Senin, 27 Juni 2011

Membumikan Tafsir Ekologi

Fri, May 6th 2011, 08:21

Zoelhelmy -
BENCANA banjir bandang yang melanda Tangse, Pidie 10 Maret 2011 lalu tidak cukup jika hanya ditanggapi dari perspektif teologis saja sebagai ujian Tuhan semata. Cara pandang seperti ini akan cenderung membuat manusia pasrah dalam menyikapi masalah ini.

Sehingga mereka tidak akan pernah menyadari bahwa bencana yang menimpa ini tidak terlepas dari kesalahan manusia sendiri yang terlalu tamak dalam mengeksploitasi alam.

Pengeksploitasian alam secara sporadis seperti ini tak lain tak bukan merupakan “efek samping” dari legitimasi teologis yang menyatakan manusia sebagai “pemilik sah” alam ini. Dalam Alquran misalnya, tak kurang enam belas kali disebutkan bahwa alam beserta seluruh isinya telah ditundukkan (oleh Allah swt) untuk kepentingan manusia. Misalnya dalam Q.S. Ibrahim: 32-33 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan hujan dari langit, dan dengan air hujan tersebut Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk manusia, dan seterusnya pada ayat-ayat lain.

Di sisi lain, Alquran juga mengisyaratkan bahwa manusia juga menjadi penyebab utama kerusakan di muka bumi. Q.S. Ar-rum: 41 misalnya, menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri. Dalam memahami kedua statement Alquran ini berlakulah kaidah tafsir al-Qur’anu yufassiru ba‘duhum ba‘dan (Alquran saling menafsirkan satu (ayat) sama lain), artinya meskipun manusia diposisikan sebagai khalifah fi al-ard? yang memiliki kuasa penuh atas alam yang diberikan Tuhan kepada mereka, tetapi mereka juga harus bersikap proporsional dalam mengeksploitasi agar tidak terjadi kerusakan alam.

Sejauh ini, paradigma yang berkembang di masyarakat secara umum dalam menyikapi relasi antara manusia dengan alam adalah paradigma antroposentris, dalam artian manusia sebagai pemegang kendali penuh terhadap alam. Asumsi seperti ini akan berakibat kepada penempatan manusia sebagai raja yang sah untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan alam berdasarkan untung rugi untuk kepentingan manusia saja. Antroposentrisme yang salah kaprah seperti ini akan melahirkan konsep ekologi yang arogan, penuh kapitalistik, serakah dan membawa kepada kehancuran lingkungan. Dampak konkretnya yang dapat dilihat tidak hanya banjir bandang, tetapi juga termasuk polusi udara, menipisnya lapisan ozon, radiasi nuklir, banjir limbah industri dan polusi-polusi lain yang menimbulkan beragam penyakit merupakan akibat dari kerusakan ekosistem yang lahir dari tidak adanya kearifan manusia untuk menjaga lingkungan.

Etika antroposentrisme pada dasarnya merupakan pelengkap dari ekologi yang dilahirkan dengan watak sekuler, etika iptek nonreligi ini dianggap wajar karena memang berkembangnya di Barat, sebuah kawasan yang mengatur urusan keduniaan terpisah dari urusan agama. Oleh karena itu wilayah dunia dianggap sebagai wilayah tak bertuan yang harus ditundukkan, dieksploitasi dan digali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan masa depan manusia di dunia.

Dalam suasana seperti ini kita dituntut untuk bisa melahirkan penafsiran baru tentang bagaimana hubungan antara manusia dengan lingkungan yang harmonis, tanpa harus memaksakan teks yang berbicara. Di sinilah letak peran akal manusia dalam menganalisis ayat-ayat kauniah Tuhan untuk melahirkan sebuah konsep baru tentang hubungan manusia dengan lingkungan disertai terobosan dan solusi alternatif terhadap problematika lingkungan hidup yang terjadi kini.

Penafsiran berbasis lingkungan hidup (tafsir ekologi) sering diartikan sebagai sikap masyarakat teologi (umat beragama) terhadap lingkungannya. Paradigma tafsir ini memosisikan alam bukan sepenuhnya hanya sebagai objek eksploitasi manusia. Alam diberdayakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan manusia, tanpa mengurangi tingkat kelestariannya. Kesejahteraan tidak hanya berkaitan dengan faktor ekonomi semata, akan tetapi lebih kepada konsep pembangunan yang selaras dengan kelestarian lingkungan hidup. Hingga pada akhirnya penafsiran ini akan menciptakan hubungan yang menempatkan manusia diciptakan untuk alam dan alam diciptakan untuk manusia.

Dengan konsep tafsir ekologi ini diharapkan manusia bisa lebih bijaksana dalam memperlakukan alam, perusakan alam yang terjadi akibat eksploitasi yang tanpa mempertimbangkan hak-hak alam hanya akan menjadi beban sosial yang harus ditanggung masyarakat karena keserakahan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semoga apa yang telah menimpa masyarakat Aceh-Tangse khususnya-bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua baik secara vertikal antara manusia dengan Tuhan maupun secara horizontal antara sesama manusia maupun lingkungan.

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sumber : Serambinews.com

1 komentar: