Selasa, 26 Juli 2011

Moratorium Lahan dan Kegelisahan Petani

Mon, May 23rd 2011, 09:43
Dari Workshop Prospek Industri Sawit

PENGANTAR - Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang berlaku mulai tahun ini, dikhawatirkan menutup ruang bagi perusahaan perkebunan untuk memperoleh lahan sawit. Khawatir akan hal itu, PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk menggelar Workshop Wartawan se-Indonesia dengan tema “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan di Jakarta, 18-19 Mei 2011. Harian Serambi mengirim Misbahuddin dalam workshop itu dan berikut ini reportasenya.

BERBICARA masalah perkebunan kelapa sawit, yang terbayang di benak kita biasanya persoalan lahan. Apakah soal sengketa, ganti rugi, bahkan soal tumpang tindih kepemilikan lahan. Itu karena, untuk membuka kebun sawit dibutuhkan lahan yang luas dan memadai. Tak jarang ketika ada perusahaan swasta yang ingin membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit, senantiasa muncul kegelisahan di kalangan masyarakat.

Kelapa sawit telah memberi harapan besar kepada masyarakat tani, sehingga hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh terlihat hamparan kebun sawit yang subur. Kegelisahan bahkan penolakan masyarakat atas hadirnya perusahaan sawit di suatu daerah, acap memicu sengketa lahan antara masyarakat versus perusahaan sawit. Biasanya rakyat senantiasa menjadi pecundang, karena rata-rata tak memiliki bukti hak milik atau izin garap.

Namun, kali ini bukan hanya masyarakat yang resah, tapi juga perusahaan-perusahaan besar yang menanam investasi di bidang industri kelapa sawit. Lahirnya Perpres tentang Moratorium Lahan yang mulai berlaku tahun ini, justru akan menutup ruang bagi perusahaan untuk memperoleh lahan sawit. Dalam acara Workshop Wartawan se-Indonesia yang bertajuk “Potret dan Prospek Industri Kepala Sawit” yang dilaksanakan PT Astra Agro Lestari (PT AAL) Tbk di Jakarta pada 18-19 Mei 2011 lalu, terungkap persoalan sulitnya memperoleh lahan bagi perusahaan industri sawit.

Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Joko Supriyono, dalam pertemuan itu menyinggung soal moratorium lahan yang telah ditandatangani Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu. Katanya, kebijakan pemerintah itu sungguh akan merugikan masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit. Bahkan Joko Supriyono yang juga Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kepada Serambi yang mewawancarainya seusai workshop itu menambahkan,

kebijakan moratorium membuat kepastian berusaha di industri sawit makin tidak jelas, sehingga dikhawatirkan memicu ekspansi di sektor ini menjadi terhenti dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Dia tambahkan, industri sawit memiliki peran yang besar terhadap pembangunan nasional dan 40 persen dari perkebunan sawit yang ada merupakan kebun rakyat. Saat ini, perkebunan dan industri kelapa sawit memberikan penghidupan bagi sekitar 2,8 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia.

“Tapi sekarang sudah tidak pasti. Dengan adanya moratorium lahan, yang pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” katanya. Gapki, tambah Joko, meminta peraturan moratorium tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak mengorbankan pengembangan sawit nasional.

“Dengan kita tidak bisa ekspansi, maka kehilangan kesempatan untuk membangun, artinya poverty alleviation (upaya mengurangi kemiskinan -red) bisa terganggu. Maka biaya yang harus ditanggung akan lebih mahal. Selain itu, kalau semua berekspansi (minyak nabati), lalu sawit terhalang ekspansinya, ini kan tidak fair,” tegasnya.

Menurut Joko, Peraturan Presiden mengenai kebijakan moratorium lahan itu tidak sinkron dengan letter of intent (LoI) Indonesia kepada Pemerintah Norwegia mengenai skema pengurangan emisi dari deforestasi.

Ditegaskan juga, draf perpres moratorium itu hanya akan memberikan efek negatif terhadap industri sawit. Pelaksanaan moratorium konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun merupakan salah satu bentuk kerja sama Indonesia dan Norwegia yang telah disepakati dengan ditandatanganinya letter of intent antara kedua belah pihak.

Dalam dokumen LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia yang ditandatangani 26 Mei 2010 lalu itu, kata Joko, penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun, dimulai tahun 2011.

Dalam dokumen LoI tersebut juga diatur item peluncuran program uji coba REDD plus provinsi (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai tahun ini, kemudian dilanjutkan dengan uji coba REDD plus untuk provinsi kedua pada 2012. Mulai tahun ini juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh Pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.

Penundaan izin ini berlaku hingga lima tahun dan dikenakan tidak hanya bagi pembukaan lahan baru, tapi izin yang sudah ada juga bisa ditinjau kembali. Pelaku usaha sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk memberikan masukan agar Perpres tentang Moratorium Lahan tidak terlalu merugikan industri sawit di dalam negeri.

Dalam diskusi itu juga berkembang, bila pemerintah tetap menjalankan aturan ini, maka pelaku industri harus meyakinkan pemerintah agar menerapkan standar nasional dan standar sustainable palm oil sebagai acuan pengolahan sawit. Pelaku usaha dan petani sawit rakyat di lapangan harus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitasnya supaya bisa mencapai 40 ton per hektare.

Begitupun, Direktur PT AAL itu juga mengakui tidak ada masalah dengan moratorium logging yang diprogramkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sejak 2007. Sebab, program Gubernur Aceh itu hanya bersifat jeda bagi penebangan kayu. Namun, selama ini pihak PT AAL juga sangat hati-hati dalam membuka lahan baru di Aceh ataupun dalam pengalihan lahan.

Menurut Ir M Basyir Hasan, Community Development Area Manager Andalas I PT AAL, kehati-hatian perusahaan dalam memproleh lahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih pembayaran. Apalagi, jika lahan yang akan diperoleh itu merupakan lahan dari perusahaan lain. (misbahuddin)

Sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar