Senin, 27 Juni 2011

Singkil-Trumon, Bencana Masa Depan?

Thu, May 5th 2011, 08:09

OPINI ini ditulis untuk menjawab pendapat Sadri Ondang Jaya (Serambi, 27/4) yang menyatakan pecinta lingkungan menghalang-halangi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dengan menghalangi pembangunan jalan yang akan menghubungkan Singkil-Trumon, serta menuduh “pahlawan” lingkungan bertujuan agar potensi sumber daya alam tidak pernah dinikmati rakyat.

Pembangunan ruas jalan Singkil-Trumon, jika tidak ditangani dengan bijak dapat menjadi awal dari bencana “alam” yang sangat mungkin terjadi di masa depan. Pertama, topography area yang akan dilalui jalan tersebut mengikuti garis pantai bersisian dengan rawa gambut, jika dibangun dalam jarak dekat dengan garis pantai risiko yang harus dipertimbangkan termasuk abrasi dan tinggi air pasang. Jika jalan dibangun lebih jauh inland, risiko yang harus dipertimbangkan adalah struktur gambut yang menjadi fondasi.

Jenis hutan rawa gambut merupakan areal hutan basah yang menyimpan banyak air, sehingga struktur tanah gambut juga mengharuskan jalan yang akan dibangun menggunakan teknologi khusus. Dalam kedua skenario, jalan yang akan dibangun mempunyai risiko berumur pendek (karena abrasi, erosi, ataupun amblas kedalam rawa). Jika yang akan dibangun hanya jalan konvensional seperti yang selama ini dibangun, pertanyaannya adalah apakah jalan yang akan dibangun akan tahan amblas? Apakah biaya yang nantinya akan dikeluarkan untuk pembangunan dan perawatan jalan ini sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan?

Kedua, dalam pembangunan jalan konvensional, salah satu hal yang tidak dapat dielakkan adalah penebangan hutan sepanjang jalan yang direncanakan. Sekadar pengingat, Aceh Singkil dan Aceh Selatan merupakan daerah yang rawan bencana banjir. Pada bulan Februari 2011 yang lalu puluhan keluarga di Bulusema menjadi korban bencana banjir bandang.

Interaksi alam adalah interaksi yang sangat kompleks, penebangan hutan di suatu daerah dapat berakibat banjir dan kekeringan di daerah lain yang berdekatan. Seringkali, ketika berbicara tentang pembangunan jalan untuk memajukan ekonomi masyarakat, kalkulasi “kemajuan ekonomi” menggunakan perhitungan yang tidak lengkap.

Faktor-faktor yang dapat menjadi ancaman kemajuan ekonomi (seperti intensitas bencana banjir, kekeringan, dsb) tidak dihitung dalam perencanaan proyek dan faktor-faktor yang mendukung kemajuan ekonomi seperti terlindungnya sumber air juga sering diabaikan.

Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh pembangunan jalan yang melintasi kawasan lindung, bisa jadi hanyalah kemajuan ekonomi semu, seolah-olah maju tapi dampak ke depannya justru kerugian besar. Banjir merupakan bencana yang semakin rutin terjadi di daerah Aceh Singkil dan Aceh Selatan, dan kerusakan ekonomi yang dihasilkan oleh bencana banjir tidak hanya meliputi kerusakan infrastruktur dan kehilangan harta benda, bukan tidak mungkin juga merenggut nyawa manusia.

Ketiga, pembukaan jalan tidak dapat dipungkiri akan memberikan akses untuk para pembalak liar. Penulis tidak akan berdebat tentang kearifan lokal masyarakat Singkil yang mungkin telah hidup harmoni dengan alam dan menjaga hutan secara turun-temurun, yang penulis tanyakan adalah kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk menjaga hutan ketika tekanan-tekanan besar dari pembalak liar menjadi semakin sulit dibendung.

Keempat, pada opini sebelumnya, disebutkan saran untuk membangun jalan hanya selebar 4,5-6 meter dengan pagar di sisi-sisi jalan agar masyarakat tidak merambah hutan. Disayangkan, saran ini tidak mempertimbangkan tingginya intensitas konflik satwa liar yang terjadi di wilayah Aceh Singkil. Pagar yang dibangun sepanjang jalan akan secara langsung membatasi pergerakan satwa liar, yang pada akhirnya akan meningkatkan intensitas konflik satwa dengan masyarakat. Seringkali para pendukung pembangunan jalan menuduh “pecinta lingkungan” lebih mementingkan kesejahteraan satwa dari kesejahteraan masyarakat, sebuah pendapat yang sangat salah dikarenakan kehancuran hutan dan terusiknya satwa liar pada akhirnya akan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Kelima, penulis ingin mengingatkan masyarakat tentang sejarah jalan Jeuram-Takengon, yang dalam masa perencanaan telah menerima tentangan dari WALHI melalui gugatan yang disampaikan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh yang ditolak pada pertengahan 2004. WALHI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang juga ditolak melalui Surat Keputusan MK nomor 1343K/pdt/2007 tanggal 12 Agustus 2008. Tentangan pembangunan jalan dilakukan karena potensi kerusakan yang ditimbulkan, namun demikian pembangunan tetap saja dilaksanakan. Pada akhirnya, dalam waktu beberapa bulan terakhir semakin sering terdengar kabar longsor di ruas jalan Jeuram - Takengon tersebut (Serambi Indonesia, 13/4). Longsor yang terjadi menyebabkan jalan terputus, bahkan menjebak beberapa pengguna jalan. Sangat disayangkan jika tidak ada pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini.

Keenam, Undang-undang yang telah ada secara jelas melarang dibangunnya jalan ini status lahan di wilayah yang akan dilalui oleh rute yang direncanakan ini merupakan suaka margasatwa. Undang-undang no.5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melarang kegiatan-kegiatan yang mengubah bentang alam kawasan, yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Status ini juga dipertegas lagi dengan penetapan Kawasan Ekosistem Leuseur (KEL) sebagai kawasan strategis nasional dalam UU no.27/2007 dan PP no.26/2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Pembangunan jalan konvensional akan seara terang-terangan mengubah bentang alam dan hal tersebut melanggar hukum yang berlaku.

Di dalam PP No. 27/1999 tentang AMDAL disebutkan bahwa prinsip untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan terhadap sebuah rencana Kegiatan ditentukan oleh besarnya dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan tersebut. Jika ternyata dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pembangunan sebuah jalan lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya dan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia serta biaya penanggulangan dampak penting negatif lebih besar dari pada dampak positif penting yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan jalan tersebut, maka kegiatan yang bersangkutan dinyatakan tidak layak lingkungan.

Semua pihak mungkin perlu menilik kemungkinan-kemungkinan lain dalam mencari solusi untuk masyarakat yang tinggal dalam kawasan rawa Singkil, merujuk pada kearifan tradisional masyarakat Aceh yang diingatkan kembali oleh Sayed Mudhahar, mantan Bupati Aceh Selatan “Ketika seorang jatuh ke sungai dan sedang dalam bahaya tenggelam, apakah kita menguras sungai atau kita hanya menarik dia keluar?” Mungkin ada baiknya pertimbangan untuk merelokasi penduduk dimasukkan dalam kemungkinan solusi jangka panjang, demi kesejahteraan dan keamanan penduduk itu sendiri. Solusi ini bukan jenis solusi cèt langèt yang tidak mungkin dilakukan, Leuser Development Program (LDP) dan Leuser International Foundation (LIF) pernah berhasil berdialog dengan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk pindah secara sukarela dari Naca (yang merupakan bagian dari koridor satwa antara rawa Singkil dan bengkung basin), tentu dengan kompensasi yang seimbang. Bukan tidak mungkin solusi yang mirip dapat ditawarkan pada masyarakat yang tinggal di sepanjang kawasan lindung di mana jalan akan dibangun.

Ada yang berkata pihak-pihak yang menentang pembangunan jalan adalah pihak-pihak yang bertujuan agar rakyat tetap miskin, kerdil, dan lemah. Opini ini seperti meremehkan kemampuan rakyat Aceh untuk maju tanpa harus mengorbankan hutan. Aceh punya potensi besar untuk menjadi seperti Jepang, yang berkomitmen untuk menjaga areal hutannya. Karena mereka menyadari hutan merupakan sumber air termurah dan juga sumber penghidupan, ketika komitment untuk menjaga hutan itu ditetapkan, masyarakat Jepang dipaksa untuk kreatif dalam membangun wilayahnya, dorongan dan batasan itulah yang membawa masyarakat Jepang untuk maju.

Aceh masih memiliki persentase tutupan hutan yang cukup besar, sama halnya dengan Jepang, yang menjadi pertanyaan apakah kita akan membawa diri kita semaju Jepang, atau tereksploitasi seperti Papua?

* Penulis adalah alumnus University of Queensland, jurusan Manajemen Lingkungan.

Sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar