Rabu, 02 Februari 2011

Masyarakat belum Rasakan Manfaat KEL

* Terjadi Kerancuan dalam Pengelolaan
Fri, Jan 14th 2011, 10:03

JAKARTA - Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menyumbang 600 juta dolar AS atau Rp 6 triliun per tahun dalam bentuk pelestarian lingkungan, termasuk tangkapan karbon, penyediaan air, maupun pelestarian flora dan fauna. Hanya saja manfaat tersebut tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Karena itu perlu dirumuskan kebijakan pemberian dana konpensasi kepada masyarakat yang mendiami sekitar KEL.

Demikian laporan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh uang disampaikan juru bicara DR Ahmad Farhan Hamid, MS dalam Sidang Paripurna DPD, Rabu (12/1).

Daerah dan masyarakat yang mendiami kawasan tengah/pedalaman Aceh berkewajiban menjaga dan memelihara hutan baik sebagai tanggung jawab sosial, maupun sebagai konsekuensi peraturan perundang-undangan yang ada. “Sejauh ini belum ada kebijakan khusus imbal jasa kehutanan baik dalam hitungan manfaat terhadap lingkungan, penyediaan air, maupun pelestarian flora fauna yang semakin langka,” katanya.

Ia juga menyampaikan adanya “kerancuan” dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, baik keberadaan lembaga, maupun pola koordinasi, termasuk dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pusat Kementerian Kehutanan.

Organisasi dan lembaga penglola KEL terdiri dari Yayaysan Leuser Internasional mendapat donasi dari Kementerian Kehutanan dan dari New Zealand AID, UPT Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan dana APBN, Yayasan Ekosistem Leuser mendapat donasi melalui kerja sama dengan Kementerian Kehutanan, dan BPKEL mendapat dana APBA.

“Ke depan, perlu dilakukan konsolidasi baik organisasi, maupun pendanaan agar pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser mencapai hasil yang optimal dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar,” kata Farhan Hamid.

Pada waktu ini, lanjut Farhan Hamid, selain Balai Besar Taman Nasional Guneung Leuser, terdapat beberapa unit pelaksana teknis (UPT-Pusat) Kementerian Kehutanan yaitu, BKSDA, BPDAS, dan BP2HP yang baik langsung maupun tidak langsung mempunyai lokasi kegiatan di Kawasan Ekosistem Leuser.

Anggota DPD asal Aceh lainnya, Ir Mursyid bahkan menyatakan sebaiknya yayasan dan lembaga itu dibubarkan saja, karena tidak memberi dampak langsung kepada masyarakat sekitar KEL. “Kami mendapat banyak laporan bahwa masyarakat tidak menerima manfaat apapund ari kehadiran organisasi-organisasi itu,” tukas Mursyid.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), merupakan pengembangan dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1998, Pemerintah bekerjasama dengan Yayasan Louser Internasional untuk melaksanakan pengelolaan KEL yang luasnya mencapai 1.790.000 Ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190 Tahun 2001, luas Kawasan Ekosistem Leuser (termasuk Area Penggunaan Lain, APL) menjadi 2.255.257 Ha.

Dalam rangka implementasi Pasal 150 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh melalui Paraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 52 Tahun 2006, membentuk BPKEL, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, sebuah badan non struktural di lingkungan Pemerintah Aceh.

HTI tak Aktif
Dalam kesempatan itu juga disampaikan bahwa di Aceh terdapat 10 perusahaan pemegang Izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 8 perusahaan pemegang Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tersebar di seluruh Aceh. “Dari jumlah tersebut hanya dua perusahaan pemegang Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang aktif, sementara lainnya tidak aktif. Sebahagian besar izin telah dikeluarkan tahun 1990an dan beberapa diantaranya berlaku sampai tahun 2053,” kata Farhan Hamid.

Namun di sisi lain, lanjut Farhan Hamid, rakyat kebanyakan memerlukan lahan untuk mengembangkan perekonomiannya melalui usaha kehutanan dan perkebunan. Ironinya, pemasukan dana untuk pemerintah daerah dari sektor kehutanan sangat kecil, sebagai contoh, selama 6 tahun, yaitu dari tahun 2005-2010, pemasukan daerah lebih kurang lebih hanya 3,5 miliar rupiah saja.

Kawasan hutan Aceh saat ini seluas 3,5 juta Ha, termasuk di dalamnya hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi dari total kawasan daratan Aceh seluas 5,3 juta Ha.(fik)

Sumber : Serambinews.com

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus