Senin, 26 September 2011

Daerah Bencana Terus Dipantau

THURSDAY, 08 SEPTEMBER 2011 22:06

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh hingga hari ini, terus memantau dan melakukan identifikasi kerusakan di Singkil dan Subulussalam, pascagempa gempa tektonik 8,7 Skala Richter (SR). Namun, Pemkab dan Pemko setempat dilaporkan masih belum juga mengajukan permintaan bantuan masa panik ke provinsi.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Asmadi Syam mengakui bingung dalam menangani musibah bencana yang melanda Aceh Singkil dan Kota Subulussalam pascabencana tersebut. Sebab, hingga kemarin, Pemkab Aceh Singkil maupun Pemko Subulussalam belum mengajukan permintaan kebutuhan untuk masa panik maupun kebutuhan rehab/rekon pascabencana.

Menurut Asmadi, jika terjadi bencana alam di suatu daerah, pihak pertama yang paling bertanggung jawab terhadap penanggulangan pascabencana adalah pemerintah setempat di kabupaten/kota. “Ini diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” katanya.

Dikatakan, jika pemkab/pemko tidak mampu menanggulangi berbagai kerusakan yang terjadi akibat bencana, maka membuat laporan dan sekaligus mengajukan permintaan kepada provinsi terhadap kebutuhan yang diperlukan untuk masa panik maupun kebutuhan rehab/rekon. “Tapi sampai hari ini (kemarin-red) kedua daerah tersebut belum mengajukan permintaan bantuan ke provinsi,” ujarnya.

Asmadi juga mengungkapkan bahwa pihaknya sampai saat ini belum bisa berbuat banyak. Sebab, mungkin kedua daerah tersebut mampu menanggulanginya. “Kalau nanti kita langsung bergerak cepat tanpa ada permintaan dari daerah akan terjerat dengan ketentuan yang berlaku. Saya tidak mau terjerat hukum,” imbuh Asmadi.

Dikatakan, jika skala kerusakan cukup parah dan provinsi tidak mampu memanggulanginya, maka pemerintah provinsi akan meminta kepada pemerintah pusat. “Maka perlu cepat dilakukan identifikasi terhadap kerusakan dan korban yang jatuh, sehingga bencana yang terjadi bisa cepat ditanggulangi,” ujarnya.

Di samping itu, ungkap Asmadi Syam, sampai saat ini kedua daerah tersebut belum menunjukkan Komando Pegendali Lapangan (Kodal) yang akan bekerja langsung untuk melakukan berbagai masalah yang muncul pascabenca termasuk melakukan kaji cepat SAR/evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan kelompok rentan, pemulihan fasilitas kritis.

Meskipun begitu, ungkap Asmadi Syam, pihaknya kemarin sudah langsung mengirimkan tim terpadu ke lapangan guna melakukan identifikasi terhadap kerusakan yang terjadi di dua daerah yang terkena bencana gempa 6,7 SR tersebut. “Dan kita juga terus melakukan pemantauan setiap jam terhadap perkembangan yang terjadi di lapangan,” demikian Asmadi Syam.

Sumber waspada.co.id

Jumat, 09 September 2011

Level gempa Singkil bencana kabupaten Level gempa Singkil bencana kabupaten Warta HENDRO KOTO Koresponden Aceh WASPADA ONLINE BANDA ACEH – Gempa berkekuatan 6,7 SR yang berpusat di Kabupaten Aceh Singkil dan berdampak kerusakan hebat di Kota Subusallam masih ditetapkan sebagai bencana Kabupaten. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan paparan kerusakan akibat gempa masih dapat ditangani oleh pemerintah setempat, sehingga belum perlu ditetapkan statusnya sebagai bencana provinsi. Hal in dikemukakan oleh Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Razali kepada Waspada Online, hari ini. “ Yah saat ini atas kordinasi dengan pemerintah setempat dan berdasarkan pantauan lapangan dan situasi di sana, maka belum dibutuhkan status gempa Singkil sebagai bencana Provinsi, itu masih bencana kabupaten,” jelas Razali. Namun menurutnya, pihak BBPA selaku penanggungjawab persoalan-persoalan terkait kebencanaan tetap akan terus melakukan kordinasi dan memberikan bantuan teknis dan pendanaan guna mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat ekses dari gempa itu.

FRIDAY, 09 SEPTEMBER 2011 11:09

BANDA ACEH – Gempa berkekuatan 6,7 SR yang berpusat di Kabupaten Aceh Singkil dan berdampak kerusakan hebat di Kota Subusallam masih ditetapkan sebagai bencana Kabupaten. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan paparan kerusakan akibat gempa masih dapat ditangani oleh pemerintah setempat, sehingga belum perlu ditetapkan statusnya sebagai bencana provinsi. Hal in dikemukakan oleh Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Razali kepada Waspada Online, hari ini.

“ Yah saat ini atas kordinasi dengan pemerintah setempat dan berdasarkan pantauan lapangan dan situasi di sana, maka belum dibutuhkan status gempa Singkil sebagai bencana Provinsi, itu masih bencana kabupaten,” jelas Razali.

Namun menurutnya, pihak BBPA selaku penanggungjawab persoalan-persoalan terkait kebencanaan tetap akan terus melakukan kordinasi dan memberikan bantuan teknis dan pendanaan guna mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat ekses dari gempa itu.

Sumber Waspada.co.id

Selasa, 06 September 2011

Pertambangan di Aceh Bermasalah

TUESDAY, 23 AUGUST 2011 00:30

BANDA ACEH - Ketua Komisi VII DPR RI Teuku Riefky Harsha mengatakan, masih banyak ditemukan masalah dengan pertambangan di daerah dalam beberapa tahun terakhir.

"Salah satu dampak dari pemberlakuan otonomi daerah (otda) ini, maka izin pertambangan dapat dikeluarkan langsung bupati/wali kota setempat yang sebagiannya banyak masalah," katanya, hari ini.

Hal tersebut disampaikan menanggapi munculnya sejumlah masalah sektor pertambangan seperti beberapa kasus terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir.

Karena itu, pihaknya akan terus mendorong adanya koordinasi antara Pemerintah kabupaten/kota atau provinsi di Indonesia dengan pemerintah pusat soal perizinan investasi bidang pertambangan.

Berdasarkan data, politisi Partai Demokrat itu menyebutkan hanya tiga ribu dari tatol 11 ribu izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh para bupati/wali kota seluruh Indonesia itu terdaftar di instansi terkait di pusat.

"Semangat otda itu para bupati atau wali kota dapat mengeluarkan izin kepada perusahaan untuk melakukan eksploirasi dan ekskploitasi hasil tambang di wilayahnya masing-masing," kata dia menjelaskan.

Untuk kedepan, anggota DPR RI asal daerah pemilihan (dapil) Aceh itu menambahkan diperlukan regulasi sosial antara pusat dan daerah, sehingga kehadiran perusahaan eksploitasi tambang tersebut tidak menimbulkan masalah dikemudian lahir, misalnya terkait dengan pencemaran lingkungan.

"Karenanya, perlu kita monitor jangan sampai masalah pertambangan ini menjadi persoalan sosial dan lingkungan dimasa mendatang di Indonesia," kata Riefky menjelaskan.

Dipihak lain, Ketua Komisi VII DPR RI itu juga menyebutkan persoalan yang memerlukan pengawasan dan pemantauan secara terus menerus adalah soal pendistribusian Bahan Bakar umum Minyak (BBM) bersubsidi.

Pengawasan terus menerus yang membutuhkan perhatian seluruh elemen, seperti terkait suplai BBM untuk warga yang menjadi sasaran (subsid) itu jangan sampi tiba-tiba terjadi kelangkaan.

"Karena jika BBM langka dan terjadi lonjakan harga diluar jangkauan masyarakat maka kedepan akan berdampak sosial setelah terjadinya kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok rakyat," kata Teuku Riefky Harsha.

Sumber Waspada.co.id

12 Ruas Jalan Rawan Longsor


Sabtu, 20 Agustus 2011 14:00 WIB


BANDA ACEH - Hasil pantauan dan pemetaan yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh bersama dinas teknis lainnya pekan lalu untuk pengamanan pelaksanaan arus mudik Lebaran Idul Fitri 1432 Hijriah tahun 2011, sedikitnya ada 12 titik lintasan jalan yang rawan longsor dan banjir yang harus diwaspadai para pemudik. Ke-12 titik rawan itu terbentang mulai dari Tangse hingga Bireuen dan Subulussalam hingga perbatasan dengan Sumatera Utara (lihat infografis)

“Untuk menjamin kelancaran arus mudik lebaran di 12 lintasan rawan longsor dan banjir tersebut, Dinas BMCK Aceh bersama Dinas PU kabupaten/kota dan UPTD PU provinsi yang berada di kabupaten/kota dibantu kontraktor yang sedang bekerja, telah menyiagakan alat berat bersama operatornya,” kata Kadis BMCK Aceh, Dr Muhyan Yunan kepada Serambi, Jumat (19/8) ketika dimintai penjelasannya tentang persiapanan penanganan tanah longsor dan banjir pada masa mudik Lebaran Idul Fitri tahun ini.

Menurutnya, untuk setiap lintasan rawan bencana tanah longsor dan banjir, telah ditunjuk orang yang bertanggung jawab. Nomor handphone-nya pun sudah dicatat dan siap dihubungi siang-malam (lihat boks-red). Semua lintasan tersebut juga disiagakan alat berat seperti excavator, wheel loader, vibratory roller, stamper, dan dumptruck. Para penanggung jawab penanganan ancaman jalan longsor, banjir, dan lainnya itu, kata Muhyan, mendapat tugas berdasarkan SK Gubernur dan surat perintah Kadis BMCK Aceh. “Untuk itu, ia harus bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya dalam penanganan kelancaran arus mudik jika pada lintasan wilayah kewenangan pengawasannya terjadi gangguan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, dan lainnya.(her)

lintasan rawan longsor dan penanggung jawabnya
* Lintasan Tangse-Tiro-Gunung Aneuk Manyak, penanggung jawab Ir Faisal MT (hanphone 08120964292)
* Bereuen-Bener Meriah-Takengon, Syafaruddin ST (0811687330)
* Gunung Paro-Kulu-Geurutee, Ir Alfakih Jalaluddin MSi (0811681042)
* Blangakejeren-Kutacane, Ir Zusman Asfar Wahab MT (08126984218)
* Blangpidie-Tapaktuan, Ir Mawardi (081360776727) * Meulaboh-Nagan, Yulian MT (0812269851124)
* Subulussalam-Singkil, Ir Syauqi Kamal MT (08126984213)
* Subulussalam-Sumut, Faizal ST (08126905851)
* Seulawah-Sigli, Ir Ismail Nasir MM (0811682224)
* Lhokseumawe-Aceh Tamiang, Thaibur MT (081322411679) dan Emi Effendi MT (081360220441)

Sumber Serambinews.com

Senin, 15 Agustus 2011

Ekonomi Aceh Tiga Terbawah se-Sumatera

SUNDAY, 07 AUGUST 2011 08:18

BANDA ACEH - Kondisi ekonomi konsumen di Aceh akan bergerak naik pada triwulan ketiga, yaitu Juli, Agustus dan September 2011. Hal ini berdasarkan pada Indeks Tendensi Konsumen yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.

Perkiraan BPS Aceh bahwa indeks ini akan terus meningkat naik di Provinsi Aceh. “ITK pada triwulan ketiga ini diperkirakan108,13. Artinya kondisi konsumen akan teru membaik,” kata Plh. Kepala BPS Aceh, Azhar M. Yatim.

Persepsi kondisi ekonomi oleh konsumen di Provinsi Aceh pada triwulan III 2011 menyatakan perkiraan kondisi yang semakin baik. Tingkat optimisme konsumen ini ditunjukkan dengan indeks perkiraan triwulan ketiga 108,13.

Faktornya adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga yang ditunjukkan dengan nilai indeks 107,71 karena berdampak pada pembelian barang tahan lama yang ditunjukkan dengan nilai indeks sebesar 109,01.

Namun, perkiraan triwulan ke III 2011 ini, ITK tertinggi diduduki oleh Provinsi Riau dengan nilai 110,01. Kemudian disusul Sumatera Utara dengan nilai indeksnya 109,88. Peringkat ketiga adalah Bangka Belitung perolehan indek hingga 109,14. Berikutnya Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Aceh yang hanya mencapai 108,13.

Persepsi konsumen di Provinsi Aceh dengan nilai 108,13 menduduki peringkat ketiga terbawah se-Sumatera diatas Provinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Perkiraan membaiknya kondisi ekonomi konsumen ini terjadi karena peningkatan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada pembelian barang-barang tahan lama, seperti computer, kulkas, mesin cuci, TV, Hand Phone, radio tape dan bahan elektronik lainnya.

Pada triwulan I 2011,yaitu Januari — Maret, ITK Provinsi Aceh berada di peringkat enam terbawah di Sumatera. Kemudian pada triwulan II 2011, yaitu April-Juni, ITK Aceh turun berada di peringkat kelima terbawah di Pulau Sumatera. Berikutnya perkiraan triwulan III 2011, yaitu Juli-September turun lagi ke peringkat ketiga terbawah di Pulau Sumatera.

Sumber Waspada.co.id

2011, Kerusakan Hutan Menurun

TUESDAY, 02 AUGUST 2011 13:40

IDI - Semenjak eksisnya Polisi Hutan (Polhut) dibawah Koordinator Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, tidak kurang dari 100 ton illegal logging disita dari berbagai titik di pedalaman Aceh Timur. Hasil tersebut tercatat sejak tahun 2010 hingga pertengahan 2011.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Timur, Saifudin, mengaku perambahan hutan di tahun 2008 dan 2009 kian mengganas. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya kawasan-kawasan pegunungan terimbas banjir, seperti Ranto Peureulak dan Peunarun, serta Alue Ler Mirah.

“Sementara tahun 2010 juga kian meningkat perambahan hutan di sejumlah titik seperti di kawasan Serbajadi, Lokop, dan Pantee Bidari. Tetapi karena kita bersama aparat kepolisian terus melakukan operasi, maka pengungkapan kasus juga meningkat,” ujar Saifuddin, tadi siang.

Ia menambahkan, di tahun 2011 pengungkapan kasus juga meningkat, sehingga tidak kurang dari 30 ton kayu berkelas juga diamankan. Menurut Saifuddin, hasil survey pihaknya di tahun 2011 kerusakan hutan menurun dibandingkan tahun 2008, 2009, dan 2010.

Kondisi tersebut terjadi akibat kerapnya operasi yang dilancarkan pihak Polhut bersama aparat kepolisian setempat, sehingga banyak temuan kayu berkelas ditangkap dan disita, baik saat diangkut melalui jalan darat, maupun kepergok ketika diangkut melalui jalur sungai.

“Kerusakan hutan Aceh Timur, jika diperkirakan mencapai puluhan hektar, tapi bukan pada satu titik, namun terjadi di sejumlah titik yang jauh dari pengawasan dan Polhut, seperti pedalaman Alue Ie Mirah, Pantee Bidari, Ranto Peureulak, Serbajadi-Lokop, Peunarun, dan Biren Bayeun seperti di Jambor Labu,” jelasnya.

Dirincikan, tahun 2010 pihaknya berhasil mengamankan sedikitnya kayu balok (KB) jenis meuranti 11,40 m3 kubik, rimba campuran 21,88 m3 kubik, Kayu olahan 34,434 m3 kubik, jenis meuranti 33,3488 m3 kubik, meubo 5.8440 m3 kubik, kayu indah seperti mahoni 4,10 m3 kubik, dan rimba campuran 15,7310 m3 kubik.

“Jadi, total kayu yang berhasil kita sita tahun 2010 mencapai 126,7378 m3,” sebut Saifuddin. Sementara tahun 2011 Polhut juga berhasil menyita sejumlah barang bukti dari berbagai jenis kayu, hingga Juli tercatat jenis meuranti 1,95 m3 kubik. Rimba campuran 8,43 m3 kubik, olahan 16,47 m3, meuranti 3,4313 m3 kubik, dan kelompok kayu campuran 1,674 m3 kubik.

“Jadi total kayu yang sudah kita sita ditahun 2011 ini juga mencapai 31,9553 m3 kubik,” kata Saifuddin seraya menandaskan, jika dibagi dalam ton maka tidak kurang 122 ton kayu hutan yang merupakan hasil tebangan liar diamankan.

Sumber Waspada.co.id

Minggu, 14 Agustus 2011

Aceh Berpeluang Menjadi Sentra Sawit Nasional

SATURDAY, 30 JULY 2011 23:07

BANDA ACEH - Anggota DPR RI Muhammad Azhari, mengatakan Provinsi Aceh berpeluang mewujudkan sebagai daerah sentra produksi kelapa sawit nasional sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

"Setidaknya beberapa terobosan yang harus dilakukan melalui langkah dan upaya strategis guna mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi sawit nasional," katanya saat dihubungi dari Banda Aceh, malam ini.

Politisi Partai Demokrat itu menilai ada beberapa strategi untuk mewujudkan Aceh sebagai sentra produksi kelapa sawit nasional, antara lain melalui penggunaan bibit kualitas tinggi dan pengolahan lahan dengan teknologi dan pemupukan lahan yang baik.

Menurut dia, pembukaan sentra penggilingan itu untuk mendorong peningkatan produksi minyak sawit, pembangunan sarana pendukung/infrastruktur seperti fasilitas tangki penimbunan dan pelabuhan serta pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk ber-margin tinggi.

Provinsi Aceh yang berada di kawasan ekonomi Sumatera menyumbang peran cukup besar dalam pengembangan kegiatan ekonomi kelapa sawit, dengan total luas lahan sebesar 0,31 juta hektare dari total 4,83 juta hektar lahan diseluruh Pulau Sumatera.

"Selama ini, besarnya sumbangan pada sektor utama kelapa sawit di Aceh ini tidak diikuti oleh sektor utama ekonomi lainnya," kata anggota Komisi VI DPR RI itu.

Dia mengatakan, Provinsi Aceh tidak seperti wilayah sumatera lainnya yang memiliki kandungan batu bara cukup besar.

Akan tetapi, terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang mempertahankan keberadaan Provinsi Aceh mendukung sumatera sebagai salah satu lumbung energi nasional.

Dipihak lain, Muhammad Azhari juga menjelaskan bahwa industri karet meskipun saat ini tidak cukup besar namun masih terbuka untuk dikembangkan di Aceh seperti komoditas pertanian lainnya.

Selain itu, letak Aceh yang strategis yakni di mulut Selat Malaka pada jalur perdagangan internasional juga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan fokus utama ekonomi bidang perkapalan.

"Peluang tersebut jika dimanfaatkan secara optimal maka akan menjadi kekuatan ekonomi Aceh dimasa datang," kata dia.

Karena itu ia berharap seluruh stakeholder mampu mensinergikan konsep dan gagasan yang terdapat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) melalui kebijakan sektoral di daerah khususnya terkait dengan deregulasi sejumlah peraturan yang menghambat investasi saat ini.

Sumber Waspada.co.id

Rabu, 10 Agustus 2011

Jeda tebang di Aceh belum berjalan

FRIDAY, 29 JULY 2011 10:16

BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kebijakan jeda tebang atau moratorium logging di Provinsi Aceh belum berjalan konsisten, sehingga masih banyak ditemukan penebangan hutan tidak terkendali.

"Kami menilai kebijakan moratorium ini belum mampu mencegah kerusakan hutan. Hal ini terjadi karena pelaksanaannya tidak konsisten," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar, pagi ini.

Ia mengatakan, kebijakan moratorium logging tersebut diterbitkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada pertengahan 2007. Jeda tebang tersebut berlaku untuk masa 15 tahun.

Namun, katanya, kebijakan tersebut berjalan tidak efektif karena inkonsistensinya pemerintah Aceh, sehingga kawasan hutan semakin rusak akibat penebangan tidak terkontrol.

"Tidak konsistennya pelaksanaan moratorium logging ini bisa dilihat masih ada saja penerbitan izin-izin yang diberikan untuk kegiatan tambang dalam hutan lindung," ketus Zulfikar.

Selain itu, kata dia, Walhi Aceh pernah menjumpai sejumlah pihak yang menyatakan kebijakan moratorium menyesatkan. Padahal menurut Walhi Aceh, kebijakan ini sudah tepat.

"Tinggal bagaimana melaksanakan isi-isi kandungan kebijakan tersebut secara tepat dan konsisten. Inilah yang menjadi tugas Gubernur untuk memastikan instruksi moratorium logging berjalan dengan baik," katanya.

Menurut dia, berhasil tidaknya jeda tebang tersebut juga berpengaruh kepada perubahan iklim. Kebijakan jeda tebang yang dikeluarkan pemerintah Aceh ini sebagai bentuk antisipasi perubahan iklim.

Memang, kata dia, belum ada penelitian khusus mengenai dampak perubahan iklim di Aceh. Akan tetapi, gejalanya sudah dapat dirasakan, seperti panasnya suhu akibat kerusakan lingkungan secara global.

"Karena itu, Aceh yang memiliki cakupan hutan yang cukup luas harus mampu terjaga. Upaya menjaganya, yakni dengan melaksanakan jeda tebang ini secara konsisten," ujar Zulfikar.

Sumber Waspada.co.id

Senin, 08 Agustus 2011

Usut Terbakarnya Stasiun Riset

TUESDAY, 19 JULY 2011 17:31

BANDA ACEH - Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) meminta kepolisian mengusut terbakarnya fasilitas stasiun riset di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

"Kami minta polisi, khususnya Polda Aceh dan Polres Aceh Tenggara mengusut tuntas kasus ini," kata Koordinator Perizinan BPKEL, Bambang Antariksa, tadi sore.

Stasiun riset yang dikelola BPKEL tersebut terbakar, Minggu (17/7), sekitar pukul 04.00 WIB. Akibat kebakaran itu menyebabkan kerugian mencapai Rp2 miliar.

Ia menduga terbakarnya stasiun riset tersebut disengaja dilakukan oleh pihak-pihak ingin menciptakan kondisi tidak aman serta menggagalkan proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Aceh.

Menurutnya, dugaan disengaja itu bisa dilihat dari bagaimana peristiwa kebakaran terjadi. Pihak yang diduga membakar stasiun riset rela pengelolaan kawasan ekosistem Leuser dilaksanakan pemerintah.

"Kami mengecam cara-cara premanisme dan upaya teror yang dilakukan pihak tidak bertanggung jawab yang dengan sengaja membakar stasiun riset tersebut," ketusnya.

Selain itu, sebut Bambang, beberapa waktu lalu, stasiun riset Ketambe diambil paksa oleh staf Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL).

Ia mengatakan, BPKEL telah melaporkan pengambilan paksa stasiun riset Ketambe kepada Kementrian Kehutanan, Polda Aceh dan Polres Aceh Tenggara.

"Laporan tersebut disampaikan karena terjadinya tindakan kekerasan terhadap staf lapangan BPKEL saat itu," ungkap mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh ini.

Stasiun Riset Ketambe, katanya, merupakan fasilitas penelitian yang berada di kawasan ekosistem Leuser. Stasiun riset tersebut dikelola BPKEL, bekerja sama dengan masyarakat sekitar.

"BPKEL mempertimbangkan akan membangun kembali stasiun riset dalam waktu secepatnya. Sebab, keberadaan stasiun ini memberikan manfaat langsung peneliti dan masyarakat setempat," ujar Bambang.


Sumber Waspada.co.id

Bappenas Sediakan Dana Dekonsentrasi

SATURDAY, 16 JULY 2011 00:54

BANDA ACEH - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan menyediakan dana dekonsentrasi bagi pemerintah provisi di seluruh Indonesia.

"Dana dekonsentrasi ini diperuntukkan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappeda di setiap provinsi," kata Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana, tadi malam.

Namun, Armida yang juga Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional itu tidak menyebutkan berapa jumlah dana dekonsentrasi untuk masing-masing provinsi tersebut.

"Kami sudah mengusulkannya dalam Rancangan APBN 2012. Mudah-mudahan disetujui legislatif dan bisa digunakan tahun depan," katanya.

Menurut dia, dana dekonsentrasi tersebut disediakan untuk memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah secara spesifik, terutama dalam perencanaan pembangunan.

"Peruntukannya lebih difokuskan kepada peningkatan perencanaan pengawasan, dan evaluasi perencanaan yang disusun Bappeda provinsi, sehingga terjadi sinkronisasi dengan program pemerintah pusat," sebutnya.

Misalnya, kata dia, adanya kesamaan perencanaan program Millennium Development Goals (MDGs) maupun Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

"MDGs dan PNPM tersebut merupakan program nasional. Program ini harus sejalan dengan yang direncanakan Bappeda provinsi, sehingga tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Sementara itu, Kepala Bappeda Aceh, Iskandar, menyatakan, Rakernas kedua yang diikuti 33 provinsi itu setelah Rakernas pertama yang digelar pada tahun 2010 di Surabaya, Jawa Timur.

Terpilihnya Aceh sebagai tuan rumah Rakernas II memiliki nilai tambah tersendiri bagi Aceh, mengingat kelahiran Bappenas dan Bappeda di seluruh Indonesia bercikal bakal dari Aceh Development Board yang diperkenalkan Aceh pada masa lalu.

Pada sisi lain, penyelenggaran Rakernas itu ikut membantu mempromosikan Aceh sebagai destinasi wisata menjelang pelaksanaan program "Visit Aceh Year 2013".

Iskandar yang juga menjabat sebagai Sekretaris Asosiasi Bappeda se-Indonesia menjelaskan, dasar pelaksanaan Rakernas ini adalah dalam rangka mengoptimalkan peran Lembaga Perencanaan Pembangunan Daerah, baik dalam tugas pokok dan fungsi perencanaan program dan kegiatan adalah satu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dapat didikotomikan.

"Rakernas ini merupakan momentum sangat penting sebagai wahana refleksi dan evaluasi terhadap kinerja kelembagaan Bappeda, untuk menetapkan langkah-langkah strategis membangun sinergi perencanaan pembangunan provinsi dalam konteks menggalang satu kesatuan pembangunan Indonesia," ujarnya.

sumber Waspada.co.id

Warga pesisir barat Aceh keluhkan asap

MONDAY, 11 JULY 2011 06:36

BANDA ACEH - Sejumlah warga yang berdomisili di pesisir pantai barat provinsi Aceh mengeluhkan kabut asap yang diduga akibat pembakaran lahan.

"Kabut asap yang berasal dari pembakaran lahan itu tidak hanya mengganggu jarak pandang tapi juga mengakibatkan nafas sesak dan mata menjadi perih," kata Harmaini (45) warga Suka Makmur Kabupaten Nagan Raya, tadi malam.

Asap yang berasal dari pembakaran lahan itu sudah ada sejak beberapa hari terahkir, namun belum ada tanda-tanda akan dilakukan penanganan.

"Kami berharap Pemerintah untuk mengeluarkan larangan agar warga tidak membakar lahan, mungkin ada cara yang lebih baik untuk menangani sampah pertanian itu," kata Harmaini.

Menurutnya, kabut asap itu tidak hanya mengganggu warga yang berdomisili di Kecamatan Suka Makmur namun masyarakat di Seunagan, Seunagan Timur dan beberapa kawasan di Kabupaten Aceh Barat juga mengeluh.

Iskandar (28) warga, Meulaboh Kabupaten Aceh Barat juga mengatakan, kabut asap yang terjadi sejak satu minggu lalu dikhawatirkan akan mengakibatkan warga menderita infeksi saluran pernapasan (ISPA).

Gangguan kabut Asap juga terjadi di perbatasan Aceh Barat dengan Kabupaten Aceh Jaya. Ratusan hektare lahan pertanian di kawasan Teunon Kabupaten Aceh Jaya itu dibersihkan oleh pemiliknya dengan cara membakar.

Sumber Waspada.co.id

Kamis, 04 Agustus 2011

Mantan GAM sesalkan kerusakan hutan

THURSDAY, 07 JULY 2011 21:41

BANDA ACEH - Semakin meluasnya tingkat kerusakan hutan dan alam Aceh menyebabkan sering terjadinya bencana alam dan konflik masyarakat dengan satwa.

Walhi Aceh secara khusus melakukan pertemuan dengan Malik Mahmud, mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjadi pemangku Wali Nanggroe yang menggantikan posisi Hasan Tiro (almarhum).

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengatakan pertemuan yang dilangsungkan di Mess Meuntro Malik tersebut berlangsung dengan suasana akrab dan diskusi yang menarik guna membahas kondisi lingkungan Aceh terkini.

Malik Mahmud yang ditemani Zaini Abdullah, calon gubernur dari Partai Aceh, Fahkrul Razi, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas semakin meluasnya tingkat kerusakan alam dan lingkungan Aceh sebagai akibat ekploitasi serta penambangan sumber daya alam.

Dijelaskannya, Malik menyesalkan sikap dan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang tidak memperhatikan persoalan lingkungan dan lebih mengutamakan mengeksploitasi alam untuk kepentingan kelompok, dan bukan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Zulfikar menjelaskan, pihaknya memberikan data tentang laju kerusakan Aceh yang semakin parah, sehingga perlu ada perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Selain itu, Walhi Aceh memapaparkan tentang kebijakan pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Irwandi Yussuf yang kontradiktif, yakni disatu pihak melakukan motatorium logging.

Namun disisi lain memberikan akses penambangan sumber daya alam dikawasan hutan lindung yang secara nyata memberikan dampak buruk pada kerusakan alam dan hutan Aceh.

sumber waspada.co.id

TNGL Aceh ikut dirambah

MONDAY, 04 JULY 2011 10:08

IDI - Menyusul perambahan hutan di sejumlah titik di Besitang, Sumatera Utara, kegundulan Tanaman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terjadi di beberapa titik di Aceh, seperti di Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, dan beberapa daerah lain. Jika kondisi tersebut berlanjut dikhawatir bakal terjadi bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Demikian Kepala Badan Pengelola-Kawasan Ekosistem Lauser (BP-KEL) Aceh, Fauzan Azima, melalui mantan Staf Konservasi, Rudi Hartono Putra. Menanggapi kegundulan hutan Aceh khususnya di pantai timur Aceh masyarakat diajak untuk bisa berpikir lebih maksimal terkait penyebab ke depan jika penebangan hutan terus dilakukan. Menurutnya, kegundulan hutan baik di KEL maupun TNGL sudah lama terjadi, baik di Aceh maupun di kawasan lain, seperti di Besitang.

Kondisi itu, kata Rudi, tak hanya kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, tetapi aksi bisnis kayu diduga keras terus dimainkan kelompok-kelompok tertentu dalam bisnis kayu kelas atas dari Aceh. Bahkan tidak sedikit kayu hutan Aceh dipasarkan ke luar Aceh, baik ke Sumatera Utara maupun ke daerah lain.

Melihat kondisi hutan Aceh sangat disayangkan, lanjut Rudi, karena kelompok-kelompok tertentu menilai bisnis kayu hutan sebagai lambung bisnis yang paling menjanjikan. “Tapi perlu kita ingat bahwa kegundulan hutan yang terjadi sekarang akan berakibat fatal nantinya, baik ancaman bencana seperti banjir dan longsor maupun ganasnya habitat satwa liar, seperti gajah dan harimau di Aceh,” jelas Rudi.

Karenanya, harap Rudi, seluruh elemen masyarakat mengatasi kondisi tersebut termasuk para petani kebun dalam menjaga kelestarian hutan di Aceh. “Kita juga minta pemerintah daerah untuk menjaga peta hutan, mulai dari hutan dilindungi, hutan lindung, KEL dan TNGL, sehingga hutan tidak terganggu dan habitat di dalamnya tidak merasa diusir,” jelas Rudi seraya menadaskan, aparat penegak hukum baik Polri maupun Polisi Hutan (Polhut) untuk sama-sama menjaga kelestarian hutan Aceh dari aksi tangan-tangan jahil yang menjadikan hutan Aceh sebagai bisnis.

Kata Rudi, meski tidak sama persis penebangan hutan di Aceh dengan di Sumatera Utara, tetapi penebangan hutan di kawasan Aceh Tamiang (kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sumatera utara), telah terjadi lama juga, bahkan perambahan hutan di Besitang juga telah merambah ke Aceh Tamiang, baik dengan menjadikan perkebunan maupun penebangan kayu murni dengan alasan apapun. “Apapun alasan masayarakat dalam menebang hutan dilindungi, kita minta penegak hukum menindak tegas penebang hutan, karena telah melanggar hukum,” tandas Rudi.

sumber waspada.co.id

2 kabupaten perebutkan 5 desa

SATURDAY, 02 JULY 2011 13:28

TAKENGON - Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Timur, kini saling klaim lima desa di perbatasan masuk dalam wilayahnya. Sengketa perbatasan itu telah berlangsung lama, namun kini mencuat kembali menjelang Pilkada. Kelima desa yang diperebutkan dua kabupaten itu yakni, Kampung Sarah Gele, Kampung Sarah Reje, Kampung Garut, Kampung Sejuk dan Kampung Ranto Panyang. Dari data yang ada pada KIP Bener Meriah, jumlah pemilih pada lima kampung itu sebanyak 2.000 orang.

Ketua KIP Bener Meriah, Ahmadi mengatakan, pihaknya bersama anggota KIP lainnya sudah mengunjungi lima kampung yang diperbutkan itu guna memastikan kesiapan PPS yang baru dilantik oleh KIP Bener Meriah dalam menghadapi Pilkada. Katanya, masyarakat di lima desa tersebut meresa tidak nyaman dengan saling klaimnya antara Bener Meriah dengan Aceh Timur.

Dikatakan Ahmadi, sebagai penyelenggar Pilkada, KIP tidak memiliki wewenang tentang penyelesaian konflik rebutan tapal batas antara dua kabupaten tersebut. Disebutkan, keberadaan lima desa itu diantara dua kecamatan, yakni Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah dan Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.

Surati KIP Aceh
Guna meluruskan masalah ini, lanjut Ahmadi, KIP Bener Meriah sudah mengirim surat ke KIP Aceh guna menyelesaikan komplik saling klaim antar dua daerah tersebut. Surat itu dimaksudkan memastikan status hukum suara pemilih pada lima kampung tersebut, masuk Bener Meriah atau masuk Aceh Timur pada pemilihan bupati/wakil bupati nantinya.

atanya, KIP Bener Meriah tidak mau status suara pada lima kampung itu tidak jelas dan akan menimbulkan gugatan Pilkada oleh sekelompok masyarakat di daerah ini.

Karena itu, saat ini lanjut Ahmadi, KIP Bener Meriah sedang menunggu keputusan KIP Aceh tentang status hukum suara pemilih pada lima kampung yang masih dipersengketakan tersebut. “Kami masih menunggu jawaban dari KIP Aceh, dan KIP Bener Meriah akan menyelesaikan masalah itu bersama-sama KIP Aceh Timur,” ujar Ahmadi


Sumber Waspada.co.id

Rabu, 03 Agustus 2011

Analis: UUPA Harus Dipatuhi

WEDNESDAY, 22 JUNE 2011 12:12

BANDA ACEH - Analis hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Sulaiman Tripa mengatakan, semua pihak agar mematuhi dan menjalankan kewajiban yang telah diamanahkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Hal itu dimaksudkan agar perdamaian dan proses demokrasi di Aceh berjalan dengan baik dan tetap terjaga, katanya di Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh, sore tadi.

"Apa yang telah diamanahkan UUPA, wajib dilaksanakan sehingga perdamaian bisa berjalan lancar dan baik," ujarnya.

Sulaiman menilai, selama ini pemerintah belum menerapkan syarat-syarat yang diamanahkan dalam UUPA, sehingga masih terjadi saling curiga antara pusat dan daerah.

Karena itu, sebutnya, ini akan menjadi ganjalan dalam menerapkan proses perdamaian di Aceh secara sempurna, apabila tidak ada niat baik dari pemerintah pusat untuk menjalankan UUPA secara utuh.

"Dari sejumlah persyaratan yang telah disebutkan dalam UUPA, hanya beberapa aturan yang baru dikeluarkan misalnya PP No.2 tahun 2007, PP No.58 tahun 2009, Perpres No.75 tahun 2008 dan Perpres No.11 tahun 2010. Padahal, masih ada ketentuan yang belum dikeluarkan yang tersebut dalam UUPA," jelas dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Ia menyarankan, ada dua solusi untuk menerapakan hukum menjadi demokratis, saat pembentukan undang-undang, pemangku kepentingan tidak melakukan 'penekanan' sehingga menghasilkan produk hukum yang baik.

"Walaupun dari segi hasil tidak semua demokratis, tetapi prosesnya demokrasi, karena sudah menampung aspirasi dari seluruh komponen masyarkat," jelasnya.

Solusi lain, tambah Sulaiman, saat tahapan ketentuan pelaksana, baru empat peraturan yang sudah dikeluarkan, padahal pemerintah harus lebih banyak lagi mengeluarkan peraturan pelaksana UUPA.

"Jadi, kalau pemerintah pusat lamban untuk mengeluarkan peraturan-peraturan terkait dengan UUPA, maka ini akan menggangu proses perdamaian," jelasnya.

Sulaiman menambahkan, hukum berfungsi sebagai instrumen untuk kepentingan dalam pengukuhan kekuasaan dan proses demokrasi.

Untuk itu ia berharap, karena Aceh telah diberikan kekhususan seperti pendirian partai lokal, pendirian lembaga Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) maka harusnya pemerintah agar melaksanakan kewajibannya.

Sumber Waspada.co.id

Selasa, 02 Agustus 2011

MDF Bangun Jalan di Aceh Rp330 M

WEDNESDAY, 15 JUNE 2011 15:14

BANDA ACEH - Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh, Muhyan Yunan, mengatakan Multi Donor Fund (MDF) membiayai pembangunan jalan di Aceh dengan nilai Rp330 miliar.

"Panjang jalan yang dibangun itu mencapai 52 kilometer. Lokasinya antara Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat," kata dia di Banda Aceh.

Ia mengatakan, titik pembangunan jalan tersebut dimulai di ruas Jalan Banda Aceh-Meulaboh, KM 198 di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya hingga sampai KM 250 di Meulaboh, Aceh Barat.

Pembangunan jalan yang dibagi tiga paket, kata dia, saat ini sedang dalam proses penetapan kontraktor pelaksananya. Penetapan pelaksana pekerjaan jalan tersebut ditentukan oleh MDF.

"Mungkin dalam bulan ini pemenangnya sudah ditetapkan. Dan diharapkan, pembangunan jalan tersebut selesai dalam waktu dua tahun," kata Muhyan.Ia mengatakan, dari total dana pembangunan jalan Rp330 miliar tersebut, sebesar Rp50 miliar di antaranya digunakan untuk pembangunan jembatan.

"Jembatan tersebut berada di Kuala Bubon, Aceh Barat. Panjang jembatannya mencapai 120 meter yang akan dikerjakan PT Waskita Karya," sebut dia.

Menyangkut ruas jalan Banda Aceh-Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, Muhyan mengatakan, pengerjaannya hampir selesai dilakukan. Jalan tersebut dibiayai USAID, lembaga donor asal Amerika Serikat.

"Ada titik-titik kritis di ruas jalan ini sedang diselesaikan. Seperti Jembatan Lambeuso, di Lamno, Aceh Jaya. Jembatan ini selesai Juli 2011," ujar Muhyan Yunan.

sumber Waspada.co.id

Senin, 01 Agustus 2011

Bapedal Sulit Pantau Pencemaran Sungai

TUESDAY, 14 JUNE 2011 07:33

BANDA ACEH - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Aceh, Husaini Syamaun, menyatakan pihaknya kesulitan memantau pencemaran sungai-sungai besar di daerah itu karena keterbatasan anggaran.

"Sungai besar banyak di Aceh, kami tidak bisa memantau semuanya karena keterbatasan anggaran. Padahal, sungai-sungai besar tersebut berpotensi tercemar," kata dia di Banda Aceh.

Menurut dia, pihaknya sudah mengajukan anggaran pemantauan sungai-sungai besar tersebut tahun anggaran 2012. Namun, ia belum bisa menyebutkan kebutuhan anggaran pemantauan sungai tersebut.

Kalau anggaran tahun depan disetujui, maka pencemaran sungai-sungai besar lainnya bisa dipantau. Banyak sungai di Aceh ini butuh pemantauan serius, ujarnya.

Ia mengatakan, untuk tahun anggaran 2011, pihaknya hanya memantau pencemaran Krueng Taming di Kabupaten Aceh Tamiang. Krueng Taming menjadi objek pemantauan karena tingkat pencemarannya lebih tinggi dibanding sungai lainnya di Provinsi Aceh.

Berdasarkan hasil pemantauan dan penelitian, kata dia, Krueng Taming tercemar bakteri e-coli serta limbah pabrik pengolahan sawit dan perusahaan pemegang HGU.

"Krueng Taming ini tercemar e-coli karena aktivitas masyarakat. Sebab, sungai ini menjadi jamban terpanjang. Bakteri e-coli ini berkembang biak di kotoran manusia," ujarnya.

Ia menyebutkan, pihaknya hanya berwenang memantau pencemaran air sungai tersebut. Kalau eksekusi pelakunya merupakan kewenangan instansi terkait lainnya.

Husaini menambahkan, kekeruhan air Krueng Taming juga meningkat karena kerusakan hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini diduga terjadi akibat penembangan liar dan pembukaan perkebunan sawit.

"Seharusnya, dinas proaktif melihat kerusakan hutan di sepanjang DAS Krueng Taming. Seperti menggencarkan program reboisasi serta mengganti sawit dengan tanaman lain. Sebab, sawit menyebabkan debit air sungai berkurang," ungkap Husaini Syamaun.

Sumber Waspada.co.id

Warga konflik Aceh Siaga Penggusuran

MONDAY, 13 JUNE 2011 09:24

BANDA ACEH - Sebanyak 700 kepala keluarga (KK) yang menghuni tiga titik permukiman, yaitu Barak Induk, Damar Hitam, dan Sei Minyak, Kecamatan Sei Lepan, Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dilaporkan sedang bersiap-siap menghadapi aksi pengusiran paksa oleh pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB-TNGL) bersama pasukan gajah dan wana (semacam polisi hutan) dengan melibatkan bantuan polisi dan sembilan unit alat berat.

Laporan akan adanya pengusiran paksa tersebut diterima Serambi dari Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), sebuah LSM yang fokus pada persoalan lingkungan, bermarkas di Desa Bundar, Karang Baru, Aceh Tamiang. “Pengusiran paksa dijadwalkan Senin, 13 Juni 2011 karena Balai TNGL mengklaim wilayah yang dihuni 700 KK korban eks konflik Aceh itu berada dalam wilayah TNGL,” lapor Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal.

Sayed melaporkan, timnya sudah melakukan serangkaian investigasi ke permukiman yang berjarak lebih kurang 28 kilometer arah barat Kecamatan Sei Lapan dan Besitang tersebut. Kondisi kehidupan masyarakat setempat sudah sangat maju, bahkan income per kapita mereka sudah di atas rata-rata. Mereka juga sudah memiliki berbagai fasilitas umum seperti gedung sekolah agama tingkat dasar dan tingkat SLTP, pustu, masjid, musalla, dan lainnya. Semua itu dibangun dengan hasil swadaya masyarakat dan bantuan NGO asing.

“Kalau memang wilayah yang kami duduki ini adalah TNGL, mengapa setelah 11 tahun kami duduki baru dipermasalahkan. Mengapa tidak dari dulu. Dulu tidak ada yang memperhatikan, setelah kami berhasil dan mempunyai nilai ekonomi, baru muncul pengakuan. Ini tidak adil,” kata Yetno, seorang warga Barak Induk, sebagaimana dikutip tim investigasi dari LembAHtari.

LembAHtari juga mengutip hasil putusan Pengadilan Negeri (PN) Stabat Nomor 04/PJB.G/2007/PNSTB yang menyatakan kawasan yang diduduki oleh 700 KK korban eks konflik Aceh itu merupakan tanah negara, bukan wilayah TNGL. Bahkan, putusan banding ke Kejaksaan Tinggi Medan yang dilakukan oleh BTNGL juga menghasilkan putusan yang sama. “Terkait persoalan itu, seorang anggota DPRD Sumut, Sitepu, pernah mengeluarkan statemen kalau tanah yang diduduki oleh warga korban eks konflik Aceh tersebut merupakan tanah negara,” tulis siaran pers tersebut mengutip dokumen yang mereka temukan.

Sumber Waspada.co.id

Titik Api Kembali ditemukan di Aceh

FRIDAY, 10 JUNE 2011 15:07

BANDA ACEH - Titik api (hot spot) akibat kebakaran hutan kembali ditemukan di sejumlah bentang hutan di wilayah Aceh dalam dua hari terakhir. Berdasarkan amatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar pada 8-9 Juni sore melalui satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18, ditemukan enam titik api kebakaran hutan.

Kepala Bidang Observasi dan Informasi pada BMKG Blang Bintang, Alvianto, melalui Prakirawan Rahmad Tauladani mengatakan, enam titik apa itu berada di wilayah Aceh bagian barat, selatan, dan tengah.

“Kemarin itu ada dua titik api kebakaran hutan yang terdeteksi di wilayah Aceh Singkil. Sedangkan pada Rabu (8/6) kemarin ada lagi empat titik api kebakaran hutan masing-masing di Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Namum, empat titik api itu sudah padam. Hari ini tak terlihat lagi,” ungkap Rahmad.

Ia tambahkan, tiga minggu terakhir hingga Kamis (9/6) kemarin, telah ditemukan 28 hot spot kebakaran hutan di sejumlah wilayah di Aceh. Kebanyakan kebakaran hutan yang terjadi di provinsi ini, akibat campur tangan manusia. Baik itu disenggaja maupun tidak disengaja.

Kebakaran hutan yang disengaja, misalnya, membuka lahan untuk pertanian atau perumahan penduduk dengan cara membakar lahan. Sedangkan yang tidak disengaja, misalnya, ilalang yang sudah kering di pinggir hutan sangat rentan terbakar. “Apabila ada seseorang yang sambil lewat membuang puntung rokok di lokasi itu, maka dengan cepat ilalang kering itu terbakar,” ujarnya seraya menimpali bahwa kebakaran hutan akibat terik matahari kemungkinan terjadinya sangatlah kecil.

Menurut Rahmad, 28 titik api kebakaran hutan di sejumlah wilayah Aceh itu, terbanyak terdeteksi di Aceh bagian barat dan selatan. Selebihnya, hot spot terjadi di hutan Aceh bagian tengah dan timur. Beberapa waktu lalu, yakni Jumat (27/5), ditemukan satu titik api di Aceh Barat Daya dan Sabtu (28/5) ditemukan lagi tiga titik api di hutan Aceh Barat dan Nagan Raya.

Suhu capai 35'
Dalam dua hari terakhir, kata Rahmad, suhu di sejumlah wilayah di Aceh mencapai maksimum 35 derajat Celcius. Dia juga memprakirakan beberapa hari ke depan Aceh masih dilanda terik yang menyegat dengan suhu maksimum 35 derajat Celcius.

“Jadi, dengan suhu setinggi itu, tidak bisa memicu kebakaran hutan. Namun, jika suhu mencapai 40 derajat Celcius, maka kebakaran hutan bisa terjadi seperti terjadi di Australia. Tapi di Indonesia, termasuk Aceh, keterikan matahari belum mencapai suhu 40 derajat Celcius,” jelasnya.

Rahmad mengimbau masyarakat agar tidak membakar hutan saat membuka lahan. Sebab, kata dia, selain terjadi pencemaran udara, kebakaran hutan juga bisa merusak ekosistem yang ada di hutan. “Kita minta instansi terkait agar memperhatikan hal ini, sehingga kebakaran hutan tak perlu terjadi, jika masyarakat diberi pemahaman tentang bahayanya,” ujar prakirawan BMKG ini.

Sumber Waspada.co.id

Laju Kerusakan Hutan Meningkat

THURSDAY, 09 JUNE 2011 15:20

BANDA ACEH - Menteri Negara Lingkungan Hidup,Gusti Muhammad Hatta, menyatakan laju kerusakan hutan di Indonesia masih lebih tinggi dibanding laju pemulihannya.

Hal itu seiring kemajuan upaya negosiasi dunia dalam mencapai kesepakatan mengenai antisipasi perubahan iklim, maka inisiatif membiarkan hutan tetap sebagai hutan akan menjadi tanggung jawab bersama negara di dunia.

Menteri Negara LIngkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, dalam kata sambutan dibacakan Asisten I Pemerinah Aceh, Ridwan Hasan pada upacara memperingati Hari Lingkungan Hidup se Dunia, di Banda Aceh menyebutkan, semakin tingginya kerusakan hutan menjadi faktor dominan pengurangan nilai dan fungsi hutan.

Seharusnya hutan dapat selalu memberi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaragaman hayati dan memitigasi perubahan iklim.

Hutan memiliki esensi sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan manusia dan semua makhluk hidup lainnya di dunia, fungsi itu dapat dicapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya.

Ia menyebutkan, kerusakan hutan mencapai 1,1 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun atau laju kerusakan hutan sekitar 2 persen per tahun.

Semakin tinggi laju kerusakan hutan selama ini disebabkan maraknya pembalakan liar (Illegal Logging), konversi lahan untuk pemukiman dan perkebunan dan kebakaran hutan. Serta kegiatan industri terutama pertambangan yang merusak lingkungan.

Hal senada dikatakan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Husaini Syamaun. Menurutnya kerusakan hutan di Aceh memang ada, tapi tidak sama halnya dengan kerusakan hutan di provinsi lain.

Dijelaskannya, kerusakan hutan di Aceh masih skala kecil, walau pun ada illegal logging, penguasaan lahan HGU. Jangan dilihat dari sisi tersebut, tetapi juga harus dilihat dari pemulihan hutan.

“Ketika hutan ini dilarang tebang, maka sangat bagus bagi potensi hutan dikarenakan produktifitas hutan kita sekarang jauh lebih besar dibading kerusakan, kalau dilihat dari sisi kerusakan yang ada sekarang,” demikian Syamaun.

Sumber Waspada.co.id

Pesisir timur jadi sentra ekspor impor

TUESDAY, 07 JUNE 2011 10:21

BANDA ACEH - Pemerintah Provinsi Aceh akan mengembangkan kawasan pesisir timur menjadi sentra ekspor impor, kata Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.

"Kita akan mengembangkan kawasan ekspor impor di pesisir timur Aceh yang pusatnya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh," kata Muhammad Nazar di Banda Aceh.

Menurut dia, upaya pengembangan itu akan didukung dengan pembangunan pelabuhan laut di Krueng Geukeuh di Kabupaten Aceh Utara.

Dia menambahkan dengan dibangunnya pelabuhan internasional tersebut maka akan dijadikan pusat ekspor impor, sehingga hasil bumi dan industri dari Provinsi Aceh tidak perlu lagi dikirim melalui pelabuhan laut di luar daerah.

Pembangunan pelabuhan tersebut diperkirakan selesai pada 2015, menghabiskan dana sekitar Rp1,25 triliun. Selain pelabuhan, pemerintah juga akan membangun infrastruktur pendukung lainnya.

"Selain tempat pengirimnya, juga dibangun industri pengolahan hasil pertanian maupun perikanan serta mengembangkan kawasan produksi hasil bumi," ujarnya.

Kawasan produksi ini, lanjut dia, akan dikembangkan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta kabupaten/kota lainnya di pesisir barat Provinsi Aceh.

Ia menyebutkan, jika sentra ekspor impor ini terealisasi, maka Aceh terlepas dari koridor perdagangan internasional yang selama ini dilakukan di kawasan Sumatra bagian utara. "Selama ini ekspor impor Aceh harus dilakukan di Medan, Sumatera Utama karena infrastruktur yang tidak mendukung. Akibatnya, Aceh rugi triliunan rupiah setiap tahunnya," ujarnya.

Kecuali itu, kata dia, perdagangan ekspor impor yang dilakukan selama ini berdasarkan dan konsep perdagangan internasional diatur demikian oleh pemerintah pusat.

"Walau nanti konsep perdagangan terpisah dengan Sumatera bagian utara, tetapi Aceh tetap bekerja sama dengan kawasan tersebut. Sebab, Sumatera bagian utara merupakan pasar bagi Aceh, begitu juga sebaliknya," demikian Muhammad Nazar.

Sumber Waspada.co.id

Pesisir timur jadi sentra ekspor impor

TUESDAY, 07 JUNE 2011 10:21

BANDA ACEH - Pemerintah Provinsi Aceh akan mengembangkan kawasan pesisir timur menjadi sentra ekspor impor, kata Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.

"Kita akan mengembangkan kawasan ekspor impor di pesisir timur Aceh yang pusatnya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh," kata Muhammad Nazar di Banda Aceh.

Menurut dia, upaya pengembangan itu akan didukung dengan pembangunan pelabuhan laut di Krueng Geukeuh di Kabupaten Aceh Utara.

Dia menambahkan dengan dibangunnya pelabuhan internasional tersebut maka akan dijadikan pusat ekspor impor, sehingga hasil bumi dan industri dari Provinsi Aceh tidak perlu lagi dikirim melalui pelabuhan laut di luar daerah.

Pembangunan pelabuhan tersebut diperkirakan selesai pada 2015, menghabiskan dana sekitar Rp1,25 triliun. Selain pelabuhan, pemerintah juga akan membangun infrastruktur pendukung lainnya.

"Selain tempat pengirimnya, juga dibangun industri pengolahan hasil pertanian maupun perikanan serta mengembangkan kawasan produksi hasil bumi," ujarnya.

Kawasan produksi ini, lanjut dia, akan dikembangkan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta kabupaten/kota lainnya di pesisir barat Provinsi Aceh.

Ia menyebutkan, jika sentra ekspor impor ini terealisasi, maka Aceh terlepas dari koridor perdagangan internasional yang selama ini dilakukan di kawasan Sumatra bagian utara. "Selama ini ekspor impor Aceh harus dilakukan di Medan, Sumatera Utama karena infrastruktur yang tidak mendukung. Akibatnya, Aceh rugi triliunan rupiah setiap tahunnya," ujarnya.

Kecuali itu, kata dia, perdagangan ekspor impor yang dilakukan selama ini berdasarkan dan konsep perdagangan internasional diatur demikian oleh pemerintah pusat.

"Walau nanti konsep perdagangan terpisah dengan Sumatera bagian utara, tetapi Aceh tetap bekerja sama dengan kawasan tersebut. Sebab, Sumatera bagian utara merupakan pasar bagi Aceh, begitu juga sebaliknya," demikian Muhammad Nazar.

Sumber Waspada.co.id

DPRA inventarisasi izin tambang

SUNDAY, 05 JUNE 2011 01:15

BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akan membentuk tim untuk menginventarisasi perizinan pertambangan yang tersebar di sejumlah daerah di provinsi itu.

"Tim yang terdiri dari anggota Komisi A, B dan C DPRA itu akan turun ke sejumlah daerah untuk menginventarisasi terkait masalah perizinan usaha tambang di Aceh," kata Wakil Ketua Komisi B DPRA Darmuda, tadi malam.

Masalah pertambangan ini sangat serius karena menyangkut eksistensi lingkungan hidup, karenanya perlu segera ditangani dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak buruk di tengah-tengah masyarakat, katanya menambahkan.

Untuk itu diperlukan sebuah tim dari DPRA guna melihat langsung ke lapangan sekaligus mengecek soal perizinan. "Jangan sampai izin pertambangan itu dikeluarkan tanpa mempertimbangkan aspek buruk yang kemungkinan ditimbulkan di masa mendatang, khususnya terkait dengan ancaman kelestarian lingkungan," kata polisi Partai Aceh itu.

Darmuda juga mengimbau Pemerintah Aceh, termasuk kabupaten dan kota agar melakukan koordinasi dengan DPRA sebelum mengeluarkan izin investasi khususnya sektor pertambangan. "Jangan sampai kami tahu adanya investasi pertambangan di suatu daerah ketika adanya aksi penolakan dari masyarakat, seperti beberapa kasus yang terjadi selama ini, warga demo ke DPRA," kata dia.

Sementara itu, sebelumnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyebutkan izin pertambangan yang telah dikeluarkan sejak 2007 hingga saat ini tercatat tiga perusahaan bidang tambang bijih besi.

"Kalau ada yang menyebutkan puluhan perusahaan eksploitasi tambang di Aceh, mungkin perizinannya telah dikeluarkan jauh sebelumnya. Dan ada juga bupati yang langsung mengeluarkan izin tambang di daerahnya," kata dia. Karenanya, Irwandi Yusuf menilai jika ada bupati yang mengeluarkan izin eksploitasi usaha pertambangan tanpa diketahui pemerintah provinsi maka itu ilegal (tidak sah) dan harus ditutup.

Sumber waspada.co.id

Maret, Ekspor Migas dan CPO Naik

FRIDAY, 03 JUNE 2011 07:31

BANDA ACEH- Komoditi Liquid Natural Gas (LNG) dan Cruide Petreleum Oil (CPO) menjadi andalan ekspor Aceh selama Januari - Maret 2011, dengan konstribusi mencapai US$ 400,04 juta atau 98,11 persen dari total nilai ekspor Aceh.

"Selama Januari - Maret 2011, ekspor migas tetap memiliki peranan yang penting terhadap total nilai ekspor Aceh, dengan komoditi andalan LNG dan CPO," cetus Syech Suhaimi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.

Suhaimi kepada wartawan mengatakan, total nilai ekspor dan impor Aceh pada Maret 2011 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 189,66 persen dan 118,47 persen dibandingkan dengan Februari 2011.

Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya nilai ekspor komoditi migas mengalami peningkatan yang cukup pesat, hingga mencapai 202,59 persen, yaitu dari US$ 71,58 pada Februari 2011 menjadi US$ 216,58 juta pada Maret 2011.

Sebaliknya, sebut Suhaimi, nilai ekspor komoditi non minyak dan gas bumi (migas) mengalami penurunan yang cukup drastis, yaitu mengalami penurunan dari US$ 3,47 juta menjadi US$ 799,156 atau turun sebesar 76,98 persen.

Sementara itu, total nilai impor pada bulan Maret 2011 mengalami peningkatan sebesar 118,47 persen dibandingkan bulan Februari 2011, yatu dari US$ 2.033.967 menjadi US$ 4.443.550. "Keseluruhan nilai impor Maret 2011 merupakan komoditi non migas," ungkap Suhaimi.

sumber Waspada.co.id

Minggu, 31 Juli 2011

Pemerintah Tak Taat Aturan Pembangunan

TUESDAY, 31 MAY 2011 22:10

BANDA ACEH – Digelarnya kembali sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus proyek pembangunan Jalan Ladia Galaska merupakan suatu bentuk sikap Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh dan juga merupakan warning kepada Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk menerapkan azas ketaatan pada hukum dan aturan ketika melaksanakan berbagai program pembangunan di Aceh.

Hal ini dikemukakan oleh Direktur Eksekutif WALHI Aceh kepada Waspada Online malam tadi terkait dengan digelarnya sidang perkara pemeriksaan berkas dan bukti baru (Novum) oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh atas proyek Jalan Ladia Galaska pada tahun 2002.

"Insya Allah kami berkeyakinan bahwa atas bukti-bukti baru yang kami serahkan, maka PK yang kami ajukan akan dikabulkan oleh Mahkamah Agung" ujarnya.

Menurutnya, kasus Proyek Jalan Ladia Galaska hendaknya menjadi pembelajaran penting kepada pemerintah Aceh untuk taat aturan dan tidak boleh melanggar aturan main terutama aturan tentang perlindungan hutan dan lingkungan."Program pembangunan apapun yang dikerjakan oleh pemerintah harus mempertimbangkan aturan yang ada, jangan seenaknya main tabrak aturan dan melakukan perusakan terhadap hutan yang seharusnya dilindungi" sebutnya.

Dijelaskannya, dalam proyek pembangunan Jalan Ladia Galaska, banyak aturan yang dilanggar, yakni antara lain Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penataan Ruang, Penanggulangan Bencana dan banyak lagi lainnya.

Ditambahkannya, bukti-bukti baru yang diajukan oleh WALHI Aceh dalam PK di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. Dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan, kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan). Dan selain itu juga pasal 8 ayat (2) PP No.28 Tahun 1985 menentukan, siapa pun menebang pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya. Pasal 50 ayat (3) huruf c. UU No.41 Tahun 1999.

Sumber Waspada.co.id

Tambang di Aceh diminta ditutup

TUESDAY, 31 MAY 2011 15:10

BANDA ACEH - Puluhan mahasiswa dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam barisan rakyat anti tambang melakukan aksi unjuk rasa di kantor gubernur, massa menuntut gubernur segera menutup pertambangan di Aceh.

Data pertambangan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan diantaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan.

Aksi berlangsung ricuh, ketika massa berusaha masuk ke dalam kantor gubernur yang dikawal puluhan polisi dan satpol-pp. Mereka meminta Gubernur Irwandi Yusuf turun menemui mereka.

Sebelum massa berada dipelataran kantor gubernur, massa sempat merobohkan pintu pagar kantor gubernur, karena pada saat itu pintu pagar tersebut ditutup oleh satpam, karena pihak keamanan dari kepolisian belum sampai dilokasi aksi.

Dalam orasinya, koordinator aksi, Robby mengatakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan alam di Aceh adalah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf , setiap izin eksplorasi perusahaan tambang di Aceh ada rekomendasi dari gubernur.

“Kehadiran perusahaan tambang di Aceh tidak akan bisa mensejahterakan rakyat karena yang memperoleh hasilnya adalah perusahaan dan pejabat yang member izin. Apalagi selama ini perusahaan tambang tidak pernah peduli dampak kerusakan alam akibat eksplorasi,”kata Robby.

Aksi tersebut diterima oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan, kepada massa ia mengatakan, izin tambang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tetapi bukan gubernur.

Said menyatakan, tidak ada peraturan yang melarang izin pertambangan, dan peraturan itu terdapat dalam undang-undang, dan qanun, “Saya tidak bisa menutup tambang di Aceh, semuanya kami jalankan sesuai aturan, kalo memang minta stop tambang maka jangan berlakukan UU dan qanun tambang di Aceh,”ujarnya.

Ia mengakui ada eksplorasi tambang di wilayah hutan lindung, dan menurutnya tidak melanggar hokum hanya saja ada ketentuan.

Massa melanjutkan aksi ke hotel Hermec Palace dengan berjalan kaki, karena menurut informasi yang mereka terima bahwa gubernur berada di hotel tersebut.

Sumber Waspada.co.id

BMKG minta waspadai kebakaran hutan

MONDAY, 30 MAY 2011 12:43

BANDA ACEH - Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan diminta untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Sebab, berdasarkan amatan melalui satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18, sedikitnya kembali ditemukan empat titik api (hot spot), setelah sebelumnya ditemukan 11 titik api di kawasan hutan di Aceh.

Peringatan tersebut disampaikan oleh Kepala Bidang Observasi dan Informasi pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar, Alvianto, melalui Prakirawan, Rahmad Tauladani dan Jaya Martuah Sinaga.

Dikatakan, dari empat titik api tersebut, satu ditemukan pada Jumat (27/5) di Abdya dan Sabtu (28/5) ditemukan kembali tiga titik api di kawasan hutan Aceh Barat dan Nagan Raya. Karena itu, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan di tiga daerah tersebut, diminta waspada terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan.

“Titik api bisa kita lihat sekitar pukul 17.00 WIB atau 18.00 WIB. Kebakaran hutan gambut yang terjadi Jumat (27/5) di Abdya, titik apinya sudah padam. Tadi kita amati melalui Satelit NOAA 18. Saat bersamaan kita kembali menemukan titik api kebakaran hutan. Satu di Aceh Barat dan dua di Nagan Raya,” kata Rahmad.

Menurutnya, tiga titik api yang terlihat Sabtu (28/5) kemarin, baru akan diketahui sudah padam atau belum keesokan sore harinya melalui satelit yang sama. “BMKG sekedar menginformasikan hari ini dan kemarin kembali menemukan empat titik api. Ini sebagai informasi kepada instansi terkait dan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Jaya mengatakan dengan semakin bertambahnya titik api di tengah musim kemarau yang sedang melanda Aceh sekarang ini, tentu sangat rawan terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan teriknya sinar matahari. “Karena itu, kita memprediksikan sepekan ke depan (28 Mei-4 Juni), kebakaran hutan dikhawatirkan kembali akan terulang,” katanya.

Dia mengatakan, pada Juli mendatang, suhu akan meningkat mencapai maksimum 35-36 derajat Celcius. Untuk Mei-Juni menurut prakiraannya suhu masih mencapai maksimum 34 derajat celcius. “Dengan suhu udara yang cukup tinggi, mendukung terjadinya titik api kebakaran hutan pada lahan kering dan tanah gambut di beberapa wilayah Aceh,” ujarnya.

Menurut Jaya, fenomena lain yang turut dirasakan sepekan depan meski kemarau, suplai uap air dan pertumbuhan awan hujan (konvektif) berskala lokal masih terjadi di atmosfir Aceh. Dengan demikian meski kemarau, hujan tetap berpeluang terjadi dengan intensitas ringan di pesisir Aceh Utara dan Aceh Timur.

Selain itu, Jaya juga memprakirakan, sebagian wilayah Aceh, akan dilanda angin kencang. Sebutnya seperti di Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Timur. Kecepatan angin yang bertiup dari arah barat daya menuju barat laut dengan kecepatan 10-40 km/jam. “Angin diperkirakan bisa naik lagi kecepatannya maksimum 45 km/jam,” jelasnya.

sumber Waspada.co.id

Jumat, 29 Juli 2011

LSM: Stop izin tambang

MONDAY, 30 MAY 2011 11:21

BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dari beberapa LSM mengingatkan pemerintah tentang berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. Salah satu warning yang dikeluarkan elemen sipil tersebut adalah jangan keluarkan izin tambang kalau pemerintah tak mampu mengontrolnya.

Berbagai persoalan seputar masalah pertambangan mengemuka ketika audiensi aktivis lingkungan dari beberapa LSM dengan Kepala Dinas Pertambangan & Energi (Distamben) Aceh, Said Ikhsan. Audiensi yang berlangsung secara dialogis tersebut mendiskusikan berbagai persoalan tambang di Aceh.

Aktivis lingkungan yang melakukan audiensi tersebut adalah Walhi Aceh, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), dan ACSTF.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS), TAF Haikal, secara filosofis mengatakan, sejak dahulu bencana memang sudah ada, tak terhindarkan. “Bencana adalah siklus alam. Tapi jangan pula kita memperparah dengan merusak alam seperti penambangan. Tambang itu kan udah dipotong di atas, dikeruk lagi di bawah,” katanya.

TAF Haikal menyayangkan aparatur pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin tambang tetapi kemudian tidak mampu mengontrolnya. “Wajar saja jika investor tambang mempertahankan asetnya kalau ada masalah, pemerintah diam saja. Agar tak memunculkan kerugian terhadap semua pihak, stop mengeluarkan izin tambang kalau memang tak mampu mengontrolnya,” ujar Haikal ketika audiensi maupun dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, kemarin.

Dampak buruk
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar menyampaikan berbagai persoalan tambang dan dampak buruk pertambangan di Aceh. “Banyak kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif,” kata Zulfikar.

Walhi mengkhawatirkan kondisi itu, apalagi Aceh termasuk daerah yang rawan bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin berganda. “Dari dua sampel pertambangan, PT PSU di Manggamat dan PT LSM di Lhoong, sudah menimbulkan konflik sosial. Kayaknya cuma mimpi ada perusahaan tambang yang bisa menerapkan prinsip-prinsip good mining practices, saya belum pernah lihat,” jelas Zulfikar.

Zulfikar menyarankan agar Aceh memaksimalkan dahulu potensi-potensi yang ada seperti agrobisnis, wisata, perikanan, dan lainnya. Apalagi kini menurutnya semua mata tengah melirik Aceh, menantikan keberhasilan program moratorium logging. “Jangan atasnya hijau tapi bawahnya keropos, bolong-bolong,” kata Zulfikar.

Zulfikar mengingatkan apa artinya jika memiliki banyak emas dari pertambangan tetapi hutan dan alam sebagai sumber air menjadi rusak. “Emas nggak ada arti kalau kita tidak ada air yang bisa diminum. Siapkan emas untuk cadangan terakhir, jika yang lain-lain tidak bisa kita olah lagi,” ucapnya.

Sedangkan Rusliadi dari Jatam mengingatkan, konflik tambang di Aceh masih sangat besar. Ia mengambil contoh tambang di Lhoong, yang kebetulan merupakan kampung halamannya.

Sumber waspada.co.id

Gubernur minta hentikan rambah hutan

SUNDAY, 29 MAY 2011 17:10

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menyerukan kepada masyarakat untuk segera berhenti melakukan perambahan hutan, terutama di kawasan hutan lindung sepanjang jalan Takengon (Aceh Tengah)-Beutong (Nagan Raya).

"Ini merupakan kawasan yang harus dilindungi. Saya minta aksi perambahan hutan harus segera dihentikan, sebab jika dibiarkan berlangsung maka ke depan akan menjadi bencana," katanya, sore ini.

Gubernur Aceh menyampaikan hal itu ketika menyaksikan langsung kawasan hutan yang telah gundul di sepanjang ruas jalan antara Kabupaten Aceh Tengah-Nagan Raya, pedalaman provinsi Aceh. Irwandi bersama rombongan "Aceh Internasional 4x4 Tourism Experience" itu melakukan perjalanan tur kawasan pedalaman Aceh, dan sempat memergoki warga yang sedang memotong kayu di wilayah Aceh Tengah dan Nagan Raya.

Karena itu ia meminta bupati di kedua kabupaten itu tidak tutup mata dengan masih adanya aksi perambahan kawasan hutan di daerah masing-masing. "Saya berharap Bupati Aceh Tengah dan Nagan Raya lebih aktif mengontrol kawasan hutan, apalagi di wilayah yang dilindungi seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)," katanya.

Menurut dia, kegiatan pembukaan lahan dan penebangan dihutan lindung tersebut seakan-akan pembiaran oleh kabupaten sehingga masyarakat menilai hal itu boleh dilakukan. "Jika tidak ada larangan maka akan banyak masyarakat yang akan melakukan pembukaan lahan dan menebang kayu di hutan lindung," katanya.

Pihaknya berharap seluruh bupati dan wali kota dapat meningkatkan sosialisasi dan pengawasan hutan lindung untuk mendukung program "Moratorium Loging" (jeda tebang) kayu yang telah dideklarasikan Pemerintah Aceh 2007.

Bahkan, dalam perjalanannya bersama tim "Federasi Off-road Indonesia (IOF)", Irwandi Yusuf langsung berhenti ketika menemukan seorang warga yang sedang membelah kayu di kawasan hutan lindung, Nagan Raya. Gubernur menanyakan surat izin kepada oknum masyarakat sedang memotong kayu di kawasan hutan yang mulai gundul tersebut.

Warga tersebut, Abubakar menyatakan memotong kayu setelah mendapat izin dari pemilik tanah. "Kayu ini untuk membangun rumah, saya memperoleh izin dari pemilik tanah ini," kata Abubakar.

Sumber Waspada.co.id

Tambang untuk generasi mendatang

FRIDAY, 27 MAY 2011 21:18

BANDA ACEH – Aktivis lingkungan dan beberapa elemen sipil meminta kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini Kepala Dinas Pertambangan dan Energi untuk menerapkan prinsip-prinsip kehatian-hatian dalam memberikan izin pertambangan dan pembukaan hutan untuk lahan pertambangan.

Permintaan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi TM Zulfikar kepada kepala dinas terkati ketika melakukan rapat pertemuan antara aktivis lingkungan, LSM dan komponen sipil lainnya terkait maraknya pertambangan di Aceh dan juga konflik antara masyarakat dan pengusaha tambang beberapa waktu belakangan ini di Aceh.

Dalam penjelasannya dihadapaan Kadis Pertambangan dan Energi Aceh, TM Zulfikar, memaparkan persoalan-persoalan dampak buruk pengelolaan tambangan yang terjadi di Aceh. ‘ Banyak Kajian yang menyatakan korelasi antara pembukaan tambang dan lingkungan hidup selalu negatif’ sebutnya.

Dicontohkannya, dari dua perusahaan pertambangan yakni PT. Pinang Sejati Utama (PSU) di kecamatan Manggamat, Aceh Selatan dan PT Lhong Setia Minning (LSM) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, bukan kesejahteraan rakyat yang didapat, namun justru kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang justru terjadi di dua areal tambang tersebut. ‘ Sepertinya Cuma mimpi ada perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip Good Minning Practices dalam pengelolaan pertambangan’ jelasnya.

Dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh WALHI Aceh, TM Zulfikar menyarankan agar pemerintah untuk sementara waktu menyimpan candangan berbagai bahan tambang yang ada di Aceh untuk generasi mendatang dan hendaknya pemerintah lebih memprioritaskan sektor-sektor pertanian, agribisnis, perikanan dan sektir kelautan.
Pertemuan ini juga diikuti oleh bebera organisasi dan elemen sipil lainnya, yakni Jaringan Tambang (JATAM), ACSTF, dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS).

Sumber : waspada.co.id

Kawasan KEL tak ada izin tambang

FRIDAY, 27 MAY 2011 22:10

BANDA ACEH – Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak akan pernah memberikan izin pertambangan diareal Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hal ini dilakukan guna mencegah kerusakan hutan yang meluas dikawasan itu. Penegasan ini disampaikannya kepada Waspada Online malam ini.

‘ Untuk KEL tidak ada tawar menawar konsensi pertambangan didalamnya’ tegasnya.

Menurutnya, Di dalam KEL sendiri mengandung banyak sekali potensi tambang. Namun melarang total pembukaan tambang batu bara atau bijih besi di KEL

Dijelaskannya, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang memiliki Qanun yang dapat mengontrol Izin Usaha Pertambangan nya sendiri, dan saat ini Pemerintah Aceh sedang melakukan review dan evaluasi izin-izin pertambangan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. ‘ Kalau prosedur perizinannya menyalahi aturan, Pemerintah Aceh akan meminta Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencabut dan tidak memperpanjang izin tersebut’ jelasnya.

Ditambahkannya, dari data pertambangan yang diberikan menunjukkan saat ini sudah ada 109 perusahaan tambang yang terdaftar. 19 perusahaan diantaranya telah mendapat izin operasi produksi dan empat perusahaan telah melakukan ekspor yaitu satu perusahaan di Aceh Besar, dua perusahaan di kabupaten Abdya dan satu perusahaan di Aceh Selatan.

Sumber : Waspada.co.id

Selasa, 26 Juli 2011

Peresmian PLTA Peusangan Dialihkan ke Sumut

Wed, May 25th 2011, 07:46

BANDA ACEH - Peresmian jarak jauh proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pesangan I dan II di Aceh Tengah, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dialihkan ke Sei Mangkei, Sumatera Utara, pada 27 Mei 2011.

Deputi Manager Komunikasi dan Hukum PT Persero PLN wilayah Aceh, Said Mukharram di Takengon, Aceh Tengah, Selasa menyatakan, seyogiannya peresmian jarak jauh itu dilaksanakan di lokasi proyek, namun karena ada masalah teknis dialihkan ke Sumut.

Dikatakan, peresmian dengan sistem jarak jauh dari Istana Negara menggunakan jasa telekonference yang akan disaksikan para pejabat dari tiga daerah kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Bireuen.

Terkait pemindahan tersebut, Manajer Proyek PLTA Peusangan Ir Eddy Nirwan mengatakan pengalihan itu adalah ketentuan dari Istana Presiden.”Karena PLTA Peusangan adalah proyek untuk Sumatera maka bisa dilakukan peresmiannya di Sei Mangkei, Sumatera Utara,” ujarnya.Sei Mangkei sendiri adalah kawasan industri berbasis kelapa sawit yang dibangun oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Proyek ini diharapkan menjadi pioner bagi pengembangan industri hilir kelapa sawit dan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.

Proyek pembangunan PLTA Peusangan I dan II di Kecamatan Silih Nara, proyek PLTA yang memiliki kapasitas 86 mega watt (MW) diperkirakan akan mulai berproduksi pada akhir tahun 2014.

Survei rencana pembangunan proyek PLTA Peusangan I dan II telah dimulai sejak tahun 1996, yang didukung pendanaan oleh Japan Bank International Coorporation (JBIC) yang sempat tertunda 10 tahun akibat konflik Aceh.Ia menyatakan, keberadaan PLTA tersebut untuk mengatasi kekurangan listrik dan sekaligus mendukung program PLN “Aceh Mandiri Listrik” pada 2012. Ia menyatakan, PLTA akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk kepentingan masyarakat di dataran tinggi Gayo, setelah itu apabila ada kelebihan akan disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) ke jaringan trans Sumatera dari Gardu Induk (GI) di Takengon ke Kabupaten Bireuen dan melintasi Kabupaten Bener Meriah.

“Dengan selesainya proyek PLTA Peusangan, maka kita harapkan di dua Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan surplus energi listrik,” katanya. Ia mengharapkan dukungan penuh warga Aceh Tengah untuk menjaga ekosistem Danau Laut Tawar dan daerah aliran sungai (DAS) Peusangan, sehingga debit air Sungai Peusangan sebagai pemutar turbin selalu mencukupi.”Dengan memelihara hutan dan menjaga keseimbangan lingkungan, maka DAS Peusangan akan bisa hidup beribu-ribu tahun lamanya,” ujarnya.Ia menyatakan, hingga April 2011, beban puncak daya listrik di Aceh 298 MW dan sekitar 50 persen masih dipasok dari pembangkit di Sumatera Utara.

Oleh karenanya, untuk menuju Aceh Mandiri Listrik 2012, pihaknya terus melakukan upaya pengembangan kelistrikan, baik melalui proyek PLTA, PLTU, maupun sumber energi panas bumi, katanya.

Jumlah pelanggan PLN Wilayah Aceh hingga saat ini mencapai 995.679 pelanggan dengan rasio desa berlistrik 96,98 persen. Selain itu, PLN Aceh juga melakukan efisiensi dengan cara menagih para pelanggan yang menunggak. “Alhamdulillah selama dua tahun yakni 2009 dan 2010, kami telah mampu menekan pencurian arus senilai Rp704 miliar lebih. Ini semua berkat bantuan masyarakat, khususnya media,” katanya.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Banjir Landa Tiga Kabupaten

* Dampak Terparah di Agara
Tue, May 24th 2011, 10:51


Hujan yang menguyur Kabupaten Aceh Tenggara, menyebabkan Desa Penangalan, Seldok, dan sejumlah lokasi lainnya di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Minggu (22/5/) sekitar pukul 22.00 WIB diterpa banjir bandang. SERAMBI/ASNAWI

LHOKSUKON – Sepanjang Minggu hingga Senin (22-23/5) kemarin, banjir melanda tiga kabupaten di Aceh, meliputi Aceh Utara, Aceh Barat Daya (Abdya), dan Aceh Tenggara (Agara). Ekses terparah dirasakan di Agara, karena selain banjir bandang, juga terjadi longsor yang menimbun badan jalan, sehingga berbagai kendaraan dari Agara menuju Gayo Lues (Galus) tak bisa melintas, demikian pula sebaliknya. Banjir terbaru justru terjadi di Aceh Utara, Senin pagi. Meliputi empat kecamatan: Matangkuli, Paya Bakong, Tanah Luas, dan Pirak Timu. Banjir disebabkan meluapnya air Krueng Keureuto yang alirannya mencakup empat kecamatan tersebut.

Amatan Serambi kemarin, tinggi air yang merendam puluhan desa di empat kecamatan itu lebih dari satu meter. Banjir juga merendam SDN 6 Matangkuli, MTsN 1, dan MAN 1 Matangkuli. Akibatnya, aktivitas belajar-mengajar di sekolah itu dihentikan.

Terlihat pula relawan PMI, SAR, RAPI, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) Aceh Utara siaga di lokasi banjir. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada warga yang meninggalkan desanya yang kebanjiran. Mereka hanya mengungsi ke rumah saudara yang kebetulan tak terkena banjir, namun masih berada di desa itu. Adanya rumah yang kebanjiran, ada yang tidak, itu karena topografi desa itu ada yang landai, ada yang berbukit.

Desa yang terendam di Matangkuli meliputi Desa Hagu, Tumpok Barat, Parang Sikureung, Ceubrek Pirak, Lawang, Tanjong Teungku Kari, Tanjong Haji Muda, Punti, Blang, Mee, dan Desa Alue Euntok.

Banjir juga merendam Desa Asan Krueng Kreh, Rayeuk Pange, Geulumpang, Bungong, Lubok, Ceumeucet, dan Desa Alue Bungkoh di Kecamatan Pirak Timu. Di Tanah Luas, banjir merendam Desa Serba Jaman dan Desa Rayeuk Kuta. Sedangkan di Kecamatan Paya Bakong, banjir merendam Desa Meuria Lhong dan Desa Jok.

Mukim Pirak, Abdullah, meminta agar pemerintah setempat membangun tanggul sungai di daerah itu. “Kami harap, pemerintah membangun tanggul di sekitar DAS Krueng Keureuto, sehingga kami tak selalu didera banjir,” ujar Abdullah.

Pemerintah juga diminta memberikan bantuan boat untuk desa-desa yang kerap banjir. “Kalau ada boat di kampung, masyarakat bisa langsung dievakuasi ke dataran tinggi begitu banjir,” sebut Abdullah.

Sementara itu, sekitar pukul 13.30 WIB kemarin, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, meninjau sejumlah lokasi banjir. “Kita akan bangun tanggul untuk kecamatan yang terkena banjir. Pokoknya dalam waktu dekat, kita buat program pembangunan tanggul itu,” pungkas Ilyas.

Banjir Agara
Dari Agara dilaporkan, hujan yang mengguyur kabupaten itu menyebabkan Desa Penangalan, Seldok, dan sejumlah lokasi lainnya di Kecamatan Ketambe, Minggu (22/5/2011) sekitar 22.00 WIB dilanda banjir bandang. Akibatnya, jalan tertimbun longsor yang bermaterikan bebatuan, tanah, dan pohon, sehingga kendaraan roda empat maupun jenis lainnya dari Agara menuju Gayo Lues tak bisa melintas, begitu pula sebaliknya.

Kendaraan dari dan ke dua kabupaten itu terpaksa antrean 12 jam, akibat opprit jalan di Desa Penangalan putus 20 meter lebih. Selain itu, tiga rumah warga dibawa banjir dan satu unit gedung Yayasan Darul Aitam roboh akibat dihantam arus sungai.

Bencana banjir bandang itu langsung ditinjau Bupati Agara Ir Hasanuddin B, didampingi unsur muspida setempat. Bupati langsung mengerahkan dua alat berat jenis scopel untuk membersihkan jalan.

Sulaiman, warga setempat, kepada Serambi, Senin mengatakan, pada malam itu hujan turun deras, sehingga terjadi banjir bandang pada Minggu (22/5) pukul 21.30 WIB. Akibat banjir itu kayu gelondongan menumpuk di jembatan, sehingga jalan sepanjang 20 meter ambruk.

Bupati Agara Hasanuddin B mengatakan, banjir bandang itu terjadi akibat hujan terus-menerus membawa kayu. Kayu itu merupakan hasil pembalakan liar yang sudah lama terjadi.

Menurut Bupati, penanganan akan dilakukan secara darurat dan mengembalikan fungsi sungai serta memperbaiki opprit jembatan yang rusak. Tapi perbaikan jalan agar transportasi Agara-Gayo Lues lancar belum terselesaikan pada pukul 14.00 WIB kemarin.

Kata Bupati Agara, ke depan akan dibangun beronjong permanen dan diperbaiki opprit jembatan yang rusak, maupun rumah yang rusak dilanda banjir. Kebutuhan biayanya akan diajukan ke provinsi dan ke Jakarta, karena Pemkab Agara hanya menangani dampak banjir pada saat masa panik.

Krisis air bersih
Dilaporkan juga, akibat banjir Agara ini, warga Desa Seldok, Desa Penangalan, Kecamatan Ketambe, mengalami krisis air bersih. Salamah, warga Desa Seldok, kepada Serambi, Senin (23/5) mengatakan, saat ini mereka kesulitan memperoleh air bersih, karena air sungai di Seldok berlumpur akibat banjir bandang. Air tersebut tak bisa mereka manfaatkan untuk memasak, mencuci pakaian, dan kebutuhan lainnya.

Untuk mendapatkan air bersih, mereka terpaksa membelinya ke Kumbang yang jaraknya mencapai belasan kilometer. Untuk itu, mereka minta kepada Pemkab Agara agar memberikan air bersih, baik untuk memasak maupun mencuci pakaian.

Bupati Agara Hasanuddin B mengatakan, pihaknya telah mendatangkan dua mobil tangki berisi air bersih untuk masyarakat Desa Seldok dan Desa Penangalan.

Banjir Abdya
Dari Blangpidie, ibu kota Abdya dilaporkan, sedikitnya dua dusun di Gampong Persiapan Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, Minggu (22/5) malam dilanda banjir. Banjir luapan setinggi 70 cm yang sempat menggenangi puluhan rumah penduduk dan belasan hektare sawah warga itu diperkirakan akibat hujan lebat yang berdampak meluapnya aliran sungai setempat.

Jaruddin (38), mantan Kadus Lhok Gayo yang ditemui Serambi, Minggu malam menuturkan, banjir luapan yang sudah dua kali terjadi selama Mei ini akibat makin dangkalnya aliran sungai dan tersumbatnya sejumlah saluran pembuang di desa itu. Masyarakat setempat berharap PT Juya Aceh Mining (PT JAM) dan dinas terkait segera meninjau kondisi warga sekitar. Dia tambahkan, hujan lebat yang berujung banjir luapan itu terjadi sekira pukul 13.00 hingga 16.00 WIB. Namun, selang beberapa menit kemudian air terus naik dan meluap hingga ke permukiman penduduk. Bahkan ikut menenggelamkan areal persawahan warga yang baru ditanami padi.

“Kami sempat merekam kejadian itu. Kami yakin itu dampak dari beroperasinya tambang bijih besi, sebab sebelumnya kejadian seperti ini tak pernah terjadi di desa kami,” paparnya.

Jaruddin yang didampingi sejumlah warga lainnya berharap, pihak PT JAM dan Pemkab Abdya segera membuat saluran pembuang di desa itu agar terhindar dari dampak banjir yang sudah dua kali terjadi dalam sebulan ini.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan masyarakat sekitar akan terus menerima dampaknya. Kami tak menuntut banyak, kami hanya ingin PT JAM dan Pemkab Abdya membangun saluran pembuang di desa kami. Jika kondisi ini dibiarkan, masyarakat di sini yang akan dirugikan,” kata Jaruddin.

Serambi yang turun ke lokasi malam itu melihat bekas ketinggian air mencapai sepinggang orang dewasa. “Hingga kini kami masih merasa waswas akan terjadinya banjir susulan, sebab hingga Senin (23/5) siang cuaca mendung masih menyelimuti kawasan kami,” ujarnya. Terhadap kondisi tersebut, Serambi belum berhasil memperoleh konfirmasi dari PT JAM. (tz/as/c46)

Sumber Serambinews.com

Moratorium Lahan dan Kegelisahan Petani

Mon, May 23rd 2011, 09:43
Dari Workshop Prospek Industri Sawit

PENGANTAR - Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang berlaku mulai tahun ini, dikhawatirkan menutup ruang bagi perusahaan perkebunan untuk memperoleh lahan sawit. Khawatir akan hal itu, PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk menggelar Workshop Wartawan se-Indonesia dengan tema “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan di Jakarta, 18-19 Mei 2011. Harian Serambi mengirim Misbahuddin dalam workshop itu dan berikut ini reportasenya.

BERBICARA masalah perkebunan kelapa sawit, yang terbayang di benak kita biasanya persoalan lahan. Apakah soal sengketa, ganti rugi, bahkan soal tumpang tindih kepemilikan lahan. Itu karena, untuk membuka kebun sawit dibutuhkan lahan yang luas dan memadai. Tak jarang ketika ada perusahaan swasta yang ingin membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit, senantiasa muncul kegelisahan di kalangan masyarakat.

Kelapa sawit telah memberi harapan besar kepada masyarakat tani, sehingga hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh terlihat hamparan kebun sawit yang subur. Kegelisahan bahkan penolakan masyarakat atas hadirnya perusahaan sawit di suatu daerah, acap memicu sengketa lahan antara masyarakat versus perusahaan sawit. Biasanya rakyat senantiasa menjadi pecundang, karena rata-rata tak memiliki bukti hak milik atau izin garap.

Namun, kali ini bukan hanya masyarakat yang resah, tapi juga perusahaan-perusahaan besar yang menanam investasi di bidang industri kelapa sawit. Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang mulai berlaku tahun ini, justru akan menutup ruang bagi perusahaan untuk memperoleh lahan sawit. Dalam acara Workshop Wartawan se-Indonesia yang bertajuk “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk di Jakarta pada 18-19 Mei 2011 lalu, terungkap persoalan sulitnya memperoleh lahan bagi perusahaan industri sawit.

Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Joko Supriyono, dalam pertemuan itu menyinggung soal moratorium lahan yang telah ditandatangani Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu. Katanya, kebijakan pemerintah itu sungguh akan merugikan masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit. Bahkan Joko Supriyono yang juga Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kepada Serambi yang mewawancarainya seusai workshop itu menambahkan,

kebijakan moratorium membuat kepastian berusaha di industri sawit makin tidak jelas, sehingga dikhawatirkan memicu ekspansi di sektor ini menjadi terhenti dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Dia tambahkan, industri sawit memiliki peran yang besar terhadap pembangunan nasional dan 40 persen dari perkebunan sawit yang ada merupakan kebun rakyat. Saat ini, perkebunan dan industri kelapa sawit memberikan penghidupan bagi sekitar 2,8 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia.

“Tapi sekarang sudah tidak pasti. Dengan adanya moratorium lahan, yang pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” katanya. Gapki, tambah Joko, meminta peraturan moratorium tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak mengorbankan pengembangan sawit nasional.

“Dengan kita tidak bisa ekspansi, maka kehilangan kesempatan untuk membangun, artinya poverty alleviation (upaya mengurangi kemiskinan -red) bisa terganggu. Maka biaya yang harus ditanggung akan lebih mahal. Selain itu, kalau semua berekspansi (minyak nabati), lalu sawit terhalang ekspansinya, ini kan tidak fair,” tegasnya.

Menurut Joko, Peraturan Presiden mengenai kebijakan moratorium lahan itu tidak sinkron dengan letter of intent (LoI) Indonesia kepada Pemerintah Norwegia mengenai skema pengurangan emisi dari deforestasi.

Ditegaskan juga, draf perpres moratorium itu hanya akan memberikan efek negatif terhadap industri sawit. Pelaksanaan moratorium konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun merupakan salah satu bentuk kerja sama Indonesia dan Norwegia yang telah disepakati dengan ditandatanganinya letter of intent antara kedua belah pihak.

Dalam dokumen LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia yang ditandatangani 26 Mei 2010 lalu itu, kata Joko, penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun, dimulai tahun 2011.

Dalam dokumen LoI tersebut juga diatur item peluncuran program uji coba REDD plus provinsi (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai tahun ini, kemudian dilanjutkan dengan uji coba REDD plus untuk provinsi kedua pada 2012. Mulai tahun ini juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh Pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.

Penundaan izin ini berlaku hingga lima tahun dan dikenakan tidak hanya bagi pembukaan lahan baru, tapi izin yang sudah ada juga bisa ditinjau kembali. Pelaku usaha sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk memberikan masukan agar Perpres tentang Moratorium Lahan tidak terlalu merugikan industri sawit di dalam negeri.

Dalam diskusi itu juga berkembang, bila pemerintah tetap menjalankan aturan ini, maka pelaku industri harus meyakinkan pemerintah agar menerapkan standar nasional dan standar sustainable palm oil sebagai acuan pengolahan sawit. Pelaku usaha dan petani sawit rakyat di lapangan harus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitasnya supaya bisa mencapai 40 ton per hektare.

Begitupun, Direktur PT AAL itu juga mengakui tidak ada masalah dengan moratorium logging yang diprogramkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sejak 2007. Sebab, program Gubernur Aceh itu hanya bersifat jeda bagi penebangan kayu. Namun, selama ini pihak PT AAL juga sangat hati-hati dalam membuka lahan baru di Aceh ataupun dalam pengalihan lahan.

Menurut Ir M Basyir Hasan, Community Development Area Manager Andalas I PT AAL, kehati-hatian perusahaan dalam memproleh lahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih pembayaran. Apalagi, jika lahan yang akan diperoleh itu merupakan lahan dari perusahaan lain. (misbahuddin)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 12 Juli 2011

Pansus XI: Raqan RTRW Diselesaikan Juni

* Penambahan Luas Hutan Masih Jadi Polemik
Mon, May 9th 2011, 09:53

BANDA ACEH - Panitia Khusus (Pansus) XI DPRA menyatakan, Rancangan Qanun (Raqan) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh tahun 2010 - 2030 yang diserahkan eksekutif tahun 2010 lalu kepada DPRA, akan diselesaikan pada Juni 2011.

“Bulan Juni 2011 kita tetapkan sebagai batas akhir penyelesaian pembahasan isi raqan RTRW, sejalan dengan perpanjangan keempat masa kerja Pansus XI yang diberikan Pimpinan DPRA,” kata Ketua Pansus XI DPRA, Ir Jufri Hasanuddin kepada Serambi Minggu (8/5), di Banda Aceh.

Jufri mengatakan, salah satu kendala pembahasan raqan ini adalah masih adanya polemik antara Pemerintah Aceh yang menginginkan penambahan kawasan hutan, dengan sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang menginginkan penambahan kawasan budidaya. Tuntutan kabupaten/kota itu disebabkan desakan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan lapangan kerja baru di luar sektor kehutanan. Yaitu sub sektor perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya.

Di antara kabupaten yang menolak penambahan luas kawasan hutan adalah Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Abdya, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus XI pada tahun 2010 lalu, para pemimpin kabupaten itu menyatakan menolak draf raqan yang diajukan eksekutif, dan setuju dengan draf raqan yang telah diperbaiki Pansus XI.

Dalam draf Raqan RTRW yang dibuat eksekutif, Pemerintah Aceh berkeinginan menambah 1 juta hektare luas areal hutan. Sementara draf raqan RTRW yang telah diperbaiki Pansus XI, memberikan peluang bagi kabupaten/kota yang areal budidayanya masih kecil untuk menambah kawasan budidaya, dengan catatan tidak merusak dan mengurangi kawasan lindung.

Tuntutan sejumlah kabupaten/kota itu, menurut Jufri Hasanuddin, sejalan dengan pendapat anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Demokrat, Ir Nova Iriansyah. Ia menyatakan, jika Pemerintah Aceh mengusul tambahan areal hutannya, akan memberikan konsekwensi terhadap menurunnya alokasi dana infrastruktur Aceh dari sumber APBN maupun pinjaman lunak dari luar negeri.

Padahal, banyak kabupaten/kota yang setiap tahunnya mengusulkan kepada anggota DPR RI maupun DPRA agar alokasi anggaran untuk pembangunan jalan dan pemeliharaan jalan negara terus ditambah. Contohnya untuk kawasan pedalaman Aceh (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lueas, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil), dan pantai Barat-Selatan.

Sementara di sisi lain, Pemerintah Aceh mengusulkan kepada Kementrian Kehutanan tambahan areal kawasan lindung mencapai 1 juta hektare, tambah dia.

Jufri mengatakan, untuk menyelasikan polemik tersebut, Pansus XI saat ini melakukan pengecekan kembali dan meminta kabupaten/kota yang menginginkan tambahan areal budidaya mengusulkan permohonan dengan database yang akurat dan titik koordinat yang benar. Sehingga pada waktu Pansus XI berdialog kembali dengan Tim Pemerintah Aceh untuk finalisasi isi Raqan RTRW, Pemerintah Aceh bisa menerima isi Raqan RTRW yang telah disempurnakan Pansus XI.

Pasalanya, pengesahan raqan itu baru bisa dilakukan kalau kedua belah pihak (legislatif dan eksekutif) sudah sepakat dengan isi raqan yang mau diparipurna dan disahkan.

Namun, lanjut Jufri, Pemerintah Aceh sampai kini belum memberikan sinyal menerima atau tidak isi raqan RTRW yang telah disempurnakan Pansus. Pun demikian, Pansus tetap akan menyelesaikan raqan itu bulan Juni.

“Mengenai diterima atau tidak isi Raqan RTRW hasil penyempurnaan Pansus XI oleh Gubernur, kita lihat saja nanti dalam sidang paripurna raqan ini yang akan dijadwalkan pada bulan Juli 2011 mendatang. Tugas Pansus XI saat ini adalah menyelesaikan pembahasan isi raqan sesuai tahapan pembahasan sebuah raqan dan menampung aspirasi masyarakat,” ujarnya.(her)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 05 Juli 2011

Hutan Aceh jadi Aset Transaksi Saham Broker Karbon

Thu, May 5th 2011, 10:13

JAKARTA - Greenomics Indonesia mengungkapkan, perusahaan broker karbon asal Australia, Carbon Conservation, telah menjadikan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh sebagai aset dalam bertransaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation, sebuah perusahaan tambang emas Kanada yang telah melakukan eksplorasi emas di hutan Aceh.

Dalam perjanjiannya dengan Pemerintah Aceh tersebut --yang ditandatangani pada Juli 2008— Carbon Conservation mendapatkan hak ekslusif dalam pemasaran dan penjualan karbon kredit hutan Aceh pada Blok Ulu Masen seluas 700.000 hektare.

Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh East Asia Minerals Corporation tertanggal 3 Mei 2011 (waktu Kanada), East Asia Minerals Corporation yang tercatat pada Toronto Stock Exchange menyatakan bahwa mereka akan membayar tunai sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat serta menerbitkan 2,5 juta lembar saham untuk Carbon Conservation.

“Greenomics Indonesia menentang keras langkah Carbon Conservation tersebut, yang telah menjadikan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh sebagai aset dalam transaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation. Greenomics meminta Gubernur Aceh untuk tidak membiarkan transaksi tersebut berlanjut,” tegas Koordinator Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi, dalam siaran pers yang diterima Serambi, Rabu (4/5) malam.

Vanda mengatakan, mekanisme transaksi saham itu secara jelas telah menjadikan hutan Aceh seperti agunan yang digadaikan melalui suatu skema transaksi saham. “Di satu sisi, East Asia Minerals Corporation punya kepentingan bisnis tambang emas di hutan Aceh (Miwah Project). Di sisi lain Carbon Conservation memiliki hak eksklusif dari Gubernur Aceh untuk menjual dan memasarkan karbon kredit dari 700.000 hektare hutan Aceh pada blok hutan Ulu Masen. Mengapa hutan Aceh dijadikan aset oleh Carbon Conservation untuk mendapat dana dari transaksi saham dengan East Asia Minerals Corporation? Ini jelas mengandung konflik kepentingan,” tulis Vanda.

Carbon Conservation menurutnya telah menyalahgunakan perjanjian kerja samanya dengan Pemerintah Aceh. “Transaksi saham itu harus ditolak mentah-mentah,” tegas Vanda.

Menurut Vanda, motif transaksi tersebut sangat jelas untuk kepentingan bisnis East Asia Minerals Corporation dan Carbon Conservation. Buktinya adalah pernyataan dari East Asia Minerals Corporation dalam siaran persnya yang menyebutkan bahwa terdapat fakta di mana pelaku bisnis perhiasan skala besar melakukan boikot terhadap emas yang diambil dari praktik pertambangan yang tidak ramah lingkungan, atau mengambil emas dari kawasan-kawasan yang sensitif secara lingkungan.

“Hutan Aceh, terutama kawasan hutan lindungnya, tergolong kawasan-kawasan yang sensitif secara lingkungan. Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Carbon Conservation telah dijadikan tameng operasi tambang East Asia Minerals Corporation melalui transaksi saham antara kedua perusahaan itu,” jelas Vanda.

Vanda mengaku sudah melakukan konfirmasi kepada Gubernur Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA Hasbi Abdullah soal transaksi saham tersebut. “Gubernur menegaskan tidak pernah keluarkan rekom apa pun terkait operasi East Asia Minerals Corporation di Aceh. Bahkan, Gubernur mengaku aneh, East Asia Minerals Corporation sekarang operasional,” ujar Vanda.

Karena itu, Greenomics meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk segera meminta Carbon Conservation membatalkan transaksi saham tersebut. “Ketua DPRA dengan tegas menyatakan menolak transaksi saham antara Carbon Conservation dan East Asia Minerals Corporation,” pungkasnya.(yos)

Sumber : Serambinews.com