Senin, 26 September 2011

Daerah Bencana Terus Dipantau

THURSDAY, 08 SEPTEMBER 2011 22:06

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh hingga hari ini, terus memantau dan melakukan identifikasi kerusakan di Singkil dan Subulussalam, pascagempa gempa tektonik 8,7 Skala Richter (SR). Namun, Pemkab dan Pemko setempat dilaporkan masih belum juga mengajukan permintaan bantuan masa panik ke provinsi.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Asmadi Syam mengakui bingung dalam menangani musibah bencana yang melanda Aceh Singkil dan Kota Subulussalam pascabencana tersebut. Sebab, hingga kemarin, Pemkab Aceh Singkil maupun Pemko Subulussalam belum mengajukan permintaan kebutuhan untuk masa panik maupun kebutuhan rehab/rekon pascabencana.

Menurut Asmadi, jika terjadi bencana alam di suatu daerah, pihak pertama yang paling bertanggung jawab terhadap penanggulangan pascabencana adalah pemerintah setempat di kabupaten/kota. “Ini diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” katanya.

Dikatakan, jika pemkab/pemko tidak mampu menanggulangi berbagai kerusakan yang terjadi akibat bencana, maka membuat laporan dan sekaligus mengajukan permintaan kepada provinsi terhadap kebutuhan yang diperlukan untuk masa panik maupun kebutuhan rehab/rekon. “Tapi sampai hari ini (kemarin-red) kedua daerah tersebut belum mengajukan permintaan bantuan ke provinsi,” ujarnya.

Asmadi juga mengungkapkan bahwa pihaknya sampai saat ini belum bisa berbuat banyak. Sebab, mungkin kedua daerah tersebut mampu menanggulanginya. “Kalau nanti kita langsung bergerak cepat tanpa ada permintaan dari daerah akan terjerat dengan ketentuan yang berlaku. Saya tidak mau terjerat hukum,” imbuh Asmadi.

Dikatakan, jika skala kerusakan cukup parah dan provinsi tidak mampu memanggulanginya, maka pemerintah provinsi akan meminta kepada pemerintah pusat. “Maka perlu cepat dilakukan identifikasi terhadap kerusakan dan korban yang jatuh, sehingga bencana yang terjadi bisa cepat ditanggulangi,” ujarnya.

Di samping itu, ungkap Asmadi Syam, sampai saat ini kedua daerah tersebut belum menunjukkan Komando Pegendali Lapangan (Kodal) yang akan bekerja langsung untuk melakukan berbagai masalah yang muncul pascabenca termasuk melakukan kaji cepat SAR/evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan kelompok rentan, pemulihan fasilitas kritis.

Meskipun begitu, ungkap Asmadi Syam, pihaknya kemarin sudah langsung mengirimkan tim terpadu ke lapangan guna melakukan identifikasi terhadap kerusakan yang terjadi di dua daerah yang terkena bencana gempa 6,7 SR tersebut. “Dan kita juga terus melakukan pemantauan setiap jam terhadap perkembangan yang terjadi di lapangan,” demikian Asmadi Syam.

Sumber waspada.co.id

Jumat, 09 September 2011

Level gempa Singkil bencana kabupaten Level gempa Singkil bencana kabupaten Warta HENDRO KOTO Koresponden Aceh WASPADA ONLINE BANDA ACEH – Gempa berkekuatan 6,7 SR yang berpusat di Kabupaten Aceh Singkil dan berdampak kerusakan hebat di Kota Subusallam masih ditetapkan sebagai bencana Kabupaten. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan paparan kerusakan akibat gempa masih dapat ditangani oleh pemerintah setempat, sehingga belum perlu ditetapkan statusnya sebagai bencana provinsi. Hal in dikemukakan oleh Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Razali kepada Waspada Online, hari ini. “ Yah saat ini atas kordinasi dengan pemerintah setempat dan berdasarkan pantauan lapangan dan situasi di sana, maka belum dibutuhkan status gempa Singkil sebagai bencana Provinsi, itu masih bencana kabupaten,” jelas Razali. Namun menurutnya, pihak BBPA selaku penanggungjawab persoalan-persoalan terkait kebencanaan tetap akan terus melakukan kordinasi dan memberikan bantuan teknis dan pendanaan guna mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat ekses dari gempa itu.

FRIDAY, 09 SEPTEMBER 2011 11:09

BANDA ACEH – Gempa berkekuatan 6,7 SR yang berpusat di Kabupaten Aceh Singkil dan berdampak kerusakan hebat di Kota Subusallam masih ditetapkan sebagai bencana Kabupaten. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan paparan kerusakan akibat gempa masih dapat ditangani oleh pemerintah setempat, sehingga belum perlu ditetapkan statusnya sebagai bencana provinsi. Hal in dikemukakan oleh Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Razali kepada Waspada Online, hari ini.

“ Yah saat ini atas kordinasi dengan pemerintah setempat dan berdasarkan pantauan lapangan dan situasi di sana, maka belum dibutuhkan status gempa Singkil sebagai bencana Provinsi, itu masih bencana kabupaten,” jelas Razali.

Namun menurutnya, pihak BBPA selaku penanggungjawab persoalan-persoalan terkait kebencanaan tetap akan terus melakukan kordinasi dan memberikan bantuan teknis dan pendanaan guna mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat ekses dari gempa itu.

Sumber Waspada.co.id

Selasa, 06 September 2011

Pertambangan di Aceh Bermasalah

TUESDAY, 23 AUGUST 2011 00:30

BANDA ACEH - Ketua Komisi VII DPR RI Teuku Riefky Harsha mengatakan, masih banyak ditemukan masalah dengan pertambangan di daerah dalam beberapa tahun terakhir.

"Salah satu dampak dari pemberlakuan otonomi daerah (otda) ini, maka izin pertambangan dapat dikeluarkan langsung bupati/wali kota setempat yang sebagiannya banyak masalah," katanya, hari ini.

Hal tersebut disampaikan menanggapi munculnya sejumlah masalah sektor pertambangan seperti beberapa kasus terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir.

Karena itu, pihaknya akan terus mendorong adanya koordinasi antara Pemerintah kabupaten/kota atau provinsi di Indonesia dengan pemerintah pusat soal perizinan investasi bidang pertambangan.

Berdasarkan data, politisi Partai Demokrat itu menyebutkan hanya tiga ribu dari tatol 11 ribu izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh para bupati/wali kota seluruh Indonesia itu terdaftar di instansi terkait di pusat.

"Semangat otda itu para bupati atau wali kota dapat mengeluarkan izin kepada perusahaan untuk melakukan eksploirasi dan ekskploitasi hasil tambang di wilayahnya masing-masing," kata dia menjelaskan.

Untuk kedepan, anggota DPR RI asal daerah pemilihan (dapil) Aceh itu menambahkan diperlukan regulasi sosial antara pusat dan daerah, sehingga kehadiran perusahaan eksploitasi tambang tersebut tidak menimbulkan masalah dikemudian lahir, misalnya terkait dengan pencemaran lingkungan.

"Karenanya, perlu kita monitor jangan sampai masalah pertambangan ini menjadi persoalan sosial dan lingkungan dimasa mendatang di Indonesia," kata Riefky menjelaskan.

Dipihak lain, Ketua Komisi VII DPR RI itu juga menyebutkan persoalan yang memerlukan pengawasan dan pemantauan secara terus menerus adalah soal pendistribusian Bahan Bakar umum Minyak (BBM) bersubsidi.

Pengawasan terus menerus yang membutuhkan perhatian seluruh elemen, seperti terkait suplai BBM untuk warga yang menjadi sasaran (subsid) itu jangan sampi tiba-tiba terjadi kelangkaan.

"Karena jika BBM langka dan terjadi lonjakan harga diluar jangkauan masyarakat maka kedepan akan berdampak sosial setelah terjadinya kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok rakyat," kata Teuku Riefky Harsha.

Sumber Waspada.co.id

12 Ruas Jalan Rawan Longsor


Sabtu, 20 Agustus 2011 14:00 WIB


BANDA ACEH - Hasil pantauan dan pemetaan yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh bersama dinas teknis lainnya pekan lalu untuk pengamanan pelaksanaan arus mudik Lebaran Idul Fitri 1432 Hijriah tahun 2011, sedikitnya ada 12 titik lintasan jalan yang rawan longsor dan banjir yang harus diwaspadai para pemudik. Ke-12 titik rawan itu terbentang mulai dari Tangse hingga Bireuen dan Subulussalam hingga perbatasan dengan Sumatera Utara (lihat infografis)

“Untuk menjamin kelancaran arus mudik lebaran di 12 lintasan rawan longsor dan banjir tersebut, Dinas BMCK Aceh bersama Dinas PU kabupaten/kota dan UPTD PU provinsi yang berada di kabupaten/kota dibantu kontraktor yang sedang bekerja, telah menyiagakan alat berat bersama operatornya,” kata Kadis BMCK Aceh, Dr Muhyan Yunan kepada Serambi, Jumat (19/8) ketika dimintai penjelasannya tentang persiapanan penanganan tanah longsor dan banjir pada masa mudik Lebaran Idul Fitri tahun ini.

Menurutnya, untuk setiap lintasan rawan bencana tanah longsor dan banjir, telah ditunjuk orang yang bertanggung jawab. Nomor handphone-nya pun sudah dicatat dan siap dihubungi siang-malam (lihat boks-red). Semua lintasan tersebut juga disiagakan alat berat seperti excavator, wheel loader, vibratory roller, stamper, dan dumptruck. Para penanggung jawab penanganan ancaman jalan longsor, banjir, dan lainnya itu, kata Muhyan, mendapat tugas berdasarkan SK Gubernur dan surat perintah Kadis BMCK Aceh. “Untuk itu, ia harus bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya dalam penanganan kelancaran arus mudik jika pada lintasan wilayah kewenangan pengawasannya terjadi gangguan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, dan lainnya.(her)

lintasan rawan longsor dan penanggung jawabnya
* Lintasan Tangse-Tiro-Gunung Aneuk Manyak, penanggung jawab Ir Faisal MT (hanphone 08120964292)
* Bereuen-Bener Meriah-Takengon, Syafaruddin ST (0811687330)
* Gunung Paro-Kulu-Geurutee, Ir Alfakih Jalaluddin MSi (0811681042)
* Blangakejeren-Kutacane, Ir Zusman Asfar Wahab MT (08126984218)
* Blangpidie-Tapaktuan, Ir Mawardi (081360776727) * Meulaboh-Nagan, Yulian MT (0812269851124)
* Subulussalam-Singkil, Ir Syauqi Kamal MT (08126984213)
* Subulussalam-Sumut, Faizal ST (08126905851)
* Seulawah-Sigli, Ir Ismail Nasir MM (0811682224)
* Lhokseumawe-Aceh Tamiang, Thaibur MT (081322411679) dan Emi Effendi MT (081360220441)

Sumber Serambinews.com

Senin, 15 Agustus 2011

Ekonomi Aceh Tiga Terbawah se-Sumatera

SUNDAY, 07 AUGUST 2011 08:18

BANDA ACEH - Kondisi ekonomi konsumen di Aceh akan bergerak naik pada triwulan ketiga, yaitu Juli, Agustus dan September 2011. Hal ini berdasarkan pada Indeks Tendensi Konsumen yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.

Perkiraan BPS Aceh bahwa indeks ini akan terus meningkat naik di Provinsi Aceh. “ITK pada triwulan ketiga ini diperkirakan108,13. Artinya kondisi konsumen akan teru membaik,” kata Plh. Kepala BPS Aceh, Azhar M. Yatim.

Persepsi kondisi ekonomi oleh konsumen di Provinsi Aceh pada triwulan III 2011 menyatakan perkiraan kondisi yang semakin baik. Tingkat optimisme konsumen ini ditunjukkan dengan indeks perkiraan triwulan ketiga 108,13.

Faktornya adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga yang ditunjukkan dengan nilai indeks 107,71 karena berdampak pada pembelian barang tahan lama yang ditunjukkan dengan nilai indeks sebesar 109,01.

Namun, perkiraan triwulan ke III 2011 ini, ITK tertinggi diduduki oleh Provinsi Riau dengan nilai 110,01. Kemudian disusul Sumatera Utara dengan nilai indeksnya 109,88. Peringkat ketiga adalah Bangka Belitung perolehan indek hingga 109,14. Berikutnya Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Aceh yang hanya mencapai 108,13.

Persepsi konsumen di Provinsi Aceh dengan nilai 108,13 menduduki peringkat ketiga terbawah se-Sumatera diatas Provinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Perkiraan membaiknya kondisi ekonomi konsumen ini terjadi karena peningkatan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada pembelian barang-barang tahan lama, seperti computer, kulkas, mesin cuci, TV, Hand Phone, radio tape dan bahan elektronik lainnya.

Pada triwulan I 2011,yaitu Januari — Maret, ITK Provinsi Aceh berada di peringkat enam terbawah di Sumatera. Kemudian pada triwulan II 2011, yaitu April-Juni, ITK Aceh turun berada di peringkat kelima terbawah di Pulau Sumatera. Berikutnya perkiraan triwulan III 2011, yaitu Juli-September turun lagi ke peringkat ketiga terbawah di Pulau Sumatera.

Sumber Waspada.co.id

2011, Kerusakan Hutan Menurun

TUESDAY, 02 AUGUST 2011 13:40

IDI - Semenjak eksisnya Polisi Hutan (Polhut) dibawah Koordinator Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, tidak kurang dari 100 ton illegal logging disita dari berbagai titik di pedalaman Aceh Timur. Hasil tersebut tercatat sejak tahun 2010 hingga pertengahan 2011.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, Saifudin, mengaku perambahan hutan di tahun 2008 dan 2009 kian mengganas. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya kawasan-kawasan pegunungan terimbas banjir, seperti Ranto Peureulak dan Peunarun, serta Alue Ler Mirah.

“Sementara tahun 2010 juga kian meningkat perambahan hutan di sejumlah titik seperti di kawasan Serbajadi, Lokop, dan Pantee Bidari. Tetapi karena kita bersama aparat kepolisian terus melakukan operasi, maka pengungkapan kasus juga meningkat,” ujar Saifuddin, tadi siang.

Ia menambahkan, di tahun 2011 pengungkapan kasus juga meningkat, sehingga tidak kurang dari 30 ton kayu berkelas juga diamankan. Menurut Saifuddin, hasil survey pihaknya di tahun 2011 kerusakan hutan menurun dibandingkan tahun 2008, 2009, dan 2010.

Kondisi tersebut terjadi akibat kerapnya operasi yang dilancarkan pihak Polhut bersama aparat kepolisian setempat, sehingga banyak temuan kayu berkelas ditangkap dan disita, baik saat diangkut melalui jalan darat, maupun kepergok ketika diangkut melalui jalur sungai.

“Kerusakan hutan Aceh Timur, jika diperkirakan mencapai puluhan hektar, tapi bukan pada satu titik, namun terjadi di sejumlah titik yang jauh dari pengawasan dan Polhut, seperti pedalaman Alue Ie Mirah, Pantee Bidari, Ranto Peureulak, Serbajadi-Lokop, Peunarun, dan Biren Bayeun seperti di Jambor Labu,” jelasnya.

Dirincikan, tahun 2010 pihaknya berhasil mengamankan sedikitnya kayu balok (KB) jenis meuranti 11,40 m3 kubik, rimba campuran 21,88 m3 kubik, Kayu olahan 34,434 m3 kubik, jenis meuranti 33,3488 m3 kubik, meubo 5.8440 m3 kubik, kayu indah seperti mahoni 4,10 m3 kubik, dan rimba campuran 15,7310 m3 kubik.

“Jadi, total kayu yang berhasil kita sita tahun 2010 mencapai 126,7378 m3,” sebut Saifuddin. Sementara tahun 2011 Polhut juga berhasil menyita sejumlah barang bukti dari berbagai jenis kayu, hingga Juli tercatat jenis meuranti 1,95 m3 kubik. Rimba campuran 8,43 m3 kubik, olahan 16,47 m3, meuranti 3,4313 m3 kubik, dan kelompok kayu campuran 1,674 m3 kubik.

“Jadi total kayu yang sudah kita sita ditahun 2011 ini juga mencapai 31,9553 m3 kubik,” kata Saifuddin seraya menandaskan, jika dibagi dalam ton maka tidak kurang 122 ton kayu hutan yang merupakan hasil tebangan liar diamankan.

Sumber Waspada.co.id

Minggu, 14 Agustus 2011

Aceh Berpeluang Menjadi Sentra Sawit Nasional

SATURDAY, 30 JULY 2011 23:07

BANDA ACEH - Anggota DPR RI Muhammad Azhari, mengatakan Provinsi Aceh berpeluang mewujudkan sebagai daerah sentra produksi kelapa sawit nasional sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

"Setidaknya beberapa terobosan yang harus dilakukan melalui langkah dan upaya strategis guna mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi sawit nasional," katanya saat dihubungi dari Banda Aceh, malam ini.

Politisi Partai Demokrat itu menilai ada beberapa strategi untuk mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi kelapa sawit nasional, antara lain melalui penggunaan bibit kualitas tinggi dan pengolahan lahan dengan teknologi dan pemupukan lahan yang baik.

Menurut dia, pembukaan sentra penggilingan itu untuk mendorong peningkatan produksi minyak sawit, pembangunan sarana pendukung/infrastruktur seperti fasilitas tangki penimbunan dan pelabuhan serta pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk ber-margin tinggi.

Provinsi Aceh yang berada di kawasan ekonomi Sumatera menyumbang peran cukup besar dalam pengembangan kegiatan ekonomi kelapa sawit, dengan total luas lahan sebesar 0,31 juta hektare dari total 4,83 juta hektar lahan diseluruh Pulau Sumatera.

"Selama ini, besarnya sumbangan pada sektor utama kelapa sawit di Aceh ini tidak diikuti oleh sektor utama ekonomi lainnya," kata anggota Komisi VI DPR RI itu.

Dia mengatakan, Provinsi Aceh tidak seperti wilayah sumatera lainnya yang memiliki kandungan batu bara cukup besar.

Akan tetapi, terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang mempertahankan keberadaan Provinsi Aceh mendukung sumatera sebagai salah satu lumbung energi nasional.

Dipihak lain, Muhammad Azhari juga menjelaskan bahwa industri karet meskipun saat ini tidak cukup besar namun masih terbuka untuk dikembangkan di Aceh seperti komoditas pertanian lainnya.

Selain itu, letak Aceh yang strategis yakni di mulut Selat Malaka pada jalur perdagangan internasional juga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan fokus utama ekonomi bidang perkapalan.

"Peluang tersebut jika dimanfaatkan secara optimal maka akan menjadi kekuatan ekonomi Aceh dimasa datang," kata dia.

Karena itu ia berharap seluruh stakeholder mampu mensinergikan konsep dan gagasan yang terdapat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) melalui kebijakan sektoral di daerah khususnya terkait dengan deregulasi sejumlah peraturan yang menghambat investasi saat ini.

Sumber Waspada.co.id