Rabu, 19 Januari 2011

BMKG: Sepekan ke Depan, Cuaca Aceh Ekstrem

* Gelombang Capai 2,5 Meter
Sat, Jan 8th 2011, 12:20

BANDA ACEH - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar, memperingatkan masyarakat tentang cuaca ekstrem yang diperkirakan terjadi pada pekan depan (mulai 9 hingga 15 Januari 2011) di Aceh, khususnya di wilayah timur dan barat-selatan. Menurut Kepala Stasiun BMKG Blang Bintang, Samsuir DHS, melalui prakirawan Jaya Martuah Sinaga, Jumat (7/1), berdasarkan amatannya melalui citra satelit, masih terdapat pusat tekanan rendah di Samudera Hindia sebelah barat Aceh maupun di sebelah selatan Pulau Jawa. Hal ini memengaruhi terbentuknya daerah belokan, pertemuan, dan pumpunan massa udara di atmosfer Aceh.

Selain itu, kata staf bagian analisis dan pengolahan data ini, suhu muka laut di perairan Indonesia, kisarannya 29-30,5 °Celcius. Kondisi seperti ini sangat mendukung untuk pertumbuhan awan-awan hujan di Aceh. “Kelembaban udara dari lapisan permukaan hingga 700 mb diperkirakan cukup basah. Hal ini dapat memicu pembentukan awan-awan hujan,” jelas Jaya kepada Serambi, kemarin. Menanggapi fenomena alam itu, prakirawan ini mengingatkan berdasarkan prediksi BMKG, sepekan ke depan di timur dan barat-selatan Aceh, akan terjadi cuaca buruk. Terutama hujan dengan intensitas rendah hingga sedang yang disertai petir dan angin kencang. “Angin di atas wilayah Aceh bertiup dari barat ke arah barat laut Aceh dengan kecepatan berkisar antara 10-40 km/jam,” ungkapnya.

Jaya melanjutkan, daerah-daerah yang diprediksi mengalami cuaca ekstrem sepekan ke depan adalah Lhokseumawe dan perairan utara Aceh, Banda Aceh, Kepulauan Sabang, Meulaboh, dan pesisir pantai barat Aceh, dan Aceh Selatan. “Intensitas curah hujan di wilayah ini mencapai 20-50 milimeter per hari,” sebut Jaya.

Gelombang 2,5 meter
Sedangkan untuk tinggi gelombang, BMKG memprediksi sepekan depan, di perairan Aceh tinggi gelombang lautnya antara 1,5-2,5 meter. Sementara di perairan utara dan timur Aceh, tinggi gelombang antara 1,25-2 meter. Adapun di barat-selatan Aceh gelombang lautnya mencapai ketinggian yang sama dengan perairan Aceh. “Gelombang yang tinggi ini karena dipengaruhi kecepatan angin, kita minta masyarakat agar mewaspadai kondisi tersebut,” imbau Jaya. (c47)

Sumber : Serambinews.com

Bupati/Wali Kota Tolak Perluasan Hutan Lindung

Rapat Dengar Pendapat Raqan RTRW
Fri, Jan 7th 2011, 13:45


Tim Pansus XI DPR Aceh yang menangani pembahasan rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan bupati/wali kota se-Aceh di ruang Sidang Paripurna DPR Aceh, Kamis (6/1). Dalam rapat yang dibuka Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi SH didampingi Ketua Tim Pansus XI Jufri Hasanuddin tersebut seluruh bupati/wali kota menolak perluasan kawasan hutan di Aceh.SERAMBI/SUPRIJAL YUSUF

BANDA ACEH - Para bupati dan wali kota di Aceh menolak rencana pemerintah memperluas kawasan hutan lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2010-2030. Mereka bahkan meminta kawasan hutan lindung yang sudah ada Aceh selama ini untuk ditinjau ulang, karena sebagian merupakan kawasan perkebunan, areal pertanian dan pemukiman penduduk.

Permintaan para bupati dan walikota itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Pansus XI DPRA terkait pembahasan Rancangan Qanun (Raqan) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2010-2030, di ruang Sidang Utama DPRA, Kamis (6/1). Dalam forum itu, sejumlah kepala daerah berpendapat, porsi hutan lindung di Aceh tidak lebih dari 30 persen.

Rapat yang dibuka Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi berlangsung seru karena juga melibatkan tim teknis lintas departemen, misalnya dari Departemen Kehutanan, PU, Bappenas, dan Depdagri. Dalam pertemuan dengan bupati/walikota seluruh Aceh, tim teknis tersebut juga mendengar langsung saran dan keluhan para pimpinan daerah tingkat dua. RDPU ini direncanakan berlangsung dua hari, yakni Kamis (6/1) dan Jumat hari ini.

Ketua Tim Pansus XI DPRA Ir Jufri Hasanuddin yang memimpin rapat menyatakan RDPU ini sangat penting dilakukan sehingga Pansus XI tidak salah langkah dalam membahas Qanun RTRWA. “Apa yang saudara sampaikan dalam rapat ini akan menjadi bahan masukan bagi kami dan semampu mungkin akan perjuangan aspirasi tersebut,” katanya saat mengawali rapat tersebut.

Bupati Pidie Jaya M Gade Salam yang mendapat kesempatan pertama memberi tanggapan langsung menyatakan, draf rancangan Qanun RTWA 2010-2030 yang diusulkan Pemerintah Aceh jelas akan menimbulkan konflik besar di tengah masyarakat pada masa mendatang. Karena luas hutan lindung yang direncanakan mencapai 66,6 persen (4 juta hektar lebih) dari jumlah kawasan hutan yang ada di Aceh seluas sekitar 5,6 juta hektar, sedangkan kawasan budidaya hanya 33,4 persen.

“Ini jelas menjadi bencana bagi Aceh ke depan. Kami menolak usulan seperti ini. Kalau lebih luas hutan lindung dari pada kawasan budidaya, di mana anak cucu kami akan tinggal nantinya,” ungkap Gade Salam.

Karenanya, Bupati Pidie Jaya ini berharap porsi hutan lindung tidak lebih dari 30 persen. “Jangan sampai bukit janda pun menjadi hutan lindung,” kata dia merujuk kepada salah satu kawasan di Desa Cot Keng, Pidie Jaya. Pada masa konflik, kawasan ini memiliki intensitas kekerasan tinggi yang mengakibatkan banyak suami tewas.

Sayangnya, jelas Gade, beberapa waktu lalu bukit janda sempat dimasukkan ke dalam kawasan hutan lindung. “Saya menilai membutuhkan waktu yang banyak untuk membahas Raqan RTRW ini secara mendalam, tidak cukup dua hari,” kata Gade Salam.

Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf mengatakan, rencana pemerintah untuk memperluas kawasan hutan lindung akan membuat masyarakat di pedesaan kesulitan membiayai hidupnya. “Justru yang perlu diperluas adalah tempat berladang dan berkebun yang semakin sempit, bukan malah memperluas hutan lindung,” kata Husin Yusuf yang diamini oleh bupati lainnya.

Berpotensi konflik
Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah itu juga diungkap oleh Wali Kota Sabang Muawarliza Zainal. Jika mengacu pada draf Raqan RTRW yang sudah ada, kata Munawarliza, maka luas pemukiman penduduk di Kota Sabang akan sangat sempti. “Ini bisa menimbulkan konflik,” kata Munawarliza.

Dia berharap luas hutan lindung di Sabang tidak dikurangi dan ditambah. Setiap penambahan harus berdasarkan pada usulan pihaknya dengan melibatkan tokoh adat dan masyarakat Sabang. “Nyoe bahaya, lampoh-lampoh gob jeut keu hutan lindung ntreuk (Ini berbahaya, kebun-kebun orang bisa menjadi hutan lindung nantinya,” kata dia.

Menjawab bupati dan walikota, pimpinan sidang Jufri Hasanuddin memastikan bahwa pihaknya akan membahas raqan tersebut secara komprehensif.

Sementara Soetrisno, Staf Ahli Menteri Kehutanan yang menjadi Ketua Tim Teknis Pembahasan Qanun RTRW Aceh, menyebutkan, seharusnya paling lambat Qanun RTRW itu disahkan Desember 2010 sesuai dengan UU Nomor 26 tahun 2006. “Jadi, jika mengacu pada UU tersebut, sebetulnya sudah terlambat dua tahun. Tapi, tidak apa-apa, yang penting dapat memuaskan rakyat banyak,” katanya kepada Serambi saat istirahat makan siang di Gedung DPRA.

Dijelaskan, undang-undang mengharuskan bahwa luas hutan lindung di sebuah kabupaten/kota minimal 30 persen, namun semuanya masih bisa dinegosiasikan. “Yang penting jangan dipersepsikan bahwa hutan itu menyengsarakan rakyat,” kata mantan Dirjen Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan ini.(sak/sup)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 06 Januari 2011

Ratusan Hektare HPH dan HTI Ditelantarkan

* PAD Sektor Hutan 2005-2010 Rp 3,5 Miliar
Thu, Jan 6th 2011, 09:49

BANDA ACEH - 15 Perusahaan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tersebar di seluruh Aceh saat ini berstatus tidak aktif. Lahan belum digarap meski izin penguasaan lahan telah dikantongi antara tahun 1991 dan 2010. Akibatnya, ratusan ribu hektare lahan menjadi telantar. “Saya sempat terkejut melihat begitu banyak perusahaan yang sudah mengantongi HPH, tetapi sampai sekarang tidak menggarap lahan. Mereka bohong dan telah menciderai rasa keadilan rakyat,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, HT Bahrum Manyak, kepada Serambi, Rabu (5/1).

Berdasarkan data yang ada padanya, lahan ditelantarkan tersebar di Kabupaten Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Barat, Pidie, Subulussalam, Bireuen, dan Kabupaten Aceh Utara. “Dalam catatan Dishutbun Aceh, perusahaan sudah mendapat izin HPH sejak tahun 1991, tetapi sampai sekarang lahan terbengkalai. Alasan perusahaan bahwa mereka belum mendapat pinjaman kredit perbankan,” ujarnya. Menurut Bahrum, persoalan tidak berhenti disini. Laporan pejabat Dishutbun Aceh saat audiensi dengan anggota DPD Senin (3/1), ada perusahaan yang mengantongi HPH untuk hutan taman industri tetapi menelantarkan lahan. Lahan tersebar di Bireuen, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, dan Kabupaten Aceh Utara.

“Izin penguasaan lahan perusahaan ini sampai 2053. Bayangkan berapa tahun lagi lahan telantar. Kita tidak persoalkan asal lahan mereka garap, tetapi yang menjadi masalah lahan ditelantarkandan rakyat yang terjajah,” ujar Bahrum. Terhadap kondisi ini, mantan anggota DPRA ini mendesak Menteri Kehutanan RI mencabut izin HPH yang telah dikeluarkan untuk perusahaan yang menelatarkan lahan. Begitujuga pada pemerintah Aceh untuk melakukan hal yang sama sehingga lahan tidak terlalu lama berada pada pihak yang tidak bertanggungjawab. “Rakyat butuh lahan. Putuskan kontrak dengan perusahaan dimaksud dan berikan lahan untuk pengebangan ekonomi rakyat,” pintanya.

Pemasukan minim
Persoalan lain yang menjadi tanda tanya pihak DPD adalah soal pemasukan dana dari sektor hutan untuk pemerintah Aceh, yang sejak tahun 2005 hingga 2010 hanya Rp 3.588.629.230. Rinciannya ujar Bahrum, tahun 2005 Rp 1.785.871.515, tahun 2006 Rp 1.061.541.265, tahun 2007 Rp 251.720.072, tahun 2008 Rp 65.112.795, tahun 2009 Rp 179.877.064, dan tahun 2010 sebesar Rp 244.506.564.

“Melihat enam tahun terakhir, pemasukan dari sektor kehutanan sangat minim. Kami curiga terhadap pemasukan dana dari sektor hutan,” pungkasnya. Bahrum berjanji akan menyampaikan persoalan kehutanan di Aceh pada saat paripurna DPD di Jakarta serta kepada menteri terkait. “Kebohongan ini harus dibongkar sehingga daerah dan rakyat tidak dirugikan,” tandas Bahrum.(swa)

Sumber : Serambinews.com

15 HPH di Aceh tak Aktif

Wed, Jan 5th 2011, 19:02

BANDA ACEH - Sebanyak 16 perusahaan yang telah mengantongi izin hak pengusahaan hutan (HPH) di Aceh, menelantarkan lahan. Izin HPH yang mereka dapat ada yang berakhir tahun 2011 dan ada yang sampai tahun 2034.

Temuan terhadap adanya perusahaan yang menelantarkan lahannya disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, HT Bahrum Mannyak. Kepada serambinews.com, mantan anggota DPR Aceh ini mengaku telah mempertanyakan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh.

Jawaban yang didapat, perusahaan belum memfungsikan lahan akibat belum cair kredit bank. "Ini penipuan, rakyat sengsara karena lahan sudah menjadi HPH. Kami minta gubernur Aceh atau pemerintah pusat mencabut HPH tersebut secepatrnya," ujar Bahrum Manyak.(yuswardi mustafa)

Sumber : Serambinews.com

‘Aceh green’ jangan kurangi hak rakyat

Wednesday, 05 January 2011 20:03

BANDA ACEH - Kebijakan "Aceh Green" yang telah dicanangkan Pemerintah Aceh sebagai program menyelamatkan kawasan hutan, diharapkan tidak mengurangi hak-hak masyarakat adat yang berdomisili di pinggiran hutan.

"Kita sepakat untuk kelestarian hutan, tapi kebijakan `Aceh Hijau (Aceh Green)` itu jangan sampai masyarakat pinggiran hutan tidak berdaya dalam kemandirian ekonominya," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Mursyid, malam ini.

Hal itu disampaikan anggota DPD asal daerah pemilihan Aceh itu, setelah melakukan pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh.

Luas areal kawasan hutan Aceh mencapai sekitar 3,5 juta hektar, namun melalui program "Aceh Green" telah diperluas menjadi 4,5 juta hektare. Padahal, idealnya kawasan hutan Aceh itu sekitar tiga juta hektare, katanya menyebutkan.

Oleh karena itu, Mursyid mengharapkan Pemerintah Aceh agar mengkaji kembali secara konprehensif dengan prinsip demografis, sehingga kawasan hutan tetap terpilihara dan masyarakat juga tidak dirugikan dalam program "Aceh Green" tersebut.

"Kawasan hutan Aceh saat ini terbaik di Indonesia. Kalau pemerintah terus memperluas kawasan hutan, maka masyarakat terutama mereka yang berdomisili di pinggiran hutan akan kehilangan mata pencarian," kata dia.

Dipihak lain, Mursyid mengharapkan Pemerintah Pusat juga agar memberikan anggaran lebih besar kepada daerah-daerah yang bisa menjaga kawasan hutan.

"Selama ini, justru anggaran lebih besar diberikan kepada daerah yang kawasan hutannya rusak. Artinya, biaya lebih besar diberikan kepada daerah yang lebih besar kerusakan hutannya," kata dia.

Sementara anggota DPD, asal daerah pemilihan Aceh lainnya, Tgk Abdurrahman BTM juga mengharapkan program "Aceh Green" bisa memberi manfaat besar kepada semua pihak.

"Masyarakat dipinggiran hutan perlu penghidupan melalui pertanian dan perkebunan, sementara masalah lingkungan juga menjadi tanggungjawab kita semua. Karenanya saya sepakat jika program `Aceh Hijau` tersebut tidak merugikan masyarakat," kata dia.

sumber : Waspada.co.id

Aceh butuh industri hilir

Wednesday, 05 January 2011 13:05

BANDA ACEH - Provinsi Aceh diperlukan kehadiran industri hilir untuk menampung dan mengolah produk pertanian dan perkebunan rakyat, minimal bisa diproses menjadi barang setengah jadi.

"Sudah bertahun-tahun produk perkebunan lokal dipasarkan ke luar Aceh dalam bentuk mentah dengan nilai jual rendah, kemudian dipasok kembali menjadi barang jadi dengan harga beli yang mahal," kata Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid, siang ini.

Berbagai produk pertanian dan perkebunan masyarakat, seperti kelapa sawit dengan nilainya mencapai 500 ribu ton pertahun dalam bentuk CPO.

Komoditas coklat (kakao) asal Aceh bisa menghasilkan produksi dalam bentuk biji mencapai 88 ribu ton per tahun. Karet sekitar 80 ribu ton per tahun.

"Selama ini produk pertanian yang dihasilkan dari bumi Aceh itu dipasarkan dalam bentuk mentah, kemudian diproses menjadi barang jadi dan siap konsumsi, selanjutnya dibeli lagi oleh masyarakat dengan harga mahal. Karenanya diperlukan industri hilir untuk mengolah barang-barang tersebut di Aceh," kata dia.

Keuntungan lain dengan adanya industri hilir, Farhan menyebutkan akan mampu menampung tenaga kerja yang cukup banyak dan perekonomian masyarakat akan lebih baik.

Dipihak lain, ia juga menyebutkan potensi sektor perkebunan dan pertanian Aceh yang tergarap saat ini berada di bawah rata-rata nasional.

Untuk kelapa sawit, produksi rata-rata secara nasional mencapai 20 ton per hektare, sementara Aceh hanya mampu sekitar 10 ton per hektar.

"Rendahnya produktivitas produk pertanian dan perkebunan Aceh itu sumber daya manusia (SDM) petani yang rendah, selain faktor penggunaan bibit unggul yang kurang," kata Farhan.

Sumber : waspada.co.id

Selasa, 04 Januari 2011

Aceh desak pengesahan PP Migas

Friday, 31 December 2010 19:13

BANDA ACEH - Pemerintah provinsi Aceh mengharapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang bagi hasil minyak dan gas (Migas) untuk Aceh perlu dipercepat, terkait upaya peningkatan pendapatan dari sektor usaha tersebut.

Wakil Gubernur, Muhammad Nazar mengatakan dana migas untuk Aceh tahun 2011 cenderung menurun karena produktivitas didarat menurun. Bagi hasil yang didapatkan Aceh itu belum masuk dari eksplorasi migas di perairan sampai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

"Karena itu saya ingin PP migas dipercepat dan Aceh akan mendapat offshore yang diluar 12 mil laut sampai batas ZEE 200 mil, agar bagi hasil yang didapat Aceh meningkat," ujar Muhammad Nazar, sore ini, di Banda Aceh.

Menurut Wagub, kalau hanya batas 12 mil ke dalam wilayah teritorial Aceh hanya akan mendapatkan sedikit atau 30 persen dari keseluruhan hasil migas tersebut. Padahal migas tersebut merupakan hasil eksplorasi di laut Aceh dan darat Aceh.

Nazar mencontohkan pada tahun 2007 sebanyak 50 cargo migas yang diekspor Aceh hanya mendapatkan 70 persen dari 18 cargo yang diekspor tersebut. Sementara sisanya 32 cargo yang dikapalkan itu Aceh tidak dapat walaupun itu hasil dari perairan Aceh.

Sementara itu PP tentang kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang, kata Nazar sudah selesai tinggal lagi masalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) sedang dilakukan negoisasi supaya segera diserahkan ke Aceh.

Sumber : Waspada.co.id

2011, Infrastruktur Dasar Masih Menjadi Prioritas

Fri, Dec 31st 2010, 10:36

BANDA ACEH - Program pembangunan Aceh tahun 2011 masih belum bergeser dari agenda sebelumnya, yakni penanganan infrastruktur dasar, seperti jembatan, jalan, dan irigasi. Tahun depan diharapkan, dengan prediksi anggaran yang masuk ke Aceh mencapai Rp 25 triliun, akan mampu ditangani dengan baik pembangunan infrastruktur dasar tersebut. Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Aceh (Wagub), Muhammad Nazar saat menghadiri acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk Aceh 2011 sebesar Rp 7,966 triliun di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Kamis (30/12).

DIPA itu diperuntukkan bagi lembaga vertikal maupun dinas dan kabupaten/kota yang mendapat dana langsung dari APBN. Anggaran ini di luar dana DIPA yang diterima Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dari Presiden RI sebesar Rp 15,2 triliun, di Istana Negara, Selasa (28/12). Sebagaimana diberitakan tiga hari lalu, DIPA 2011 untuk Aceh berjumlah Rp 15,2 triliun atau meningkat Rp 2 triliun lebih dari 2010, sebesar Rp 13,87 triliun. “Ini lumayan besar,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyerahkan DIPA tersebut kepada Gubernur Irwandi Yusuf.

Sementara dalam penyerahan DIPA Rp 7,966 triliun kemarin, Wagub Muhammad Nazar mengimbau para kepala dinas, kantor, dan instansi pemerintah lainnya dapat bekerja dengan lebih baik lagi pada tahun 2011. “Sehingga harapan masyarakat agar pembangunan berjalan dengan baik dan peningkatan ekonomi terwujud,” ujarnya.

Masih minim
Untuk tahun 2011, kata Wagub, Aceh masih memfokuskan pembangunan untuk pemenuhan infrastruktur dasar, seperti jalan, jembatan, dan irigasi. Soalnya, sampai saat ini infrastruktur dasar yang dimiliki Aceh masih sangat minim, sehingga beberapa kawasan masih terisolasi lantaran belum ada jalan dan sarana perhubungan yang memadai. Begitu juga, masih banyak terdapat areal persawahan yang bersifat tadah hujan, sehingga puluhan bahkan ratusan hektare sawah di Aceh tak bisa maksimal digarap petani lantaran ketersediaan air tak mencukupi.

Untuk membangun infrastruktur ini, Wagub berharap para pejabat yang terlibat di dalamnya lebih mengutamakan kualitas. “Saya berharap panitia tender jangan lagi melihat nilai penawaran terendah yang dimenangkan, tapi lihatlah nilai yang wajar, sehingga kualitas proyek dapat terjamin dan tahan lama,” kata Wagub. Ia lanjutkan, buat apa memenangkan penawaran terendah, tetapi akhirnya kualitas yang dikerjakannya tidak terjamin. Bahkan banyak rekanan yang menelantarkan proyek karena tak mampu menyelesaikannya gara-gara saat tender menawar dengan nilai rendah.

Rp 25,1 triliun
Sementara itu, Kepala Bappeda Aceh, Ir Iskandar MSc secara terpisah mengatakan, jumlah anggaran pembangunan tahun 2011 yang masuk ke Aceh sekitar Rp 25,1 triliun. Anggaran sebesar itu bersumber dari dana transfer langsung APBN ke rekening Aceh sebesar Rp 15,2 triliun (dana ini telah diserahkan Presiden SBY kepada Gubernur Aceh di Jakarta, 28 Desember lalu), kemudian DIPA APBN sebesar Rp 7,966 triliun. Selain itu, masih ada dana pinjaman hibah luar negeri sekitar Rp 1 triliun. Ini berasal dari JICA Jepang Rp 620 miliar dan dari Multidonor Fund (MDF) sebesar Rp 380 miliar.

Menurut Wagub, dana dari JICA akan dipergunakan untuk pembangunan jalan lintas tengah, sedangkan dari MDF untuk pembangunan jalan Calang-Meulaboh. Dengan jumlah dana yang masuk ke Aceh sebesar itu pada tahun 2011, Bappeda menargetkan ekonomi Aceh tahun depan tumbuh 5,5-6%. “Angka pertumbuhan ini kita targetkan di luar minyak dan gas,” kata Kepala Bappeda Aceh, Iskandar. Untuk lapangan kerja ditargetkan tumbuh 7%, sedangkan untuk angka kemiskinan diprediksi turun menjadi 19,2% pada tahun depan. “Target yang kami pasang itu, saya kira, tidak terlalu muluk, karena cukup realistis dengan kondisi anggaran yang akan masuk ke Aceh tahun depan,” demikian Iskandar. (sup)

Sumber : Serambinews.com

2010, Aceh diterjang 624 bencana

Friday, 31 December 2010 07:16

BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat 624 kali terjadi berbagai bencana di Provisi Aceh sepanjang 2010.

"Kami prihatin, 2010 ini merupakan tahun duka bagi masyarakat Aceh karena ditimpa bencana alam ratusan kali," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis (30/12).

Berdasarkan data yang dirangkum Walhi Aceh dari berbagai sumber, kata dia, bencana banjir terjadi banjir 250 kali. Kemudian konflik satwa 124 kali, abrasi pantai 97 kali, angin ribut 60, longsor 47 kali, kebakaran hutan 24 kali, dan 22 kali terjadi gempa bumi.

Ia mengatakan dari jumlah tersebut seolah-olah bencana alam yang menimpa rakyat Aceh terjadi tanpa akhir. Jika total bencana tersebut dirata-ratakan, maka dua kali sehari terjadi bencana alam.

Menurut dia, bencana tersebut dominan terjadi karena kerusakan ekologis akibat ulah manusia, seperti konvensi hutan maupun eksploitasi tambang yang tidak ramah lingkungan.

Ia menyebutkan konvensi lahan menjadi pertambangan maupun perkebunan telah menggerus 540,839 ribu hektare dari total 3,549 hektare luas hutan Aceh hingga 2010.

"Akibat konvensi hutan ini menyebabkan terjadi banjir bandang maupun tanah longsor. Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ini sudah tidak terhitung lagi," katanya.

TM Zulfikar menyebutkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh ada 105 izin pertambangan dengan luas lahan konsesi mencapai 484,5 ribu hektare.

Ironisnya, kata dia, lahan konsesi tersebut umumnya berada di kawasan hutan lindung, sehingga mengancam ekologi lingkungan karena akan terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran,

"Izin-izin tambang tersebut harus dihentikan. Selain mengancam ekologi, pertambangan juga telah melahirkan berbagai konflik sosial di tengah masyarakat. Apalagi sektor pertambangan belum mampu menggerakkan ekonomi masyarakat setempat," ketus TM Zulfikar.

Ia mengatakan, pembabatan hutan merupakan faktor penyebab terjadinya ratusan kali bencana alam. Kawasan hutan tidak mampu lagi menampung debit air hujan.

Akibat lainnya, kata dia, satwa liar kehilangan mata rantai makanan, sehingga hewan buas tersebut terpaksa merambah ke pemukiman penduduk mencari sumber penghidupan.

"Walhi mendesak pemerintah Aceh tegas soal kerusakan ekologis ini. Jika terus dibiarkan, rakyat Aceh menjadi sengsara karena bencana alam akibat ulah manusia," demikian TM Zulfikar.

Sumber : Waspada.co.id

2011, ekonomi Aceh bisa tumbuh 6%

Thursday, 30 December 2010 22:23

BANDA ACEH - Pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh diproyeksikan bisa mencapai enam persen pada 2011, kata Wakil Gubernur Muhammad Nazar di Banda Aceh, malam ini.

"Pertumbuhan ekonomi pada 2011 saya kira tidak berbeda dengan tahun ini (2010) yakni sekitar enam persen, namun proyeksi itu belum termasuk dari sektor minyak dan gas (migas)," katanya.

Hal itu disampaikan usai penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2011 kepada bupati/wali kota dan sejumlah instansi vertikal di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.

Aceh memperoleh DIPA sebesar Rp7,966 triliun pada 2011 dan proyeksi total anggaran pembangunan provinsi itu bisa mencapai Rp25 triliun.

Akan tetapi, Wagub menyebutkan pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III 2010 mencapai 6,2 persen atau melampaui target yang ditetapkan sebelumnya sebesar enam persen.

"Target besarnya pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen 2011 itu saya yakini bisa terpenuhi, karena semakin membaiknya infrastruktur publik dan situasi keamanan yang terus kondusif," katanya menambahkan.

Muhammad Nazar menyebutkan, target pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen itu juga akan tercapai karena Pemerintah Aceh terus mendorong tumbuhnya sektor agro seperti pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.

"Kami terus melakukan berbagai upaya dan strategi pembangunan ke depan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi melalui sektor agro tersebut," kata dia.

Karenanya, program pembangunan 2011 lebih dititik beratkan pada penguatan infrastruktur seperti industri prosesing berbagai komoditas pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.

"Saya mencontohkan, komoditas perkebunan berupa kemiri yang banyak di Aceh Besar dan Aceh Tenggara. Saat ini harga di tingkat lokal rendah, sementara di luar negeri relatif mahal. Karenanya, kita perlu membangun pabrik prosesing produk petani tersebut," kata Muhammad Nazar.

Sumber : Waspada.co.id

Investor ragu investasi di Aceh

Wednesday, 29 December 2010 17:10

ANDA ACEH - Pemerintah Aceh mengakui masih banyak investor yang ragu untuk berinvestasi di Aceh, terutama menyangkut situasi di lapangan. Masalah di lapangan inilah yang barangkali kurang terpantau, sehingga keraguan investor itu masih ada.

Gubernur Aceh melalui Kepala Badan Investasi dan Promosi, Anwar Muhammad, mengatakan ada beberapa kendala yang masih mengganjal terkait investasi ini, termasuk ketersediaan energi listrik.

“Selain itu, masih ada masalah lain seperti soal keamanan regulasi, pasar dan hal yang terkait mikro dan makro,” kata Anwar, sore ini seraya menyebutkan, saat ini regulasi investasi telah disusun sedemikian rupa, sehingga sangat menguntungkan semua pihak dalam berinvestasi.

Seperti tertera pada qanun No. 5 tahun 2009 tentang penanaman modal di Aceh. Qanun tersebut telah memberi jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi kalangan dunia usaha yang ingin mengembangkan bisnisnya di Aceh.

“Tapi harus diakui, jaminan dan kepastian hukum, tentu tidak cukup hanya lewat aturan di atas kertas, ada banyak langkah lain yang perlu dilaksanakan,” ungkap Anwar sembari menuturkan, fakta sekarang menunjukkan minat investor membuka usaha di Aceh sangat tinggi, saat ini 60 investor asing telah mendapat izin membuka usahanya.

Namun sebagian besar investor itu memang belum merealisasikan kegiatan usahanya dengan alasan bermacam-macam, salah satunya ragu melihat situasi di Aceh. Untuk mendapatkan informasi terhadap investasi di Aceh, dikatakannya, tim serasi dan USAID telah melakukan survey ke sejumlah daerah, dan hasil temuan akan didiskusikan kembali.

sumber : Waspada.co.id

Minggu, 02 Januari 2011

Indeks Pembangunan di Aceh Merosot ke Ranking 29

* Solusinya Perbesar Dana untuk Rakyat
Thu, Dec 23rd 2010, 09:26

BANDA ACEH - Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pasca-berakhirnya BRR NAD-Nias mengalami penurunan cukup dalam. Tahun 2007 saat lembaga tersebut masih melaksanakan kegiatannya, IPM Aceh naik dari 69,4 menjadi 71,3 sehingga berada di peringkat 13 nasional. Tetapi pada tahun 2008, IPM Aceh merosot kembali menjadi 67,1 dan berada di peringkat 29 nasional.

Deputy Country Director UNDP, Stephen Rodriques, didampingi sejumlah peneliti UNDP menjelaskan, penurunan tersebut terjadi karena menurunnya pendapatan per kapita masyarakat Aceh. Dari tahun 2007 sebesar Rp 2.351.000 menjadi Rp 559.100 pada tahun 2008. Penurunan itu sendiri terjadi karena jumlah uang yang beredar di masyarakat menurun drastis akibat berakhirnya program rehabilitasi dan rekontruksi.

“Angka IPM Aceh menurun. Faktor penyebabnya antara lain jumlah dana yang mengalir ke masyarakat pasca-berakhirnya BRR NAD-Nias telah berkurang, dan diikuti oleh menurunnya alokasi belanja publik dari APBK untuk masyarakat,” kata Stephen Rodriques, dalam acara konfrensi pers usai pembukaan acara Peluncuran Pembangunan Manusia Aceh 2010 di Hotel Hermes Palace, Rabu (22/12).

Menurut dia, pagu APBA Aceh tahun 2008 senilai Rp 8,5 triliun belum mampu mengimbangi besarnya dana yang bersumber dari BRR NAD-Nias, negara donor, dan NGO asing. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan terus berkurangnya alokasi belanja publik dalam APBK di sejumlah kabupaten/kota.

Stephen menyarankan, untuk membangkitkan IPM Aceh, alokasi belanja publik dalam APBK dan APBA harus diperbesar lagi, dan mengefisiensikan belanja aparatur. Selain itu, menghidupkan usaha formal dan informal dengan memperbesar bantuan modal usaha kepada masyarakat, agar ekonomi di pedesaan dan kecematan bisa berkembang lebih cepat lagi.

Meski demikian, dari sisi angka melek huruf, Stephen menyebutkan Aceh berada di atas nasional, mencapai 95,9 persen, sedangkan nasional baru 92,1 persen. Lama sekolah Aceh juga lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni 8,6, sementara nasional baru 7,6. Harapan hidup orang Aceh juga sudah tinggi, telah mencapai 68,5, hampir mendekati rata-rata nasional 69.

“Ini artinya, pada satu bidang Aceh melampui nasional, di bidang lainnya ada yang masih rendah,” ujarnya. Sementara itu, Gubernur Irwandi Yusuf dalam pidatonya yang dibacakan Sekda Aceh, T Setia Budi mengatakan, Pemerintah Aceh sangat optimis, IPM Aceh akan naik lagi pada tahun 2009 dan 2010, dengan adanya alokasi dana PNPM dari sumber APBN dan dana BKPG dari sumber APBA.

Sasaran dari kedua program itu, kata Sekda Aceh, adalah masyarakat pedesaan. Saran dari UNDP akan implementasikan melalui program pro rakyat, melalui program JKA, PNPM, BKPG, ADG, penyaluran bantuan bibit padi, jagung, kedelai dan benur ikan dan lainnya kepada petani dan nelayan bersama prasarana produksinya, akan mendorong pendapatan perkapita masyarakat yang tadinya telah menurun.

“Saat ini harga beras terus bergerak naik, akan mendorong harga gabah patani ikut naik dan ini akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat tani di Aceh yang jumlahnya mencapai 60 persen dari total penduduk 4,4 juta jiwa,” ujar Setia Budi.(her)

Sumber : Serambinews.com

RPJP Aceh Jadi Model di Indonesia

Wed, Dec 22nd 2010, 16:18

BANDA ACEH - Kasubdit Perencanaan Wilayah Sumatera Direktorat Jenderal Bina Pembangungan Daerah Kemendagri, Ir. Bachril Bakri, M. App. Sc menyatakan, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh 2005-2025 merupakan pertama di Indonesia yang sesuai dengan Permendagri No 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Karenanya, RPJP Aceh ini akan menjadi model bagi daerah lainnya di Indonesia.

Kepala Bappeda Aceh, Ir Iskandar MSc melalui surat elektronik kepada Serambi Senin (20/12) malam mengatakan, pernyataan tersebut disampaikan Bachril Bakri dalam rapat konsultasi RPJP Aceh 2005-2025 di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jumat (17/12). Rapat Konsultasi Pemerintah Aceh dengan Kementerian Dalam Negeri ini dihadiri oleh Tim Penyusunan RPJP Aceh dan beberapa perwakilan direktorat di lingkup Kementerian Dalam Negeri.

Lebih lanjut Bachril menjelaskan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 2010 mengatur bahwa RPJPD harus memuat sejumlah aspek, fokus, dan indikator kinerja menurut bidang urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi. Sebagai contoh dalam dokumen RPJP harus menggambarkan secara kuantitatif aspek kesejahteraan masyarakat seperti indikator pemerataan pendapatan dan ketimpangan wilayah yang diukur dengan Indeks Gini dan Indeks Williamson.

Kementerian Dalam Negeri juga memberikan penghargaan atas kerja keras Pemerintah Aceh yang dalam waktu singkat berhasil melakukan penyesuaian rancangan akhir RPJP Aceh dengan Permendagri No.54 tahun 2010, mengingat Permendagri ini baru ditetapkan pada tanggal 21 Oktober 2010.

Kepala Bappeda Aceh, Iskandar MSc menyampaikan bahwa rancangan akhir RPJP Aceh ini telah melalui konsultasi publik untuk menghimpun masukan-masukan dari semua elemen masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder). Selanjutnya rancangan tersebut dikonsultasikan dengan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan amanah pasal 33 ayat (1) Permendagri No. 54 Tahun 2010 yang menyebutkan Gubernur mengkonsultasikan Rancangan Akhir RPJPD Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.

Kemudian lebih lanjut pada pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil konsultasi berupa saran penyempurnaan Rancangan RPJPD kepada Gubenur untuk ditindaklanjuti paling lama 10 hari kerja setelah konsultasi dilakukan.

Ir Bachril mengharapkan hasil konsultasi RPJP Aceh ini akan menjadi rekomendasi sebagai bahan pertimbangan DPRA dalam proses pengesahan Qanun RPJP Aceh 2005-2025, demikian Kepala Bappeda Aceh, Iskandar MSc.(nal)

sumber : Serambinews.com