Selasa, 15 Februari 2011

Lusa, Gubernur dan Menkeu Akan Bahas RPP Migas

Tue, Jan 18th 2011, 10:07

BANDA ACEH - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Kamis (20/1) mendatang, dijadwalkan melakukan pembahasan bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelola Minyak dan Gas (Migas). Materi pembahasan terkait persentase hak pengelolaan migas yang berada di sekitar 12 mil hingga 200 mil dari garis pantai atau kawasan zona ekonomi eklusif (ZEE).

Ketua Tim Advokasi RPP dari Pemerintah Aceh, Mawardi Ismail didampingi anggota tim, M Jafar SH dan Makmur Ibrahim SH kepada Serambi, Senin (17/1) mengatakan, RPP Migas saat ini hanya tinggal pembahasan tahap akhir dengan Menkeu. Sebab pembahasan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah selesai dilakukan dan telah dicapai kesepakatan bahwa pengelolaan bersama (antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat) kandungan migas yang ada sekitar perairan Aceh yang jaraknya diatas 12 mil hingga 200 mil.

Sedangkan kandungan migas yang terdapat 0-12 mil dari garis pantai persentase pengelolaannya sudah jelas seperti diatur dalam UUPA yaitu, 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat.

“Tetapi untuk 12 mil ke atas ini yang belum jelas. Sedangkan yang menentukan persentase pembagian hasil antara Aceh dengan pusat dalam hak pengelolaan migas tersebut berada ditangan Menkeu dan bukan Menteri ESDM. Maka kita melakukan pembahasan dengan Menkeu tentang hal persentase itu,” kata Mawardi.

Pemerintah Aceh dalam hal ini tetap mengacu pada UUPA bahwa persentase pembagian hak pengelolaan itu 70:30. “Sebesar 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat. Kalau proposal ini disetuji Menkeu ini sebuah keberhasilan luar biasa bagi Aceh. Maka kami mengharapkan doa masyarakat Aceh dalam pembahasan nanti,” katanya.

Terkait RPP Kewenangan, katanya, hingg kini belum tuntas dibahas. Lantaran tentang kewenangan mengenai pertanahan, kehutanan belum ada kesepakatan dan selalu terjadi perubahan. “Bahkan mengenai soal pertanahan sudah belasan kali terjadi perubahan drafnya setelah sempat dibahas. Kita tidak tahu kenapa berat sekali Badan Pertahanan Nasional melepaskan kewenangan tentang tanah ini,” katanya.

Untuk kehutanan hanya menyangkut tentang pengelolaan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), dan izin konservasi yang masih belum ada kesepakatan. Untuk kewenangtan tentang kelautan hanya mengakut izin operasional kapal penangkap ikan wilayah 12 mil - 200 mil. “Soal kelautan ini tidak masalah lagi juga, karena hanya tinggal pembahasan tahap akhir dengan menteri,” demikian Mawardi.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Ekspor Via Krueng Geukueh Minim Sosialisasi

* Banyak Pengusaha yang tidak Tahu
Tue, Jan 18th 2011, 09:21

BANDA ACEH - Meski telah berjalan setahun, namun ternyata masih ada pengusaha Aceh yang belum mengetahui adanya aktivitas ekspor di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara. Minimnya sosialisasi menyebabkan para pengusaha, terutama di wilayah tengah Aceh, masih terpaku untuk melakukan kegiatan ekspornya ke Pelabuhan Belawan Medan, Sumatera Utara.

“Saya belum tahu kalau di Pelabuhan Krueng Geukueh bisa ekspor,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Gayo Lues, Abdul Azis, kepada Serambi, Senin (17/1).

Selama ini yang dia ketahui adalah adanya rencana Pemerintah Aceh yang ingin menghidupkan kembali Pelabuhan Idi, Aceh Timur. Rencana tersebut dia nilai cukup tepat, apalagi dengan dibukanya jalan dari Gayo Lues menuju ke Kecamatan Pining, Aceh Timur.

“Kita mendengar itu pada 2005. Namun sayang sampai sekarang belum terealisasi. Namun jika aktivitas ekspor dibuka di Pelabuhan Krueng Gukueh, maka jalan darat untuk membawa komoditas harus melalui jalan Takengon-Bireuen-Aceh Utara,” sebut Aziz.

Meski demikian, mewakili dunia usaha di kabupaten tersebut, pihaknya sangat menyambut baik dibukanya keran ekspor di Krueng Geukueh, dan diharapkan bisa memberi keuntungan kepada petani di Gayo Lues yang selama ini memasarkan komoditas andalan mereka ke Medan, yaitu, kopi, karet, dan kakau.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Kadin Aceh Tengah, Quddus Arba, mengaku, meski telah jauh hari mengetahui adanya aktivitas ekspor tersebut, namun pihaknya masih pesimis akan berjalan, sebab masih banyak infrastruktur pelabuhan hingga jaminan komoditas yang masih lemah.

“Medan saja, untuk ekspor komoditas sepertin kopi, karet, kakoa, pinang, dan sawit, tidak bisa hanya mengandalkan daerah mereka. Mereka masih berharap dari Aceh,” pungkasnya.

Apalagi jarak dari daerah sumber penghasil komoditas dengan daerah pelabuhan Krueng Geukueh terbilang jauh. “Aceh bagian tengah, timur, dan barat-selatan, itu lebih dekat ke Medan ketimbang Aceh Utara,” ucap Quddus.

Karena itu dia menyarankan agar ekspor dimulai kecil-kecilan seperti menggunakan kapal bertonase kecil. “Pemerintah Aceh harus melihat banyak hal sebelum aktivitas ekspor itu dihidupkan. Selain jumlah komoditas, jarak angkutan ke pelabuhan, dan kontainer juga harus dipertimbangkan,” imbuhnya.

Minim sosialisasi
Ketua Kadin Aceh, Firmandez, juga membenarkan kalau kalangan dunia usaha, khususnya di wilayah tengah Aceh, masih banyak yang belum mengetahui adanya aktivitas ekspor di Pelabuhan Krueng Geukueh.

“Sosialisasi ke kawasan tengah tersebut memang minim. Semestinya, dinas terkait terkait bisa memperkuat koordinasi di wilayah-wilayah tersebut, karena mereka merupakan penghasil komoditas terbesar,” ucap Firmandez.

Memang diakuinya, tidak gampang untuk menghidupkan Pelabuhan Krueng Geukueh, apalagi banyak infrastruktur yang belum siap. “Itu semua butuh proses. Karena itu, selain terus dilakukan perbaikan infrastruktur, pengusaha juga perlu mengubah pola pikir. Ekspor di Krueng Geukueh harus sukses,” tandasnya.

Geliat ekspor di Pelabuhan Krueng Gukueh dimulai sejak Desember 2009 lalu. Namun dalam perjalanannya agak tersendat dan sempat terhenti. Selain karena pasokan komoditas terbatas, pengusaha juga mengalami kesulitan modal, serta tingginya biaya ekspor akibat adanya larangan pemerintah terhadap lima jenis barang impor.

Delapan daerah telah menyatakan komitmennya untuk mendukung jalannya ekspor tersebut, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Aceh Tengah, Aceh Utara, Pemerintah Kota Lhokseumawe, Kabupaten Pidie, dan Pidie Jaya.(c47/yos)

Sumber : Serambinews.com

Banda Aceh kehilangan 72 Ha daratan

Monday, 17 January 2011 16:09

BANDA ACEH - Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Aceh mencatat Kota Banda Aceh kehilangan daratan seluas 72,7 hektare akibat abrasi pantai sepanjang tahun 2004-2009.

Staf divisi Riset TDMRC Aceh DR Eldina Fatimah mengatakan, di sepanjang garis pantai Banda Aceh bergeser secara variasi dan maksimum 50 meter ke arah daratan.

Pernyataan itu disampaikan saat memaparkan materi pemahaman bencana di Aceh dan mitigasi, pada kegiatan workshop tim penyusunan penanggulangan bencana Aceh.

"Ini baru kondisi garis pantai di Kota Banda Aceh yang sudah kita data. Kondisi ini sangat banyak kita temui di kawasan pantai barat selatan, sepanjang garis pantai rawan abrasi," katanya.

Proses abrasi memperlebar luas wilayah perairan, sedangkan abrasi di pinggir pantai ditandai dengan mundurnya garis pantai secara signifikan dalam waktu yang relatif cepat.

Akibat dari abrasi dan erosi itu, tambahnya, rumah dan fasilitas infrastruktur menjadi rusak atau berkurang fungsi pemakaiannya. Untuk Aceh, sebut Eldina, ada 24 catatan historis tentang abrasi dan gelombang pasang pada database DIBA dengan 174 rumah rusak dan 4.504 orang terimbas sebagai akibat utama.

"Selain harus menangani abrasi pantai, pemerintah harusnya juga terus menerus melakukan sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat yang tinggal di kawasan garis pantai, sehingga mereka bisa tinggal sedikit jauh dari bibir pantai," sebutnya.

Kendati demikian, tambah Eldina, diakui masih banyak masyarakat yang enggan pindah dari lokasi bibir pantai, sehingga mereka rawan menjadi korban bencana jika terjadi abrasi pantai yang parah.

Sumber : Waspada.co.id

Rawa Tripa Aceh memprihatinkan

Monday, 17 January 2011 20:03

BANDA ACEH - Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tata Ruang untuk Sumatera menyatakan laju degradasi rawa Tripa Provinsi Aceh, semakin memprihatinkan karena adanya pemberian izin perkebunan sawit.

"Kami prihatin tingginya laju degradasi hutan rawa gambut di Tripa akibat pembukaan perkebunan sawit. Laju deforestasi per tahun sejak 2006 mencapai 11,98 persen," kata anggota TKPRT Teuku M Zulfikar, malam ini.

TKPRT dan Forum Tata Ruang untuk Sumatera merupakan koalisi sejumlah lembaga pemerhati lingkungan hidup di Provinsi Aceh, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh.

Kemudian, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Yayasan Leuser Internasional (YLI), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), WWF-Indonesia.

Di samping Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Silfa, Transparency International Indonesia, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, Uno Itam dan PeNA.

Ia mengatakan, rawa Tripa merupakan satu dari tiga hutan gambut di pantai barat pulau sumatera dengan luas mencapai 60 ribu hektare. Sebanyak 60 persen berada di Kabupaten Nagan Raya dan sisanya berada di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).

"Wilayah ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pelestarian lingkungan hidup," katanya. Zulfikar yang juga Direktur Eksekutif Walhi Aceh mengatakan, akibat degradasi ini menyebabkan kemampuan rawa Tripa menyerap air di musim penghujan semakin berkurang, sehingga menyebabkan bencana banjir.

Menurut dia, hingga kini 30 persen atau 16,6 ribu hektare rawa Tripa dijadikan perkebunan sawit oleh perusahaan besar, akibatnya kemampuannya menyerap air semakin berkurang.

"Jika pemerintah terus mengizinkan pembukaan kebun sawit di hutan rawa gambut ini, maka akan menenggelamkan sejumlah pemukiman padat penduduk di pesisir barat selatan Aceh," katanya.

Saat ini saja, katanya, sudah terjadi penurunan daratan di hutan rawa gambut Tripa berkisar dua hingga lima centimeter akibat konvensi lahan menjadi perkebunan sawit.

Apabila ini dibiarkan, lanjut dia, diperkirakan pada 2025 air laut akan menenggelamkan kawasan ini. Ancaman ini akan dipercepat oleh pemanasan global yang memicu naiknya permukaan air laut.

Oleh karena itu, TKPRT dan Forum Tata Ruang untuk Sumatera mendesak DPRA memastikan rawa gambut Tripa terlindungi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) yang sedang dibahas lembaga legislatif tersebut.

"Status perlindungan untuk Tripa perlu ditetapkan untuk menyelamatkan sisa keanekaragaman hayati. Kami berharap DPRA masukkan rawa Tripa dalam RTRWA sebagai kawasan dilindungi," kata TM Zulfikar.

Sumber : Waspada.co.id

Senin, 14 Februari 2011

2016, 41.200 Ha kebun selesai dibangun

Sunday, 16 January 2011 18:11

ACEH UTARA - Manajemen PT Perkebunan Nusantara (PTPN I) menargetkan pada tahun 2016 mendatang, pembangunan areal kebun seluas 41.200 hektar yang bermitra dengan masyarakat petani di Provinsi Aceh dan pihak Perbankan akan selesai.

"Kami optimistis target pembangunan areal kebun kelapa sawit dan karet yang bermitra dengan masyarakat melalui program “Peumakmu Gampong” di Aceh tercapai pada 2016," kata Direktur Utama PTPN-I, Erwin Nasution, tadi sore.

Luas pembangunan areal kebun rakyat melalui program "Peumakmu Gampong" itu mencapai 41.200 hektar, tersebar hampir di seluruh kabupaten di provinsi tersebut.

Pelaksanaan revitalisasi perkebunan di Aceh melalui program "Peumakmu Gampong", dengan pemanfaatan fasilitas Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dari Perbankan

Dari total luas areal perkebunan rakyat tersebut, masing-masing untuk komoditas kelapa sawit seluas 28.200 hektar dan karet 13.000 hektar. Program tersebut akan melibatkan antara 13.500-20.000 Kepala Keluarga (KK) selaku petani peserta.

"Kaum dhuafa, dan korban konflik akan menjadi kriteria yang akan dilibatkan dalam program ini. Kedepan akan dibangun kebun kerjasama dengan koperasi pondok pesantren yang ada di Aceh," katanya menjelaskan.

Erwin berharap, dengan adanya kerja sama maka kedepan akan terjadi transformasi teknologi kepada masyarakat petani, sehingga petani yang selama ini melakukan usaha perkebunan secara tradisional akan termotivasi untuk menerapkan praktek budidaya maju.

"Kami juga optimistis bahwa sinergis antara PTPN I dengan PTPN III, PTPN I dan PTPN IV dapat menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan juga memberikan kemaslahatan seluas-luasnya untuk masyarakat di lingkungan perusahaan," katanya.

sumber : Waspada.co.id

Minggu, 13 Februari 2011

Pemerintah Revitalisasi 41.200 Ha Lahan Rakyat di Aceh

Sat, Jan 15th 2011, 19:41

SAWANG - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mustafa Abubakar mencanangkan program penanaman perdana 41.200 hektare pohon karet dan sawit, di Teupin Reusep, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, Sabtu. Dalam kunjungan kerja tersebut, Mustafa Abubakar didampingi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Camat Sawang, Sufyan, Wakil Ketua MPR-RI Ahmad Farhan Hamid, Ketua DPR Aceh, Tgk Hasbi Abdullah, Direktur Utama PTPN I Amir Nasution, Dirut PTPN III Amri Siregar dan Dirut PTPN IV Dahlan Harapap.
Direktur Utama PTPN I Erwin Nasution mengatakan, pengembangan perkebunan rakyat seluas 41.200 hektare itu akan tersebar di 12 Kabupaten di wilayah kerja PTPN I.
Hingga tahun 2016, sebanyak 28.000 hektare akan ditanami kelapa sawit, dan 13.000 hektare tanaman karet. Adapun total dana yang dibutuhkan untuk seluruh program revitalisasi mencapai sekitar Rp 2,3 triliun, atau sekitar Rp 30 juta per hektare. Erwin menuturkan, dalam tiga tahun ke depan akan direalisasikan di Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang seluas 19.200 hektare.

Untuk membiayai program revitalisasi itu akan dibiayai dari pinjaman Bank Mandiri dan Bank BRI, dengan jaminan dari PTPN III dan PTPN IV sebagai pihak penjamin pendanaan. PTPN I, III dan IV juga akan menangani pengelolaan dan sistem perkebunan. Sementara itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan, program revitalisasi ini akan melibatkan 20.500 kepala keluarga selaku petani peserta masyarakat lokal. Masing-masing kepala keluarga nantinya akan mendapatkan kebun seluas rata-rata dua hektare. "Secara bertahap pinjaman akan dikembalikan jika perkebunan sudah berhasil," ujar Irwandi.

Perkebunan rakyat program "Peumakmu Gampong" ini diharapkan dapat mempercepat pengembanga perkebunan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Aceh, melalui program perluasan lahan, revitalisasi. "Program ini diharapkan membuka lapangan kerja baru. Warga sebagai pemilik lahan, juga sekaligus dapat menjadi pekerja," kata Irwandi. Ia menambahkan, ke depan tidak hanya melibatkan BUMN tetapi juga yang akan dilibatkan dalam mengembangkan lahan di Aceh, namun juga melibatkan pihak swasta.

Sementara itu, Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam sambutannya mengatakan mendorong penuh program revitalisasi pembangunan perkebunan tersebut. Program revitalisasi perkebunan tersebut dalam rangka "Peumakmu Gampoeng" harus ada percepatan sistem dan luas pengembangan lahan yang akan direvitalisasi di seluruh Aceh. Ia menuturkan, selaku kuasa pemegang saham BUMN, Kementerian akan terus menggerakkan perusahaan milik negara untuk melakukan sinergi dalam membantu realisasi pengembangan lahan yang akan direvitalisasi. "Bank BUMN, dan PTPN menjadi bukti bahwa pemerintah turut menjadi pendorong untuk memakmurkan rakyat Aceh," katanya. Pada kesempatan itu, Mustafa meminta agar warga pemilik lahan tetap tunduk kepada PTPN dan Bank BUMN sebagai induk plasma, sehingga ada jaminan peningkatan kesejahteraan rakyat. (ant)

Sumber : Serambinews.com

15 Proyek Panas Bumi Tunggu Perpres

* Termasuk Jaboi dan Seulawah Agam
Sat, Jan 15th 2011, 11:41

JAKARTA - Sebanyak 15 proyek pembangkit listrik panas bumi (geotermal) berdaya total 1.625 Megawatt (MW) sedang menunggu penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penugasan kepada PT PLN untuk membeli energi listrik yang bersumber dari panas bumi. Di antaranya termasuk geotermal Jaboi di Kota Sabang. Sedangkan untuk geotermal Seulawah Agam, Aceh Besar, kini sedang dalam proses tender. Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Sugiharto Harsoprayitno, di Jakarta, Jumat (14/1), mengatakan, ke-15 proyek tersebut sudah tercapai harga listrik melalui lelang yang dilakukan pemerintah daerah. “Kami berharap perpresnya bisa terbit bulan ini,” kata Sugiharto.

Kalau perpres sudah keluar, lanjutnya, pemerintah menargetkan proyek ini akan beroperasi mulai tahun 2015. Target tersebut mundur dari jadwal semula, 2014. Menurut Sugiharto, perpres itu akan menugaskan PLN membeli harga listrik panas bumi sesuai dengan harga lelang yang dilakukan pemda, tanpa bernegosiasi lagi. “Alasannya, harga itu sudah melalui proses lelang yang artinya sudah melalui proses yang kompetitif,” katanya. Ia lanjutkan, kalau harga lelang listrik panas bumi tersebut tinggi, maka pemerintah memberikan subsidi.

Dari 15 proyek itu, 13 di antaranya sudah mendapat izin usaha pertambangan (IUP). Ke-13 proyek itu adalah Proyek Jaboi, Aceh, berdaya 10 Megawatt (MW), dikelola oleh PT Sabang Geothermal Energi dengan harga Rp 1.705 per kWh. Proyek ini tingga menunggu saja kesepakatan harga jual listrik (power purchase agreement/PPA). Kedua, Proyek Sorik Marapi-Roburan-Sampuraga di Sumatera Utara. Berdaya 240 MW, dikelola PT Sorik Merapi Geothermal Power dengan harga 8,1 sen dolar per kWh. Permasalahan proyek ini sekarang adalah hasil lelangnya digugat Medco.

Ketiga, Proyek Liki Pinangawan Muaralaboh, Sumatera Barat, berdaya 220 MW, oleh PT Supreme Energy Muaralaboh dengan harga 9,4 sen dolar AS per kWh. Saat ini, proyeknya masih dalam proses prakualifikasi di PT PLN. Keempat, Gunung Rajabasa, Lampung, berdaya 220 MW oleh PT Supreme Energy Rajabasa dengan harga 9,5 sen dolar AS per kWh. Proyek ini juga masih dalam proses prakualifikasi di PLN. Selanjutnya, Proyek Cisolok Cisukarame, Jawa Barat, berdaya 40 MW dengan harga Rp 630 per kWh oleh PT Jabar Rekind Geothermal, sedang menunggu PPA. Sama halnya dengan Proyek Jaboi, Sabang.

Lalu, proyek Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat, bersaya 220 MW dengan harga Rp533 per kWh oleh PT Tangkuban Perahu Geothermal Power, juga menunggu PPA. Proyek Gunung Tampomas, Jawa Barat, berdaya 45 MW dengan harga Rp598 per kWh oleh PT Wijaya Karya Jabar Power. Kini sedang menunggu PPA. Proyek Gunung Ungaran, Jawa Tengah, berdaya 110 MW oleh PT Giri Indah Sejahtera dengan harga 8,09 sen dolar AS per kWh. Kini sedang menunggu PPA.

Kemudian, proyek Sokaria, Nusa Tenggara Timur, berdaya 30 MW dengan harga Rp 1.250,69 per kWh oleh PT Sokaria Geothermal Indonesia. Juga tengah menunggu PPA. Proyek Atadei, Nuas Tenggara Timur, berdaya 10 MW dengan harga 9,5 sen dolar AS per kWh oleh PT Westindo Utama Karya, tengah mengajukan penunjukan langsung. Proyek Jailolo, Maluku Utara, berdaya 10 MW dengan harga Rp 1.727,54 per kWh oleh PT Star Energy Geothermal Halmahera, juga menunggu PPA.

Proyek Suoh Sekincau, Lampung, berdaya 220 MW dengan harga 6,9 sen dolar AS per kWh oleh PT Chevron Geothermal Suoh Sekincau, juga tengah menunggu PPA. Selain itu, sebanyak satu proyek belum diserahkan IUP-nya, yakni Proyek Huu Daha, Nusa Tenggara Barat (20 MW) dengan harga 9,65 sen dolar per kWh oleh PT Pacific Geo Energy. Status proyeknya, jaminan pelaksanaan belum dibayarkan. Sedang dua proyek lainnya masih menunggu penerbitan IUP, yakni Kaldera Danau, Banten, 110 MW, dengan harga 8,39 sen dolar AS per kWh oleh konsorsium PT Banten Global Sinergi. Terakhir, Rantau Dedap, Sumatera Selatan, berdaya 220 MW, dengan harga 8,86 sen dolar AS per kWh oleh PT Supreme Energy.

Seulawah Agam
Selain 15 proyek tersebut, saat ini terdapat sebelas proyek lainnya yang sedang dalam proses tender di pemerintah daerah masing-masing. Kesebelas proyek itu di antaranya Seulawah Agam (Aceh), Blawan-Ijen (Jatim), Telaga Ngebel (Jatim), Baturaden (Jateng), Guci (Sumsel), dan Suwawa (Gorontalo). Saat ini, baru tujuh PLTP dengan kapasitas terpasang 1.189 MW yang sudah beroperasi. Sementara, potensi tenaga listrik panas bumi di Indonesia diperkirakan sedikitnya 27.000 MW. (ant)

sumber : Serambinews.com

Untuk Ekspor Kopi dan Kakao : Aceh Sudah Bisa Lakukan Uji Mutu Barang Sendiri

* Keberlangsungannya Bergantung pada Eksportir
Sat, Jan 15th 2011, 09:56

BANDA ACEH - Aceh saat ini sudah bisa melakukan uji mutu barang sendiri terhadap komoditas ekspor. Namun untuk sementara ini, uji mutu baru bisa dilakukan terhadap komoditas kakao dan kopi. Terkait hal itu, para eksportir Aceh diminta dapat memanfaatkan fasilitas yang telah ada tersebut di Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Disperindagkop dan UKM Aceh. Kepala UPTD BPSMB Aceh, Drs Jakfar Abdurrahman MSi, mengatakan, izin tersebut diberikan seiring dengan dikeluarkannya sertifikat akreditasi untuk pengujian komoditas kakau dan kopi dengan nomor LP-481-IDN oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) tertanggal 12 Nopember 2010.

“Sertifikat akreditasi pengujian biji kakao dan kopi itu kita terima setelah KAN melakukan pengujian terhadap peralatan laboratorium yang dimiliki BPSMB Aceh dua bulan lalu,” katanya kepad Serambi, Jumat (14/1). Sertifikat tersebut memiliki masa berlaku empat tahun, yakni sampai 11 Nopember 2014. Bila dalam masa tersebut Aceh bisa melaksanakan tugas dan fungsi pengujian biji kakao dan kopi dengan baik, maka sertifikat akan diperpanjang. Sebaliknya, jika tidak ada pengusaha atau eksportir yang menggunakan jasa BPSMB, maka sertifikat akreditasi itu bisa dicabut.

“Jadi sertifikat akreditasi itu merupakan ujian berat bagi BPSMB dan Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota untukmempertahankannya,” tegas Jakfar. Lebih lanjut dijelaskan, KAN memberi sertifikat akreditasi itu dengan maksud supaya Aceh bisa mandiri dalam pengujian mutu barang yang mau diekspor. Ada tiga jenis pengujian yang bisa dilakukan BPSMB, pertama pengujian hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan, kedua laboratorium minyak atsiri, dan ketiga laboratorium industri pangan. Dari tiga jenis pengujian tadi, ungkap Jakfar, yang baru diberikan sertifikat akreditasi untuk barang ekspor baru dua komoditas, yaitu biji kakao dan kopi. “Sedangkan untuk komoditas minyak atsiri dan pangan saat ini terus kita upayakan,” imbuhnya.

Tantangan
Wakil Ketua DPRA, Drs H Sulaiman Abda, yang dimintai tanggapannya mengatakan, sertifikat akreditasi itu menjadi ujian berat bagi Disperindagkop dan UKM bersama BPSMB untuk mempromosikannya kepada para pengusaha hasil bumi dan eskportir kakao dan kopi di Aceh dan luar Aceh. Menurut dia, akreditasi itu penting secara bertahap Aceh juga memiliki apa yang selama ini dimiliki oleh daerah lain. Namun Sulaiman Abda mengingatkan, setelah sertifikat akreditasi itu diterima, tidak lantas semua menjadi selesai. “Upaya selanjutnya dalah menjalankan kegiatan pelayanan jasa yang menguntungkan daerah serta mendorong prekonomian rakyat dan memberikan pemasukan bagi pendapatan daerah,” ucapnya.

Untuk maksud tersebut, menurut dia BPSMB Aceh harus dikelola secara efisien, efektif, professional, tranparan, dan akuntabel. “Hasil pengujiannya harus diakui pembeli barang di luar negeri. Kalau ini sudah dicapai, maka BPSMB bisaberkembang dengan pesat. Tapi sebaliknya, kalau aparaturnya tidak melakukan perbaikan dan terobosan, laboratorium yang dimiliki tidak memberikan manfaat bagi rakyat dan pemerintah daerah,” pungkasnya. Profesionalisme dan inovasi, kata Sulaiman Abda, sangat diperlukan dalam melaksanakan dan menjalankan satu badan dan lembaga yang fungsinya sebagai penjual jasa kepada masyarakat. Karena itu, BPSMB harus dikelola secara profesional. Kapasitas SDM para pejabat dan aparatur dapat terus ditingkatkan sehingga jumlah komoditas ekspor pada tahun seterusnya akan terus meningkat.(her)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 02 Februari 2011

Masyarakat belum Rasakan Manfaat KEL

* Terjadi Kerancuan dalam Pengelolaan
Fri, Jan 14th 2011, 10:03

JAKARTA - Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menyumbang 600 juta dolar AS atau Rp 6 triliun per tahun dalam bentuk pelestarian lingkungan, termasuk tangkapan karbon, penyediaan air, maupun pelestarian flora dan fauna. Hanya saja manfaat tersebut tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Karena itu perlu dirumuskan kebijakan pemberian dana konpensasi kepada masyarakat yang mendiami sekitar KEL.

Demikian laporan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh uang disampaikan juru bicara DR Ahmad Farhan Hamid, MS dalam Sidang Paripurna DPD, Rabu (12/1).

Daerah dan masyarakat yang mendiami kawasan tengah/pedalaman Aceh berkewajiban menjaga dan memelihara hutan baik sebagai tanggung jawab sosial, maupun sebagai konsekuensi peraturan perundang-undangan yang ada. “Sejauh ini belum ada kebijakan khusus imbal jasa kehutanan baik dalam hitungan manfaat terhadap lingkungan, penyediaan air, maupun pelestarian flora fauna yang semakin langka,” katanya.

Ia juga menyampaikan adanya “kerancuan” dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, baik keberadaan lembaga, maupun pola koordinasi, termasuk dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pusat Kementerian Kehutanan.

Organisasi dan lembaga penglola KEL terdiri dari Yayaysan Leuser Internasional mendapat donasi dari Kementerian Kehutanan dan dari New Zealand AID, UPT Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan dana APBN, Yayasan Ekosistem Leuser mendapat donasi melalui kerja sama dengan Kementerian Kehutanan, dan BPKEL mendapat dana APBA.

“Ke depan, perlu dilakukan konsolidasi baik organisasi, maupun pendanaan agar pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser mencapai hasil yang optimal dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar,” kata Farhan Hamid.

Pada waktu ini, lanjut Farhan Hamid, selain Balai Besar Taman Nasional Guneung Leuser, terdapat beberapa unit pelaksana teknis (UPT-Pusat) Kementerian Kehutanan yaitu, BKSDA, BPDAS, dan BP2HP yang baik langsung maupun tidak langsung mempunyai lokasi kegiatan di Kawasan Ekosistem Leuser.

Anggota DPD asal Aceh lainnya, Ir Mursyid bahkan menyatakan sebaiknya yayasan dan lembaga itu dibubarkan saja, karena tidak memberi dampak langsung kepada masyarakat sekitar KEL. “Kami mendapat banyak laporan bahwa masyarakat tidak menerima manfaat apapund ari kehadiran organisasi-organisasi itu,” tukas Mursyid.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), merupakan pengembangan dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1998, Pemerintah bekerjasama dengan Yayasan Louser Internasional untuk melaksanakan pengelolaan KEL yang luasnya mencapai 1.790.000 Ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190 Tahun 2001, luas Kawasan Ekosistem Leuser (termasuk Area Penggunaan Lain, APL) menjadi 2.255.257 Ha.

Dalam rangka implementasi Pasal 150 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh melalui Paraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 52 Tahun 2006, membentuk BPKEL, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, sebuah badan non struktural di lingkungan Pemerintah Aceh.

HTI tak Aktif
Dalam kesempatan itu juga disampaikan bahwa di Aceh terdapat 10 perusahaan pemegang Izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 8 perusahaan pemegang Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tersebar di seluruh Aceh. “Dari jumlah tersebut hanya dua perusahaan pemegang Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang aktif, sementara lainnya tidak aktif. Sebahagian besar izin telah dikeluarkan tahun 1990an dan beberapa diantaranya berlaku sampai tahun 2053,” kata Farhan Hamid.

Namun di sisi lain, lanjut Farhan Hamid, rakyat kebanyakan memerlukan lahan untuk mengembangkan perekonomiannya melalui usaha kehutanan dan perkebunan. Ironinya, pemasukan dana untuk pemerintah daerah dari sektor kehutanan sangat kecil, sebagai contoh, selama 6 tahun, yaitu dari tahun 2005-2010, pemasukan daerah lebih kurang lebih hanya 3,5 miliar rupiah saja.

Kawasan hutan Aceh saat ini seluas 3,5 juta Ha, termasuk di dalamnya hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi dari total kawasan daratan Aceh seluas 5,3 juta Ha.(fik)

Sumber : Serambinews.com