Kamis, 30 Desember 2010

Mimpi 40 Juta Ton dan Momok Tata Ruang

* Sebuah Catatan dari IPOC Nusa Dua Bali (habis)

Fri, Dec 17th 2010, 13:59

DENGAN moto pro growth pro job and pro environment sebagai karakter bisnis sawit Indonesia, negeri ini mencanangkan produksi minyak sawit mentah atau CPO pada level angka 40 juta ton per tahun pada tahun 2020. Dengan taksiran luas areal sekitar 11 juta hektar lebih--perkiraan produksi 3,6 ton/hektar--dari areal saat ini yang hanya dalam kisaran 7 juta hektar.

Untuk mendukung itu pemerintah akan membentuk tiga cluster sawit nasional, masing masing di Kaltim, Sumut dan Riau. Sistem cluster itu nantinya akan melibatkan industri sawit secara terpadu, mulai dari hulu hingga hilir, dengan berbagai faktor pendukung, seperti inpra dan supra struktur. “Dengan konsep ini diharapkan sawit Indonesia akan semakin mampu bersaing, dan prospeknya makin baik,” ujar Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurti, di depan 1000 lebih peserta Konferensi Sawit Indonesia, di Nusa Dua Bali, awal bulan ini.

Saat ini komposisi bisnis sawit Indonesia dikuasai oleh swasta besar 45 persen, small holder 42 persen serta selebihnya oleh PTPN. Sektor sawit itu sendiri mampu menyerap 1,5 juta kesempatan kerja, dan itu terus bertambah seiring revitalisasi perkebunan sawit dan pembukaan lahan baru.

Menurut Bayu, konsep sawit terhitung jauh lebih ramah lingkungan dibanding dengan soybean atau kedelai, karena sawit adalah green new colour industry yang 25 tahun sekali baru direcicle. Bandingkan dengan kedelai yang terus direcicle areal setiap panen yang hanya tiga bulanan.

Karenanya Bayu mengingatkan pihak luar bahwa Indonesia punya kedaulatan tersendiri untuk pengelolaan hutannya demi kesejahteraan warga sendiri.

Namun pada sisi lain Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Ir Joko Supriyono juga mengingatkan pemerintah, bahwa proyeksi 40 juta ton CPO pada tahun 2020 itu bisa jadi terlalu optimistis, dibanding dengan nasib ketidakpastian usaha bisnis sawit itu sendiri saat ini.

Padahal katanya, pertumbuhan pasar CPO dunia setiap tahunnnya berada dalam kisaran 5-7 persen atau sekitar 5 juta ton pertahunnya. Dengan fenomena tersebut, seharusnya ekspansi areal terus dilakukan.

Akan tetapi justru terjadi sebaliknya pada trend ekstensifikasi kelapa sawit. “Dua tahun terakhir, trend perkembangan areal sawit bisa dikatakan slow down. Semua itu karena belum ada kepastian dalam Tata Ruang Nasional,” ujar Joko, di sela-sela break IPOC Nusa Dua.

Saat ini investor kelapa sawit sedang menunggu tata ruang nasional untuk kepastian hukum status lahan. Kasus konsesi lahan bermasalah, muncul karena ketidakserasian pusat dan daerah dalam penataan ruang.

Belum lagi dengan disharmonisasi komunikasi antara propinsi dengan kabupaten/kota, yang juga membuat investor perlu ekstra hati hati. “Kasus 900.000 hektar areal kelapa sawit yang dispute di Kalteng, semata-mata karena kesalahan dalam penetapan Tata Ruang. Padahal areal sawit itu telah berpuluh tahun ditanam, namun belakangan diklaim sebagai hutan lindung. Ini pelajaran berharga,” tutur Joko yang pada kesempatan lain juga diungkapkan oleh Ketua Gapki, Joefly Bahroeny.

Konsep regulasi tata ruang wilayah yang paradoks antara daerah dengan pusat, juga membuat investor sawit berpikir tujuh kali untuk melakukan ekspansi areal. Hal lain adalah koordinasi lintas departemen yang juga bisa memicu ketidakpastian lainnya.

Saat ini pemerintah belum menuntaskan Tata Ruang Nasional, hingga tidak diketahui secara pasti koridor areal garapan secara nasional. Ketidakpastian tata ruang itulah yang membuat pertumbuhan bisnis kelapa sawit yang diharapkan berdiri di garda depan untuk pengentasan kemiskinan, justru nyaris stagnan dalam dua tahun terakhir. Jika sebelumnya bisa mencapai 500.000 hektar per tahun, dalam dua tahun terakhir hanya 250.000 hekter setiap tahun, itupun dengan susah payah.

Bahkan dengan balutan nada pesimis Sekjen Gapki Joko Supriyono memprediksi untuk empat tahun ke depan ekspansi areal kelapa sawit Indonesia terus dalam kondisi down.

Finishing tata ruang nasional juga diperburuk dengan beberapa provinsi yang potensial dikembangkan sawit, seperti Riau dan Sumut yang belum melakukan pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), seperti diakui sebelumnya oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.

Di sisi lain investor kelapa sawit makin kelimpungan ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan. Dalam kondisi itu ekspansi areal akan makin sulit. Dengan segala handicap yang berkaitan dengan regulasi tersebut, seharusnya pemerintah menyadari target 40 juta ton produk CPO tahun 2020 itu bisa jadi hanya utopia belaka.(nurdinsyam)

sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar