Senin, 15 Agustus 2011

Ekonomi Aceh Tiga Terbawah se-Sumatera

SUNDAY, 07 AUGUST 2011 08:18

BANDA ACEH - Kondisi ekonomi konsumen di Aceh akan bergerak naik pada triwulan ketiga, yaitu Juli, Agustus dan September 2011. Hal ini berdasarkan pada Indeks Tendensi Konsumen yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.

Perkiraan BPS Aceh bahwa indeks ini akan terus meningkat naik di Provinsi Aceh. “ITK pada triwulan ketiga ini diperkirakan108,13. Artinya kondisi konsumen akan teru membaik,” kata Plh. Kepala BPS Aceh, Azhar M. Yatim.

Persepsi kondisi ekonomi oleh konsumen di Provinsi Aceh pada triwulan III 2011 menyatakan perkiraan kondisi yang semakin baik. Tingkat optimisme konsumen ini ditunjukkan dengan indeks perkiraan triwulan ketiga 108,13.

Faktornya adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga yang ditunjukkan dengan nilai indeks 107,71 karena berdampak pada pembelian barang tahan lama yang ditunjukkan dengan nilai indeks sebesar 109,01.

Namun, perkiraan triwulan ke III 2011 ini, ITK tertinggi diduduki oleh Provinsi Riau dengan nilai 110,01. Kemudian disusul Sumatera Utara dengan nilai indeksnya 109,88. Peringkat ketiga adalah Bangka Belitung perolehan indek hingga 109,14. Berikutnya Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Aceh yang hanya mencapai 108,13.

Persepsi konsumen di Provinsi Aceh dengan nilai 108,13 menduduki peringkat ketiga terbawah se-Sumatera diatas Provinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Perkiraan membaiknya kondisi ekonomi konsumen ini terjadi karena peningkatan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada pembelian barang-barang tahan lama, seperti computer, kulkas, mesin cuci, TV, Hand Phone, radio tape dan bahan elektronik lainnya.

Pada triwulan I 2011,yaitu Januari — Maret, ITK Provinsi Aceh berada di peringkat enam terbawah di Sumatera. Kemudian pada triwulan II 2011, yaitu April-Juni, ITK Aceh turun berada di peringkat kelima terbawah di Pulau Sumatera. Berikutnya perkiraan triwulan III 2011, yaitu Juli-September turun lagi ke peringkat ketiga terbawah di Pulau Sumatera.

Sumber Waspada.co.id

2011, Kerusakan Hutan Menurun

TUESDAY, 02 AUGUST 2011 13:40

IDI - Semenjak eksisnya Polisi Hutan (Polhut) dibawah Koordinator Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, tidak kurang dari 100 ton illegal logging disita dari berbagai titik di pedalaman Aceh Timur. Hasil tersebut tercatat sejak tahun 2010 hingga pertengahan 2011.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, Saifudin, mengaku perambahan hutan di tahun 2008 dan 2009 kian mengganas. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya kawasan-kawasan pegunungan terimbas banjir, seperti Ranto Peureulak dan Peunarun, serta Alue Ler Mirah.

“Sementara tahun 2010 juga kian meningkat perambahan hutan di sejumlah titik seperti di kawasan Serbajadi, Lokop, dan Pantee Bidari. Tetapi karena kita bersama aparat kepolisian terus melakukan operasi, maka pengungkapan kasus juga meningkat,” ujar Saifuddin, tadi siang.

Ia menambahkan, di tahun 2011 pengungkapan kasus juga meningkat, sehingga tidak kurang dari 30 ton kayu berkelas juga diamankan. Menurut Saifuddin, hasil survey pihaknya di tahun 2011 kerusakan hutan menurun dibandingkan tahun 2008, 2009, dan 2010.

Kondisi tersebut terjadi akibat kerapnya operasi yang dilancarkan pihak Polhut bersama aparat kepolisian setempat, sehingga banyak temuan kayu berkelas ditangkap dan disita, baik saat diangkut melalui jalan darat, maupun kepergok ketika diangkut melalui jalur sungai.

“Kerusakan hutan Aceh Timur, jika diperkirakan mencapai puluhan hektar, tapi bukan pada satu titik, namun terjadi di sejumlah titik yang jauh dari pengawasan dan Polhut, seperti pedalaman Alue Ie Mirah, Pantee Bidari, Ranto Peureulak, Serbajadi-Lokop, Peunarun, dan Biren Bayeun seperti di Jambor Labu,” jelasnya.

Dirincikan, tahun 2010 pihaknya berhasil mengamankan sedikitnya kayu balok (KB) jenis meuranti 11,40 m3 kubik, rimba campuran 21,88 m3 kubik, Kayu olahan 34,434 m3 kubik, jenis meuranti 33,3488 m3 kubik, meubo 5.8440 m3 kubik, kayu indah seperti mahoni 4,10 m3 kubik, dan rimba campuran 15,7310 m3 kubik.

“Jadi, total kayu yang berhasil kita sita tahun 2010 mencapai 126,7378 m3,” sebut Saifuddin. Sementara tahun 2011 Polhut juga berhasil menyita sejumlah barang bukti dari berbagai jenis kayu, hingga Juli tercatat jenis meuranti 1,95 m3 kubik. Rimba campuran 8,43 m3 kubik, olahan 16,47 m3, meuranti 3,4313 m3 kubik, dan kelompok kayu campuran 1,674 m3 kubik.

“Jadi total kayu yang sudah kita sita ditahun 2011 ini juga mencapai 31,9553 m3 kubik,” kata Saifuddin seraya menandaskan, jika dibagi dalam ton maka tidak kurang 122 ton kayu hutan yang merupakan hasil tebangan liar diamankan.

Sumber Waspada.co.id

Minggu, 14 Agustus 2011

Aceh Berpeluang Menjadi Sentra Sawit Nasional

SATURDAY, 30 JULY 2011 23:07

BANDA ACEH - Anggota DPR RI Muhammad Azhari, mengatakan Provinsi Aceh berpeluang mewujudkan sebagai daerah sentra produksi kelapa sawit nasional sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

"Setidaknya beberapa terobosan yang harus dilakukan melalui langkah dan upaya strategis guna mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi sawit nasional," katanya saat dihubungi dari Banda Aceh, malam ini.

Politisi Partai Demokrat itu menilai ada beberapa strategi untuk mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi kelapa sawit nasional, antara lain melalui penggunaan bibit kualitas tinggi dan pengolahan lahan dengan teknologi dan pemupukan lahan yang baik.

Menurut dia, pembukaan sentra penggilingan itu untuk mendorong peningkatan produksi minyak sawit, pembangunan sarana pendukung/infrastruktur seperti fasilitas tangki penimbunan dan pelabuhan serta pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk ber-margin tinggi.

Provinsi Aceh yang berada di kawasan ekonomi Sumatera menyumbang peran cukup besar dalam pengembangan kegiatan ekonomi kelapa sawit, dengan total luas lahan sebesar 0,31 juta hektare dari total 4,83 juta hektar lahan diseluruh Pulau Sumatera.

"Selama ini, besarnya sumbangan pada sektor utama kelapa sawit di Aceh ini tidak diikuti oleh sektor utama ekonomi lainnya," kata anggota Komisi VI DPR RI itu.

Dia mengatakan, Provinsi Aceh tidak seperti wilayah sumatera lainnya yang memiliki kandungan batu bara cukup besar.

Akan tetapi, terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang mempertahankan keberadaan Provinsi Aceh mendukung sumatera sebagai salah satu lumbung energi nasional.

Dipihak lain, Muhammad Azhari juga menjelaskan bahwa industri karet meskipun saat ini tidak cukup besar namun masih terbuka untuk dikembangkan di Aceh seperti komoditas pertanian lainnya.

Selain itu, letak Aceh yang strategis yakni di mulut Selat Malaka pada jalur perdagangan internasional juga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan fokus utama ekonomi bidang perkapalan.

"Peluang tersebut jika dimanfaatkan secara optimal maka akan menjadi kekuatan ekonomi Aceh dimasa datang," kata dia.

Karena itu ia berharap seluruh stakeholder mampu mensinergikan konsep dan gagasan yang terdapat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) melalui kebijakan sektoral di daerah khususnya terkait dengan deregulasi sejumlah peraturan yang menghambat investasi saat ini.

Sumber Waspada.co.id

Rabu, 10 Agustus 2011

Jeda tebang di Aceh belum berjalan

FRIDAY, 29 JULY 2011 10:16

BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kebijakan jeda tebang atau moratorium logging di Provinsi Aceh belum berjalan konsisten, sehingga masih banyak ditemukan penebangan hutan tidak terkendali.

"Kami menilai kebijakan moratorium ini belum mampu mencegah kerusakan hutan. Hal ini terjadi karena pelaksanaannya tidak konsisten," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar, pagi ini.

Ia mengatakan, kebijakan moratorium logging tersebut diterbitkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada pertengahan 2007. Jeda tebang tersebut berlaku untuk masa 15 tahun.

Namun, katanya, kebijakan tersebut berjalan tidak efektif karena inkonsistensinya pemerintah Aceh, sehingga kawasan hutan semakin rusak akibat penebangan tidak terkontrol.

"Tidak konsistennya pelaksanaan moratorium logging ini bisa dilihat masih ada saja penerbitan izin-izin yang diberikan untuk kegiatan tambang dalam hutan lindung," ketus Zulfikar.

Selain itu, kata dia, Walhi Aceh pernah menjumpai sejumlah pihak yang menyatakan kebijakan moratorium menyesatkan. Padahal menurut Walhi Aceh, kebijakan ini sudah tepat.

"Tinggal bagaimana melaksanakan isi-isi kandungan kebijakan tersebut secara tepat dan konsisten. Inilah yang menjadi tugas Gubernur untuk memastikan instruksi moratorium logging berjalan dengan baik," katanya.

Menurut dia, berhasil tidaknya jeda tebang tersebut juga berpengaruh kepada perubahan iklim. Kebijakan jeda tebang yang dikeluarkan pemerintah Aceh ini sebagai bentuk antisipasi perubahan iklim.

Memang, kata dia, belum ada penelitian khusus mengenai dampak perubahan iklim di Aceh. Akan tetapi, gejalanya sudah dapat dirasakan, seperti panasnya suhu akibat kerusakan lingkungan secara global.

"Karena itu, Aceh yang memiliki cakupan hutan yang cukup luas harus mampu terjaga. Upaya menjaganya, yakni dengan melaksanakan jeda tebang ini secara konsisten," ujar Zulfikar.

Sumber Waspada.co.id

Senin, 08 Agustus 2011

Usut Terbakarnya Stasiun Riset

TUESDAY, 19 JULY 2011 17:31

BANDA ACEH - Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) meminta kepolisian mengusut terbakarnya fasilitas stasiun riset di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

"Kami minta polisi, khususnya Polda Aceh dan Polres Aceh Tenggara mengusut tuntas kasus ini," kata Koordinator Perizinan BPKEL, Bambang Antariksa, tadi sore.

Stasiun riset yang dikelola BPKEL tersebut terbakar, Minggu (17/7), sekitar pukul 04.00 WIB. Akibat kebakaran itu menyebabkan kerugian mencapai Rp2 miliar.

Ia menduga terbakarnya stasiun riset tersebut disengaja dilakukan oleh pihak-pihak ingin menciptakan kondisi tidak aman serta menggagalkan proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Aceh.

Menurutnya, dugaan disengaja itu bisa dilihat dari bagaimana peristiwa kebakaran terjadi. Pihak yang diduga membakar stasiun riset rela pengelolaan kawasan ekosistem Leuser dilaksanakan pemerintah.

"Kami mengecam cara-cara premanisme dan upaya teror yang dilakukan pihak tidak bertanggung jawab yang dengan sengaja membakar stasiun riset tersebut," ketusnya.

Selain itu, sebut Bambang, beberapa waktu lalu, stasiun riset Ketambe diambil paksa oleh staf Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL).

Ia mengatakan, BPKEL telah melaporkan pengambilan paksa stasiun riset Ketambe kepada Kementrian Kehutanan, Polda Aceh dan Polres Aceh Tenggara.

"Laporan tersebut disampaikan karena terjadinya tindakan kekerasan terhadap staf lapangan BPKEL saat itu," ungkap mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh ini.

Stasiun Riset Ketambe, katanya, merupakan fasilitas penelitian yang berada di kawasan ekosistem Leuser. Stasiun riset tersebut dikelola BPKEL, bekerja sama dengan masyarakat sekitar.

"BPKEL mempertimbangkan akan membangun kembali stasiun riset dalam waktu secepatnya. Sebab, keberadaan stasiun ini memberikan manfaat langsung peneliti dan masyarakat setempat," ujar Bambang.


Sumber Waspada.co.id

Bappenas Sediakan Dana Dekonsentrasi

SATURDAY, 16 JULY 2011 00:54

BANDA ACEH - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan menyediakan dana dekonsentrasi bagi pemerintah provisi di seluruh Indonesia.

"Dana dekonsentrasi ini diperuntukkan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappeda di setiap provinsi," kata Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana, tadi malam.

Namun, Armida yang juga Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional itu tidak menyebutkan berapa jumlah dana dekonsentrasi untuk masing-masing provinsi tersebut.

"Kami sudah mengusulkannya dalam Rancangan APBN 2012. Mudah-mudahan disetujui legislatif dan bisa digunakan tahun depan," katanya.

Menurut dia, dana dekonsentrasi tersebut disediakan untuk memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah secara spesifik, terutama dalam perencanaan pembangunan.

"Peruntukannya lebih difokuskan kepada peningkatan perencanaan pengawasan, dan evaluasi perencanaan yang disusun Bappeda provinsi, sehingga terjadi sinkronisasi dengan program pemerintah pusat," sebutnya.

Misalnya, kata dia, adanya kesamaan perencanaan program Millennium Development Goals (MDGs) maupun Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

"MDGs dan PNPM tersebut merupakan program nasional. Program ini harus sejalan dengan yang direncanakan Bappeda provinsi, sehingga tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Sementara itu, Kepala Bappeda Aceh, Iskandar, menyatakan, Rakernas kedua yang diikuti 33 provinsi itu setelah Rakernas pertama yang digelar pada tahun 2010 di Surabaya, Jawa Timur.

Terpilihnya Aceh sebagai tuan rumah Rakernas II memiliki nilai tambah tersendiri bagi Aceh, mengingat kelahiran Bappenas dan Bappeda di seluruh Indonesia bercikal bakal dari Aceh Development Board yang diperkenalkan Aceh pada masa lalu.

Pada sisi lain, penyelenggaran Rakernas itu ikut membantu mempromosikan Aceh sebagai destinasi wisata menjelang pelaksanaan program "Visit Aceh Year 2013".

Iskandar yang juga menjabat sebagai Sekretaris Asosiasi Bappeda se-Indonesia menjelaskan, dasar pelaksanaan Rakernas ini adalah dalam rangka mengoptimalkan peran Lembaga Perencanaan Pembangunan Daerah, baik dalam tugas pokok dan fungsi perencanaan program dan kegiatan adalah satu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dapat didikotomikan.

"Rakernas ini merupakan momentum sangat penting sebagai wahana refleksi dan evaluasi terhadap kinerja kelembagaan Bappeda, untuk menetapkan langkah-langkah strategis membangun sinergi perencanaan pembangunan provinsi dalam konteks menggalang satu kesatuan pembangunan Indonesia," ujarnya.

sumber Waspada.co.id

Warga pesisir barat Aceh keluhkan asap

MONDAY, 11 JULY 2011 06:36

BANDA ACEH - Sejumlah warga yang berdomisili di pesisir pantai barat provinsi Aceh mengeluhkan kabut asap yang diduga akibat pembakaran lahan.

"Kabut asap yang berasal dari pembakaran lahan itu tidak hanya mengganggu jarak pandang tapi juga mengakibatkan nafas sesak dan mata menjadi perih," kata Harmaini (45) warga Suka Makmur Kabupaten Nagan Raya, tadi malam.

Asap yang berasal dari pembakaran lahan itu sudah ada sejak beberapa hari terahkir, namun belum ada tanda-tanda akan dilakukan penanganan.

"Kami berharap Pemerintah untuk mengeluarkan larangan agar warga tidak membakar lahan, mungkin ada cara yang lebih baik untuk menangani sampah pertanian itu," kata Harmaini.

Menurutnya, kabut asap itu tidak hanya mengganggu warga yang berdomisili di Kecamatan Suka Makmur namun masyarakat di Seunagan, Seunagan Timur dan beberapa kawasan di Kabupaten Aceh Barat juga mengeluh.

Iskandar (28) warga, Meulaboh Kabupaten Aceh Barat juga mengatakan, kabut asap yang terjadi sejak satu minggu lalu dikhawatirkan akan mengakibatkan warga menderita infeksi saluran pernapasan (ISPA).

Gangguan kabut Asap juga terjadi di perbatasan Aceh Barat dengan Kabupaten Aceh Jaya. Ratusan hektare lahan pertanian di kawasan Teunon Kabupaten Aceh Jaya itu dibersihkan oleh pemiliknya dengan cara membakar.

Sumber Waspada.co.id

Kamis, 04 Agustus 2011

Mantan GAM sesalkan kerusakan hutan

THURSDAY, 07 JULY 2011 21:41

BANDA ACEH - Semakin meluasnya tingkat kerusakan hutan dan alam Aceh menyebabkan sering terjadinya bencana alam dan konflik masyarakat dengan satwa.

Walhi Aceh secara khusus melakukan pertemuan dengan Malik Mahmud, mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjadi pemangku Wali Nanggroe yang menggantikan posisi Hasan Tiro (almarhum).

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengatakan pertemuan yang dilangsungkan di Mess Meuntro Malik tersebut berlangsung dengan suasana akrab dan diskusi yang menarik guna membahas kondisi lingkungan Aceh terkini.

Malik Mahmud yang ditemani Zaini Abdullah, calon gubernur dari Partai Aceh, Fahkrul Razi, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas semakin meluasnya tingkat kerusakan alam dan lingkungan Aceh sebagai akibat ekploitasi serta penambangan sumber daya alam.

Dijelaskannya, Malik menyesalkan sikap dan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang tidak memperhatikan persoalan lingkungan dan lebih mengutamakan mengeksploitasi alam untuk kepentingan kelompok, dan bukan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Zulfikar menjelaskan, pihaknya memberikan data tentang laju kerusakan Aceh yang semakin parah, sehingga perlu ada perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Selain itu, Walhi Aceh memapaparkan tentang kebijakan pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Irwandi Yussuf yang kontradiktif, yakni disatu pihak melakukan motatorium logging.

Namun disisi lain memberikan akses penambangan sumber daya alam dikawasan hutan lindung yang secara nyata memberikan dampak buruk pada kerusakan alam dan hutan Aceh.

sumber waspada.co.id

TNGL Aceh ikut dirambah

MONDAY, 04 JULY 2011 10:08

IDI - Menyusul perambahan hutan di sejumlah titik di Besitang, Sumatera Utara, kegundulan Tanaman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terjadi di beberapa titik di Aceh, seperti di Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, dan beberapa daerah lain. Jika kondisi tersebut berlanjut dikhawatir bakal terjadi bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Demikian Kepala Badan Pengelola-Kawasan Ekosistem Lauser (BP-KEL) Aceh, Fauzan Azima, melalui mantan Staf Konservasi, Rudi Hartono Putra. Menanggapi kegundulan hutan Aceh khususnya di pantai timur Aceh masyarakat diajak untuk bisa berpikir lebih maksimal terkait penyebab ke depan jika penebangan hutan terus dilakukan. Menurutnya, kegundulan hutan baik di KEL maupun TNGL sudah lama terjadi, baik di Aceh maupun di kawasan lain, seperti di Besitang.

Kondisi itu, kata Rudi, tak hanya kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, tetapi aksi bisnis kayu diduga keras terus dimainkan kelompok-kelompok tertentu dalam bisnis kayu kelas atas dari Aceh. Bahkan tidak sedikit kayu hutan Aceh dipasarkan ke luar Aceh, baik ke Sumatera Utara maupun ke daerah lain.

Melihat kondisi hutan Aceh sangat disayangkan, lanjut Rudi, karena kelompok-kelompok tertentu menilai bisnis kayu hutan sebagai lambung bisnis yang paling menjanjikan. “Tapi perlu kita ingat bahwa kegundulan hutan yang terjadi sekarang akan berakibat fatal nantinya, baik ancaman bencana seperti banjir dan longsor maupun ganasnya habitat satwa liar, seperti gajah dan harimau di Aceh,” jelas Rudi.

Karenanya, harap Rudi, seluruh elemen masyarakat mengatasi kondisi tersebut termasuk para petani kebun dalam menjaga kelestarian hutan di Aceh. “Kita juga minta pemerintah daerah untuk menjaga peta hutan, mulai dari hutan dilindungi, hutan lindung, KEL dan TNGL, sehingga hutan tidak terganggu dan habitat di dalamnya tidak merasa diusir,” jelas Rudi seraya menadaskan, aparat penegak hukum baik Polri maupun Polisi Hutan (Polhut) untuk sama-sama menjaga kelestarian hutan Aceh dari aksi tangan-tangan jahil yang menjadikan hutan Aceh sebagai bisnis.

Kata Rudi, meski tidak sama persis penebangan hutan di Aceh dengan di Sumatera Utara, tetapi penebangan hutan di kawasan Aceh Tamiang (kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sumatera utara), telah terjadi lama juga, bahkan perambahan hutan di Besitang juga telah merambah ke Aceh Tamiang, baik dengan menjadikan perkebunan maupun penebangan kayu murni dengan alasan apapun. “Apapun alasan masayarakat dalam menebang hutan dilindungi, kita minta penegak hukum menindak tegas penebang hutan, karena telah melanggar hukum,” tandas Rudi.

sumber waspada.co.id

2 kabupaten perebutkan 5 desa

SATURDAY, 02 JULY 2011 13:28

TAKENGON - Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Timur, kini saling klaim lima desa di perbatasan masuk dalam wilayahnya. Sengketa perbatasan itu telah berlangsung lama, namun kini mencuat kembali menjelang Pilkada. Kelima desa yang diperebutkan dua kabupaten itu yakni, Kampung Sarah Gele, Kampung Sarah Reje, Kampung Garut, Kampung Sejuk dan Kampung Ranto Panyang. Dari data yang ada pada KIP Bener Meriah, jumlah pemilih pada lima kampung itu sebanyak 2.000 orang.

Ketua KIP Bener Meriah, Ahmadi mengatakan, pihaknya bersama anggota KIP lainnya sudah mengunjungi lima kampung yang diperbutkan itu guna memastikan kesiapan PPS yang baru dilantik oleh KIP Bener Meriah dalam menghadapi Pilkada. Katanya, masyarakat di lima desa tersebut meresa tidak nyaman dengan saling klaimnya antara Bener Meriah dengan Aceh Timur.

Dikatakan Ahmadi, sebagai penyelenggar Pilkada, KIP tidak memiliki wewenang tentang penyelesaian konflik rebutan tapal batas antara dua kabupaten tersebut. Disebutkan, keberadaan lima desa itu diantara dua kecamatan, yakni Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah dan Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.

Surati KIP Aceh
Guna meluruskan masalah ini, lanjut Ahmadi, KIP Bener Meriah sudah mengirim surat ke KIP Aceh guna menyelesaikan komplik saling klaim antar dua daerah tersebut. Surat itu dimaksudkan memastikan status hukum suara pemilih pada lima kampung tersebut, masuk Bener Meriah atau masuk Aceh Timur pada pemilihan bupati/wakil bupati nantinya.

atanya, KIP Bener Meriah tidak mau status suara pada lima kampung itu tidak jelas dan akan menimbulkan gugatan Pilkada oleh sekelompok masyarakat di daerah ini.

Karena itu, saat ini lanjut Ahmadi, KIP Bener Meriah sedang menunggu keputusan KIP Aceh tentang status hukum suara pemilih pada lima kampung yang masih dipersengketakan tersebut. “Kami masih menunggu jawaban dari KIP Aceh, dan KIP Bener Meriah akan menyelesaikan masalah itu bersama-sama KIP Aceh Timur,” ujar Ahmadi


Sumber Waspada.co.id

Rabu, 03 Agustus 2011

Analis: UUPA Harus Dipatuhi

WEDNESDAY, 22 JUNE 2011 12:12

BANDA ACEH - Analis hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Sulaiman Tripa mengatakan, semua pihak agar mematuhi dan menjalankan kewajiban yang telah diamanahkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Hal itu dimaksudkan agar perdamaian dan proses demokrasi di Aceh berjalan dengan baik dan tetap terjaga, katanya di Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh, sore tadi.

"Apa yang telah diamanahkan UUPA, wajib dilaksanakan sehingga perdamaian bisa berjalan lancar dan baik," ujarnya.

Sulaiman menilai, selama ini pemerintah belum menerapkan syarat-syarat yang diamanahkan dalam UUPA, sehingga masih terjadi saling curiga antara pusat dan daerah.

Karena itu, sebutnya, ini akan menjadi ganjalan dalam menerapkan proses perdamaian di Aceh secara sempurna, apabila tidak ada niat baik dari pemerintah pusat untuk menjalankan UUPA secara utuh.

"Dari sejumlah persyaratan yang telah disebutkan dalam UUPA, hanya beberapa aturan yang baru dikeluarkan misalnya PP No.2 tahun 2007, PP No.58 tahun 2009, Perpres No.75 tahun 2008 dan Perpres No.11 tahun 2010. Padahal, masih ada ketentuan yang belum dikeluarkan yang tersebut dalam UUPA," jelas dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Ia menyarankan, ada dua solusi untuk menerapakan hukum menjadi demokratis, saat pembentukan undang-undang, pemangku kepentingan tidak melakukan 'penekanan' sehingga menghasilkan produk hukum yang baik.

"Walaupun dari segi hasil tidak semua demokratis, tetapi prosesnya demokrasi, karena sudah menampung aspirasi dari seluruh komponen masyarkat," jelasnya.

Solusi lain, tambah Sulaiman, saat tahapan ketentuan pelaksana, baru empat peraturan yang sudah dikeluarkan, padahal pemerintah harus lebih banyak lagi mengeluarkan peraturan pelaksana UUPA.

"Jadi, kalau pemerintah pusat lamban untuk mengeluarkan peraturan-peraturan terkait dengan UUPA, maka ini akan menggangu proses perdamaian," jelasnya.

Sulaiman menambahkan, hukum berfungsi sebagai instrumen untuk kepentingan dalam pengukuhan kekuasaan dan proses demokrasi.

Untuk itu ia berharap, karena Aceh telah diberikan kekhususan seperti pendirian partai lokal, pendirian lembaga Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) maka harusnya pemerintah agar melaksanakan kewajibannya.

Sumber Waspada.co.id

Selasa, 02 Agustus 2011

MDF Bangun Jalan di Aceh Rp330 M

WEDNESDAY, 15 JUNE 2011 15:14

BANDA ACEH - Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh, Muhyan Yunan, mengatakan Multi Donor Fund (MDF) membiayai pembangunan jalan di Aceh dengan nilai Rp330 miliar.

"Panjang jalan yang dibangun itu mencapai 52 kilometer. Lokasinya antara Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat," kata dia di Banda Aceh.

Ia mengatakan, titik pembangunan jalan tersebut dimulai di ruas Jalan Banda Aceh-Meulaboh, KM 198 di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya hingga sampai KM 250 di Meulaboh, Aceh Barat.

Pembangunan jalan yang dibagi tiga paket, kata dia, saat ini sedang dalam proses penetapan kontraktor pelaksananya. Penetapan pelaksana pekerjaan jalan tersebut ditentukan oleh MDF.

"Mungkin dalam bulan ini pemenangnya sudah ditetapkan. Dan diharapkan, pembangunan jalan tersebut selesai dalam waktu dua tahun," kata Muhyan.Ia mengatakan, dari total dana pembangunan jalan Rp330 miliar tersebut, sebesar Rp50 miliar di antaranya digunakan untuk pembangunan jembatan.

"Jembatan tersebut berada di Kuala Bubon, Aceh Barat. Panjang jembatannya mencapai 120 meter yang akan dikerjakan PT Waskita Karya," sebut dia.

Menyangkut ruas jalan Banda Aceh-Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, Muhyan mengatakan, pengerjaannya hampir selesai dilakukan. Jalan tersebut dibiayai USAID, lembaga donor asal Amerika Serikat.

"Ada titik-titik kritis di ruas jalan ini sedang diselesaikan. Seperti Jembatan Lambeuso, di Lamno, Aceh Jaya. Jembatan ini selesai Juli 2011," ujar Muhyan Yunan.

sumber Waspada.co.id

Senin, 01 Agustus 2011

Bapedal Sulit Pantau Pencemaran Sungai

TUESDAY, 14 JUNE 2011 07:33

BANDA ACEH - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Aceh, Husaini Syamaun, menyatakan pihaknya kesulitan memantau pencemaran sungai-sungai besar di daerah itu karena keterbatasan anggaran.

"Sungai besar banyak di Aceh, kami tidak bisa memantau semuanya karena keterbatasan anggaran. Padahal, sungai-sungai besar tersebut berpotensi tercemar," kata dia di Banda Aceh.

Menurut dia, pihaknya sudah mengajukan anggaran pemantauan sungai-sungai besar tersebut tahun anggaran 2012. Namun, ia belum bisa menyebutkan kebutuhan anggaran pemantauan sungai tersebut.

Kalau anggaran tahun depan disetujui, maka pencemaran sungai-sungai besar lainnya bisa dipantau. Banyak sungai di Aceh ini butuh pemantauan serius, ujarnya.

Ia mengatakan, untuk tahun anggaran 2011, pihaknya hanya memantau pencemaran Krueng Taming di Kabupaten Aceh Tamiang. Krueng Taming menjadi objek pemantauan karena tingkat pencemarannya lebih tinggi dibanding sungai lainnya di Provinsi Aceh.

Berdasarkan hasil pemantauan dan penelitian, kata dia, Krueng Taming tercemar bakteri e-coli serta limbah pabrik pengolahan sawit dan perusahaan pemegang HGU.

"Krueng Taming ini tercemar e-coli karena aktivitas masyarakat. Sebab, sungai ini menjadi jamban terpanjang. Bakteri e-coli ini berkembang biak di kotoran manusia," ujarnya.

Ia menyebutkan, pihaknya hanya berwenang memantau pencemaran air sungai tersebut. Kalau eksekusi pelakunya merupakan kewenangan instansi terkait lainnya.

Husaini menambahkan, kekeruhan air Krueng Taming juga meningkat karena kerusakan hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini diduga terjadi akibat penembangan liar dan pembukaan perkebunan sawit.

"Seharusnya, dinas proaktif melihat kerusakan hutan di sepanjang DAS Krueng Taming. Seperti menggencarkan program reboisasi serta mengganti sawit dengan tanaman lain. Sebab, sawit menyebabkan debit air sungai berkurang," ungkap Husaini Syamaun.

Sumber Waspada.co.id

Warga konflik Aceh Siaga Penggusuran

MONDAY, 13 JUNE 2011 09:24

BANDA ACEH - Sebanyak 700 kepala keluarga (KK) yang menghuni tiga titik permukiman, yaitu Barak Induk, Damar Hitam, dan Sei Minyak, Kecamatan Sei Lepan, Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dilaporkan sedang bersiap-siap menghadapi aksi pengusiran paksa oleh pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB-TNGL) bersama pasukan gajah dan wana (semacam polisi hutan) dengan melibatkan bantuan polisi dan sembilan unit alat berat.

Laporan akan adanya pengusiran paksa tersebut diterima Serambi dari Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), sebuah LSM yang fokus pada persoalan lingkungan, bermarkas di Desa Bundar, Karang Baru, Aceh Tamiang. “Pengusiran paksa dijadwalkan Senin, 13 Juni 2011 karena Balai TNGL mengklaim wilayah yang dihuni 700 KK korban eks konflik Aceh itu berada dalam wilayah TNGL,” lapor Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal.

Sayed melaporkan, timnya sudah melakukan serangkaian investigasi ke permukiman yang berjarak lebih kurang 28 kilometer arah barat Kecamatan Sei Lapan dan Besitang tersebut. Kondisi kehidupan masyarakat setempat sudah sangat maju, bahkan income per kapita mereka sudah di atas rata-rata. Mereka juga sudah memiliki berbagai fasilitas umum seperti gedung sekolah agama tingkat dasar dan tingkat SLTP, pustu, masjid, musalla, dan lainnya. Semua itu dibangun dengan hasil swadaya masyarakat dan bantuan NGO asing.

“Kalau memang wilayah yang kami duduki ini adalah TNGL, mengapa setelah 11 tahun kami duduki baru dipermasalahkan. Mengapa tidak dari dulu. Dulu tidak ada yang memperhatikan, setelah kami berhasil dan mempunyai nilai ekonomi, baru muncul pengakuan. Ini tidak adil,” kata Yetno, seorang warga Barak Induk, sebagaimana dikutip tim investigasi dari LembAHtari.

LembAHtari juga mengutip hasil putusan Pengadilan Negeri (PN) Stabat Nomor 04/PJB.G/2007/PNSTB yang menyatakan kawasan yang diduduki oleh 700 KK korban eks konflik Aceh itu merupakan tanah negara, bukan wilayah TNGL. Bahkan, putusan banding ke Kejaksaan Tinggi Medan yang dilakukan oleh BTNGL juga menghasilkan putusan yang sama. “Terkait persoalan itu, seorang anggota DPRD Sumut, Sitepu, pernah mengeluarkan statemen kalau tanah yang diduduki oleh warga korban eks konflik Aceh tersebut merupakan tanah negara,” tulis siaran pers tersebut mengutip dokumen yang mereka temukan.

Sumber Waspada.co.id

Titik Api Kembali ditemukan di Aceh

FRIDAY, 10 JUNE 2011 15:07

BANDA ACEH - Titik api (hot spot) akibat kebakaran hutan kembali ditemukan di sejumlah bentang hutan di wilayah Aceh dalam dua hari terakhir. Berdasarkan amatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar pada 8-9 Juni sore melalui satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18, ditemukan enam titik api kebakaran hutan.

Kepala Bidang Observasi dan Informasi pada BMKG Blang Bintang, Alvianto, melalui Prakirawan Rahmad Tauladani mengatakan, enam titik apa itu berada di wilayah Aceh bagian barat, selatan, dan tengah.

“Kemarin itu ada dua titik api kebakaran hutan yang terdeteksi di wilayah Aceh Singkil. Sedangkan pada Rabu (8/6) kemarin ada lagi empat titik api kebakaran hutan masing-masing di Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Namum, empat titik api itu sudah padam. Hari ini tak terlihat lagi,” ungkap Rahmad.

Ia tambahkan, tiga minggu terakhir hingga Kamis (9/6) kemarin, telah ditemukan 28 hot spot kebakaran hutan di sejumlah wilayah di Aceh. Kebanyakan kebakaran hutan yang terjadi di provinsi ini, akibat campur tangan manusia. Baik itu disenggaja maupun tidak disengaja.

Kebakaran hutan yang disengaja, misalnya, membuka lahan untuk pertanian atau perumahan penduduk dengan cara membakar lahan. Sedangkan yang tidak disengaja, misalnya, ilalang yang sudah kering di pinggir hutan sangat rentan terbakar. “Apabila ada seseorang yang sambil lewat membuang puntung rokok di lokasi itu, maka dengan cepat ilalang kering itu terbakar,” ujarnya seraya menimpali bahwa kebakaran hutan akibat terik matahari kemungkinan terjadinya sangatlah kecil.

Menurut Rahmad, 28 titik api kebakaran hutan di sejumlah wilayah Aceh itu, terbanyak terdeteksi di Aceh bagian barat dan selatan. Selebihnya, hot spot terjadi di hutan Aceh bagian tengah dan timur. Beberapa waktu lalu, yakni Jumat (27/5), ditemukan satu titik api di Aceh Barat Daya dan Sabtu (28/5) ditemukan lagi tiga titik api di hutan Aceh Barat dan Nagan Raya.

Suhu capai 35'
Dalam dua hari terakhir, kata Rahmad, suhu di sejumlah wilayah di Aceh mencapai maksimum 35 derajat Celcius. Dia juga memprakirakan beberapa hari ke depan Aceh masih dilanda terik yang menyegat dengan suhu maksimum 35 derajat Celcius.

“Jadi, dengan suhu setinggi itu, tidak bisa memicu kebakaran hutan. Namun, jika suhu mencapai 40 derajat Celcius, maka kebakaran hutan bisa terjadi seperti terjadi di Australia. Tapi di Indonesia, termasuk Aceh, keterikan matahari belum mencapai suhu 40 derajat Celcius,” jelasnya.

Rahmad mengimbau masyarakat agar tidak membakar hutan saat membuka lahan. Sebab, kata dia, selain terjadi pencemaran udara, kebakaran hutan juga bisa merusak ekosistem yang ada di hutan. “Kita minta instansi terkait agar memperhatikan hal ini, sehingga kebakaran hutan tak perlu terjadi, jika masyarakat diberi pemahaman tentang bahayanya,” ujar prakirawan BMKG ini.

Sumber Waspada.co.id

Laju Kerusakan Hutan Meningkat

THURSDAY, 09 JUNE 2011 15:20

BANDA ACEH - Menteri Negara Lingkungan Hidup,Gusti Muhammad Hatta, menyatakan laju kerusakan hutan di Indonesia masih lebih tinggi dibanding laju pemulihannya.

Hal itu seiring kemajuan upaya negosiasi dunia dalam mencapai kesepakatan mengenai antisipasi perubahan iklim, maka inisiatif membiarkan hutan tetap sebagai hutan akan menjadi tanggung jawab bersama negara di dunia.

Menteri Negara LIngkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, dalam kata sambutan dibacakan Asisten I Pemerinah Aceh, Ridwan Hasan pada upacara memperingati Hari Lingkungan Hidup se Dunia, di Banda Aceh menyebutkan, semakin tingginya kerusakan hutan menjadi faktor dominan pengurangan nilai dan fungsi hutan.

Seharusnya hutan dapat selalu memberi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaragaman hayati dan memitigasi perubahan iklim.

Hutan memiliki esensi sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan manusia dan semua makhluk hidup lainnya di dunia, fungsi itu dapat dicapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya.

Ia menyebutkan, kerusakan hutan mencapai 1,1 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun atau laju kerusakan hutan sekitar 2 persen per tahun.

Semakin tinggi laju kerusakan hutan selama ini disebabkan maraknya pembalakan liar (Illegal Logging), konversi lahan untuk pemukiman dan perkebunan dan kebakaran hutan. Serta kegiatan industri terutama pertambangan yang merusak lingkungan.

Hal senada dikatakan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Husaini Syamaun. Menurutnya kerusakan hutan di Aceh memang ada, tapi tidak sama halnya dengan kerusakan hutan di provinsi lain.

Dijelaskannya, kerusakan hutan di Aceh masih skala kecil, walau pun ada illegal logging, penguasaan lahan HGU. Jangan dilihat dari sisi tersebut, tetapi juga harus dilihat dari pemulihan hutan.

“Ketika hutan ini dilarang tebang, maka sangat bagus bagi potensi hutan dikarenakan produktifitas hutan kita sekarang jauh lebih besar dibading kerusakan, kalau dilihat dari sisi kerusakan yang ada sekarang,” demikian Syamaun.

Sumber Waspada.co.id

Pesisir timur jadi sentra ekspor impor

TUESDAY, 07 JUNE 2011 10:21

BANDA ACEH - Pemerintah Provinsi Aceh akan mengembangkan kawasan pesisir timur menjadi sentra ekspor impor, kata Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.

"Kita akan mengembangkan kawasan ekspor impor di pesisir timur Aceh yang pusatnya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh," kata Muhammad Nazar di Banda Aceh.

Menurut dia, upaya pengembangan itu akan didukung dengan pembangunan pelabuhan laut di Krueng Geukeuh di Kabupaten Aceh Utara.

Dia menambahkan dengan dibangunnya pelabuhan internasional tersebut maka akan dijadikan pusat ekspor impor, sehingga hasil bumi dan industri dari Provinsi Aceh tidak perlu lagi dikirim melalui pelabuhan laut di luar daerah.

Pembangunan pelabuhan tersebut diperkirakan selesai pada 2015, menghabiskan dana sekitar Rp1,25 triliun. Selain pelabuhan, pemerintah juga akan membangun infrastruktur pendukung lainnya.

"Selain tempat pengirimnya, juga dibangun industri pengolahan hasil pertanian maupun perikanan serta mengembangkan kawasan produksi hasil bumi," ujarnya.

Kawasan produksi ini, lanjut dia, akan dikembangkan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta kabupaten/kota lainnya di pesisir barat Provinsi Aceh.

Ia menyebutkan, jika sentra ekspor impor ini terealisasi, maka Aceh terlepas dari koridor perdagangan internasional yang selama ini dilakukan di kawasan Sumatra bagian utara. "Selama ini ekspor impor Aceh harus dilakukan di Medan, Sumatera Utama karena infrastruktur yang tidak mendukung. Akibatnya, Aceh rugi triliunan rupiah setiap tahunnya," ujarnya.

Kecuali itu, kata dia, perdagangan ekspor impor yang dilakukan selama ini berdasarkan dan konsep perdagangan internasional diatur demikian oleh pemerintah pusat.

"Walau nanti konsep perdagangan terpisah dengan Sumatera bagian utara, tetapi Aceh tetap bekerja sama dengan kawasan tersebut. Sebab, Sumatera bagian utara merupakan pasar bagi Aceh, begitu juga sebaliknya," demikian Muhammad Nazar.

Sumber Waspada.co.id

Pesisir timur jadi sentra ekspor impor

TUESDAY, 07 JUNE 2011 10:21

BANDA ACEH - Pemerintah Provinsi Aceh akan mengembangkan kawasan pesisir timur menjadi sentra ekspor impor, kata Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.

"Kita akan mengembangkan kawasan ekspor impor di pesisir timur Aceh yang pusatnya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh," kata Muhammad Nazar di Banda Aceh.

Menurut dia, upaya pengembangan itu akan didukung dengan pembangunan pelabuhan laut di Krueng Geukeuh di Kabupaten Aceh Utara.

Dia menambahkan dengan dibangunnya pelabuhan internasional tersebut maka akan dijadikan pusat ekspor impor, sehingga hasil bumi dan industri dari Provinsi Aceh tidak perlu lagi dikirim melalui pelabuhan laut di luar daerah.

Pembangunan pelabuhan tersebut diperkirakan selesai pada 2015, menghabiskan dana sekitar Rp1,25 triliun. Selain pelabuhan, pemerintah juga akan membangun infrastruktur pendukung lainnya.

"Selain tempat pengirimnya, juga dibangun industri pengolahan hasil pertanian maupun perikanan serta mengembangkan kawasan produksi hasil bumi," ujarnya.

Kawasan produksi ini, lanjut dia, akan dikembangkan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta kabupaten/kota lainnya di pesisir barat Provinsi Aceh.

Ia menyebutkan, jika sentra ekspor impor ini terealisasi, maka Aceh terlepas dari koridor perdagangan internasional yang selama ini dilakukan di kawasan Sumatra bagian utara. "Selama ini ekspor impor Aceh harus dilakukan di Medan, Sumatera Utama karena infrastruktur yang tidak mendukung. Akibatnya, Aceh rugi triliunan rupiah setiap tahunnya," ujarnya.

Kecuali itu, kata dia, perdagangan ekspor impor yang dilakukan selama ini berdasarkan dan konsep perdagangan internasional diatur demikian oleh pemerintah pusat.

"Walau nanti konsep perdagangan terpisah dengan Sumatera bagian utara, tetapi Aceh tetap bekerja sama dengan kawasan tersebut. Sebab, Sumatera bagian utara merupakan pasar bagi Aceh, begitu juga sebaliknya," demikian Muhammad Nazar.

Sumber Waspada.co.id

DPRA inventarisasi izin tambang

SUNDAY, 05 JUNE 2011 01:15

BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akan membentuk tim untuk menginventarisasi perizinan pertambangan yang tersebar di sejumlah daerah di provinsi itu.

"Tim yang terdiri dari anggota Komisi A, B dan C DPRA itu akan turun ke sejumlah daerah untuk menginventarisasi terkait masalah perizinan usaha tambang di Aceh," kata Wakil Ketua Komisi B DPRA Darmuda, tadi malam.

Masalah pertambangan ini sangat serius karena menyangkut eksistensi lingkungan hidup, karenanya perlu segera ditangani dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak buruk di tengah-tengah masyarakat, katanya menambahkan.

Untuk itu diperlukan sebuah tim dari DPRA guna melihat langsung ke lapangan sekaligus mengecek soal perizinan. "Jangan sampai izin pertambangan itu dikeluarkan tanpa mempertimbangkan aspek buruk yang kemungkinan ditimbulkan di masa mendatang, khususnya terkait dengan ancaman kelestarian lingkungan," kata polisi Partai Aceh itu.

Darmuda juga mengimbau Pemerintah Aceh, termasuk kabupaten dan kota agar melakukan koordinasi dengan DPRA sebelum mengeluarkan izin investasi khususnya sektor pertambangan. "Jangan sampai kami tahu adanya investasi pertambangan di suatu daerah ketika adanya aksi penolakan dari masyarakat, seperti beberapa kasus yang terjadi selama ini, warga demo ke DPRA," kata dia.

Sementara itu, sebelumnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyebutkan izin pertambangan yang telah dikeluarkan sejak 2007 hingga saat ini tercatat tiga perusahaan bidang tambang bijih besi.

"Kalau ada yang menyebutkan puluhan perusahaan eksploitasi tambang di Aceh, mungkin perizinannya telah dikeluarkan jauh sebelumnya. Dan ada juga bupati yang langsung mengeluarkan izin tambang di daerahnya," kata dia. Karenanya, Irwandi Yusuf menilai jika ada bupati yang mengeluarkan izin eksploitasi usaha pertambangan tanpa diketahui pemerintah provinsi maka itu ilegal (tidak sah) dan harus ditutup.

Sumber waspada.co.id

Maret, Ekspor Migas dan CPO Naik

FRIDAY, 03 JUNE 2011 07:31

BANDA ACEH- Komoditi Liquid Natural Gas (LNG) dan Cruide Petreleum Oil (CPO) menjadi andalan ekspor Aceh selama Januari - Maret 2011, dengan konstribusi mencapai US$ 400,04 juta atau 98,11 persen dari total nilai ekspor Aceh.

"Selama Januari - Maret 2011, ekspor migas tetap memiliki peranan yang penting terhadap total nilai ekspor Aceh, dengan komoditi andalan LNG dan CPO," cetus Syech Suhaimi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.

Suhaimi kepada wartawan mengatakan, total nilai ekspor dan impor Aceh pada Maret 2011 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 189,66 persen dan 118,47 persen dibandingkan dengan Februari 2011.

Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya nilai ekspor komoditi migas mengalami peningkatan yang cukup pesat, hingga mencapai 202,59 persen, yaitu dari US$ 71,58 pada Februari 2011 menjadi US$ 216,58 juta pada Maret 2011.

Sebaliknya, sebut Suhaimi, nilai ekspor komoditi non minyak dan gas bumi (migas) mengalami penurunan yang cukup drastis, yaitu mengalami penurunan dari US$ 3,47 juta menjadi US$ 799,156 atau turun sebesar 76,98 persen.

Sementara itu, total nilai impor pada bulan Maret 2011 mengalami peningkatan sebesar 118,47 persen dibandingkan bulan Februari 2011, yatu dari US$ 2.033.967 menjadi US$ 4.443.550. "Keseluruhan nilai impor Maret 2011 merupakan komoditi non migas," ungkap Suhaimi.

sumber Waspada.co.id