tersebut. “Gubernur menegaskan tidak pernah keluarkan rekom apa pun terkait operasi East Asia Minerals Corporation di Aceh. Bahkan, Gubernur mengaku aneh, East Asia Minerals Corporation sekarang operasional,” ujar Vanda.

Karena itu, Greenomics meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk segera meminta Carbon Conservation membatalkan transaksi saham tersebut. “Ketua DPRA dengan tegas menyatakan menolak transaksi saham antara Carbon Conservation dan East Asia Minerals Corporation,” pungkasnya.(yos)

Sumber : Serambinews.com