Senin, 27 Juni 2011

RTRW di Aceh Harus Selesai Desember

Fri, May 6th 2011, 09:53

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di seluruh Aceh tampaknya harus memacu lagi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pasalnya, hingga April 2011, ternyata belum ada satu pun daerah yang telah merampungkan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal, jika RTRW tidak selesai hingga berakhirnya bulan Desember 2011, maka pemerintah pusat akan memotong dana untuk pembangunan infrastruktur.

Hal itu diungkap anggota Komisi V DPR-RI Daerah Pemilihan Aceh, Ir Nova Iriansyah MT kepada Serambi usai memberi materi pada sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR-RI di Gedung IT Learning Center Banda Aceh, Kamis (5/4).

“Diharapkan paling telat Desember 2011, RTRW Aceh dan kabupaten/kota di Aceh sudah selesai semua. Baru empat kabupaten di Aceh yang mengajukan RTRW ke pusat, yaitu Aceh Utara, Singkil, Bener Meriah, dan Aceh Besar. Tapi itu juga belum ada rekomendasi dari Gubernur Aceh, karena terjadi perbedaan luas hutan Aceh diajukan Gubernur dengan Menteri Kehutanan,” kata Nova.

Menurut Nova, luas hutan Aceh diajukan Gubernur terjadi selisih hingga satu juta hektare dibanding yang diajukan Menteri Kehutanan, sehingga selisih itu belum bisa diterima di pusat. Karena itu, Nova mengatakan dirinya akan membicarakan hal itu dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf agar perbedaan itu bisa diselesaikan guna memperlancar penyusunan RTRW Aceh dan RTRW kabupaten/kota di provinsi ini.

“Kami juga berharap Gubernur, DPRA, bupati, dan wali kota di Aceh mendukung penyelesaian RTRW ini. Apalagi anggaran dari APBN 2011 untuk RTRW sudah ada, yaitu Rp 5 miliar untuk kabupaten/kota, dan mungkin Rp 10 miliar untuk RTRW provinsi. Kalau anggaran ini tidak terserap, tentu timbul tanda tanya. Dan tahun 2012 belum tentu diplotkan lagi untuk kebutuhan ini,” jelas Nova.

Nova juga menyampaikan kekhawatirannya jika RTRW itu tidak rampung hingga lewat Desember 2011, maka dana APBN untuk infrastruktur di Aceh, baik untuk pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan dipotong. Karena itu politisi Partai Demokrat itu menegaskan penyelesaian RTRW itu jangan dilambat-lambatkan, sebagai perbandingan Jawa Timur sudah selesai RTRW 80 persen.

Seperti diketahui, sesuai UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, setiap provinsi dan kabupaten/kota perlu menyusun RTRW sebagai dasar pelaksanaan pembangunan. Maksimal untuk 10 tahun dan harus dievaluasi setiap 5 tahun perencanaan.

Sosialisasi UUD
Kemarin Nova tampil sebagai pemateri dalam kapasitasnya sebagai anggota MPR-RI pada Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR-RI. Menurutnya, hal itu semua perlu disosialisasi karena UUD 1945 sudah diubah untuk keempat kali, seperti reformasi sistem peradilan, pemisahan antara TNI/Polri dan lain-lain.

Sosialisasi itu diikuti pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Demokrat Aceh, pengurus DPC Demokrat kabupaten/kota di Aceh, pengurus DPAC Demokrat, dan pengurus ranting demokrat se-Aceh. Mereka semua diharap dapat memberikan pemahaman itu kepada masyarakat. Sosialisasi itu dibuka Ketua Umum DPD Demokrat Aceh, Mawardy Nurdin yang juga Wali Kota Banda Aceh. Sedangkan yang menjadi moderator Ketua DPRK Banda Aceh, sekaligus Ketua DPC Demokrat Banda Aceh, Yudi Kurnia SE. (sal)

Sumber : Serambinews.com

Membumikan Tafsir Ekologi

Fri, May 6th 2011, 08:21

Zoelhelmy -
BENCANA banjir bandang yang melanda Tangse, Pidie 10 Maret 2011 lalu tidak cukup jika hanya ditanggapi dari perspektif teologis saja sebagai ujian Tuhan semata. Cara pandang seperti ini akan cenderung membuat manusia pasrah dalam menyikapi masalah ini.

Sehingga mereka tidak akan pernah menyadari bahwa bencana yang menimpa ini tidak terlepas dari kesalahan manusia sendiri yang terlalu tamak dalam mengeksploitasi alam.

Pengeksploitasian alam secara sporadis seperti ini tak lain tak bukan merupakan “efek samping” dari legitimasi teologis yang menyatakan manusia sebagai “pemilik sah” alam ini. Dalam Alquran misalnya, tak kurang enam belas kali disebutkan bahwa alam beserta seluruh isinya telah ditundukkan (oleh Allah swt) untuk kepentingan manusia. Misalnya dalam Q.S. Ibrahim: 32-33 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan hujan dari langit, dan dengan air hujan tersebut Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk manusia, dan seterusnya pada ayat-ayat lain.

Di sisi lain, Alquran juga mengisyaratkan bahwa manusia juga menjadi penyebab utama kerusakan di muka bumi. Q.S. Ar-rum: 41 misalnya, menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri. Dalam memahami kedua statement Alquran ini berlakulah kaidah tafsir al-Qur’anu yufassiru ba‘duhum ba‘dan (Alquran saling menafsirkan satu (ayat) sama lain), artinya meskipun manusia diposisikan sebagai khalifah fi al-ard? yang memiliki kuasa penuh atas alam yang diberikan Tuhan kepada mereka, tetapi mereka juga harus bersikap proporsional dalam mengeksploitasi agar tidak terjadi kerusakan alam.

Sejauh ini, paradigma yang berkembang di masyarakat secara umum dalam menyikapi relasi antara manusia dengan alam adalah paradigma antroposentris, dalam artian manusia sebagai pemegang kendali penuh terhadap alam. Asumsi seperti ini akan berakibat kepada penempatan manusia sebagai raja yang sah untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan alam berdasarkan untung rugi untuk kepentingan manusia saja. Antroposentrisme yang salah kaprah seperti ini akan melahirkan konsep ekologi yang arogan, penuh kapitalistik, serakah dan membawa kepada kehancuran lingkungan. Dampak konkretnya yang dapat dilihat tidak hanya banjir bandang, tetapi juga termasuk polusi udara, menipisnya lapisan ozon, radiasi nuklir, banjir limbah industri dan polusi-polusi lain yang menimbulkan beragam penyakit merupakan akibat dari kerusakan ekosistem yang lahir dari tidak adanya kearifan manusia untuk menjaga lingkungan.

Etika antroposentrisme pada dasarnya merupakan pelengkap dari ekologi yang dilahirkan dengan watak sekuler, etika iptek nonreligi ini dianggap wajar karena memang berkembangnya di Barat, sebuah kawasan yang mengatur urusan keduniaan terpisah dari urusan agama. Oleh karena itu wilayah dunia dianggap sebagai wilayah tak bertuan yang harus ditundukkan, dieksploitasi dan digali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan masa depan manusia di dunia.

Dalam suasana seperti ini kita dituntut untuk bisa melahirkan penafsiran baru tentang bagaimana hubungan antara manusia dengan lingkungan yang harmonis, tanpa harus memaksakan teks yang berbicara. Di sinilah letak peran akal manusia dalam menganalisis ayat-ayat kauniah Tuhan untuk melahirkan sebuah konsep baru tentang hubungan manusia dengan lingkungan disertai terobosan dan solusi alternatif terhadap problematika lingkungan hidup yang terjadi kini.

Penafsiran berbasis lingkungan hidup (tafsir ekologi) sering diartikan sebagai sikap masyarakat teologi (umat beragama) terhadap lingkungannya. Paradigma tafsir ini memosisikan alam bukan sepenuhnya hanya sebagai objek eksploitasi manusia. Alam diberdayakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan manusia, tanpa mengurangi tingkat kelestariannya. Kesejahteraan tidak hanya berkaitan dengan faktor ekonomi semata, akan tetapi lebih kepada konsep pembangunan yang selaras dengan kelestarian lingkungan hidup. Hingga pada akhirnya penafsiran ini akan menciptakan hubungan yang menempatkan manusia diciptakan untuk alam dan alam diciptakan untuk manusia.

Dengan konsep tafsir ekologi ini diharapkan manusia bisa lebih bijaksana dalam memperlakukan alam, perusakan alam yang terjadi akibat eksploitasi yang tanpa mempertimbangkan hak-hak alam hanya akan menjadi beban sosial yang harus ditanggung masyarakat karena keserakahan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semoga apa yang telah menimpa masyarakat Aceh-Tangse khususnya-bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua baik secara vertikal antara manusia dengan Tuhan maupun secara horizontal antara sesama manusia maupun lingkungan.

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sumber : Serambinews.com

Singkil-Trumon, Bencana Masa Depan?

Thu, May 5th 2011, 08:09

OPINI ini ditulis untuk menjawab pendapat Sadri Ondang Jaya (Serambi, 27/4) yang menyatakan pecinta lingkungan menghalang-halangi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dengan menghalangi pembangunan jalan yang akan menghubungkan Singkil-Trumon, serta menuduh “pahlawan” lingkungan bertujuan agar potensi sumber daya alam tidak pernah dinikmati rakyat.

Pembangunan ruas jalan Singkil-Trumon, jika tidak ditangani dengan bijak dapat menjadi awal dari bencana “alam” yang sangat mungkin terjadi di masa depan. Pertama, topography area yang akan dilalui jalan tersebut mengikuti garis pantai bersisian dengan rawa gambut, jika dibangun dalam jarak dekat dengan garis pantai risiko yang harus dipertimbangkan termasuk abrasi dan tinggi air pasang. Jika jalan dibangun lebih jauh inland, risiko yang harus dipertimbangkan adalah struktur gambut yang menjadi fondasi.

Jenis hutan rawa gambut merupakan areal hutan basah yang menyimpan banyak air, sehingga struktur tanah gambut juga mengharuskan jalan yang akan dibangun menggunakan teknologi khusus. Dalam kedua skenario, jalan yang akan dibangun mempunyai risiko berumur pendek (karena abrasi, erosi, ataupun amblas kedalam rawa). Jika yang akan dibangun hanya jalan konvensional seperti yang selama ini dibangun, pertanyaannya adalah apakah jalan yang akan dibangun akan tahan amblas? Apakah biaya yang nantinya akan dikeluarkan untuk pembangunan dan perawatan jalan ini sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan?

Kedua, dalam pembangunan jalan konvensional, salah satu hal yang tidak dapat dielakkan adalah penebangan hutan sepanjang jalan yang direncanakan. Sekadar pengingat, Aceh Singkil dan Aceh Selatan merupakan daerah yang rawan bencana banjir. Pada bulan Februari 2011 yang lalu puluhan keluarga di Bulusema menjadi korban bencana banjir bandang.

Interaksi alam adalah interaksi yang sangat kompleks, penebangan hutan di suatu daerah dapat berakibat banjir dan kekeringan di daerah lain yang berdekatan. Seringkali, ketika berbicara tentang pembangunan jalan untuk memajukan ekonomi masyarakat, kalkulasi “kemajuan ekonomi” menggunakan perhitungan yang tidak lengkap.

Faktor-faktor yang dapat menjadi ancaman kemajuan ekonomi (seperti intensitas bencana banjir, kekeringan, dsb) tidak dihitung dalam perencanaan proyek dan faktor-faktor yang mendukung kemajuan ekonomi seperti terlindungnya sumber air juga sering diabaikan.

Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh pembangunan jalan yang melintasi kawasan lindung, bisa jadi hanyalah kemajuan ekonomi semu, seolah-olah maju tapi dampak ke depannya justru kerugian besar. Banjir merupakan bencana yang semakin rutin terjadi di daerah Aceh Singkil dan Aceh Selatan, dan kerusakan ekonomi yang dihasilkan oleh bencana banjir tidak hanya meliputi kerusakan infrastruktur dan kehilangan harta benda, bukan tidak mungkin juga merenggut nyawa manusia.

Ketiga, pembukaan jalan tidak dapat dipungkiri akan memberikan akses untuk para pembalak liar. Penulis tidak akan berdebat tentang kearifan lokal masyarakat Singkil yang mungkin telah hidup harmoni dengan alam dan menjaga hutan secara turun-temurun, yang penulis tanyakan adalah kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk menjaga hutan ketika tekanan-tekanan besar dari pembalak liar menjadi semakin sulit dibendung.

Keempat, pada opini sebelumnya, disebutkan saran untuk membangun jalan hanya selebar 4,5-6 meter dengan pagar di sisi-sisi jalan agar masyarakat tidak merambah hutan. Disayangkan, saran ini tidak mempertimbangkan tingginya intensitas konflik satwa liar yang terjadi di wilayah Aceh Singkil. Pagar yang dibangun sepanjang jalan akan secara langsung membatasi pergerakan satwa liar, yang pada akhirnya akan meningkatkan intensitas konflik satwa dengan masyarakat. Seringkali para pendukung pembangunan jalan menuduh “pecinta lingkungan” lebih mementingkan kesejahteraan satwa dari kesejahteraan masyarakat, sebuah pendapat yang sangat salah dikarenakan kehancuran hutan dan terusiknya satwa liar pada akhirnya akan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Kelima, penulis ingin mengingatkan masyarakat tentang sejarah jalan Jeuram-Takengon, yang dalam masa perencanaan telah menerima tentangan dari WALHI melalui gugatan yang disampaikan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh yang ditolak pada pertengahan 2004. WALHI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang juga ditolak melalui Surat Keputusan MK nomor 1343K/pdt/2007 tanggal 12 Agustus 2008. Tentangan pembangunan jalan dilakukan karena potensi kerusakan yang ditimbulkan, namun demikian pembangunan tetap saja dilaksanakan. Pada akhirnya, dalam waktu beberapa bulan terakhir semakin sering terdengar kabar longsor di ruas jalan Jeuram - Takengon tersebut (Serambi Indonesia, 13/4). Longsor yang terjadi menyebabkan jalan terputus, bahkan menjebak beberapa pengguna jalan. Sangat disayangkan jika tidak ada pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini.

Keenam, Undang-undang yang telah ada secara jelas melarang dibangunnya jalan ini status lahan di wilayah yang akan dilalui oleh rute yang direncanakan ini merupakan suaka margasatwa. Undang-undang no.5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melarang kegiatan-kegiatan yang mengubah bentang alam kawasan, yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Status ini juga dipertegas lagi dengan penetapan Kawasan Ekosistem Leuseur (KEL) sebagai kawasan strategis nasional dalam UU no.27/2007 dan PP no.26/2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Pembangunan jalan konvensional akan seara terang-terangan mengubah bentang alam dan hal tersebut melanggar hukum yang berlaku.

Di dalam PP No. 27/1999 tentang AMDAL disebutkan bahwa prinsip untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan terhadap sebuah rencana Kegiatan ditentukan oleh besarnya dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan tersebut. Jika ternyata dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pembangunan sebuah jalan lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya dan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia serta biaya penanggulangan dampak penting negatif lebih besar dari pada dampak positif penting yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan jalan tersebut, maka kegiatan yang bersangkutan dinyatakan tidak layak lingkungan.

Semua pihak mungkin perlu menilik kemungkinan-kemungkinan lain dalam mencari solusi untuk masyarakat yang tinggal dalam kawasan rawa Singkil, merujuk pada kearifan tradisional masyarakat Aceh yang diingatkan kembali oleh Sayed Mudhahar, mantan Bupati Aceh Selatan “Ketika seorang jatuh ke sungai dan sedang dalam bahaya tenggelam, apakah kita menguras sungai atau kita hanya menarik dia keluar?” Mungkin ada baiknya pertimbangan untuk merelokasi penduduk dimasukkan dalam kemungkinan solusi jangka panjang, demi kesejahteraan dan keamanan penduduk itu sendiri. Solusi ini bukan jenis solusi cèt langèt yang tidak mungkin dilakukan, Leuser Development Program (LDP) dan Leuser International Foundation (LIF) pernah berhasil berdialog dengan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk pindah secara sukarela dari Naca (yang merupakan bagian dari koridor satwa antara rawa Singkil dan bengkung basin), tentu dengan kompensasi yang seimbang. Bukan tidak mungkin solusi yang mirip dapat ditawarkan pada masyarakat yang tinggal di sepanjang kawasan lindung di mana jalan akan dibangun.

Ada yang berkata pihak-pihak yang menentang pembangunan jalan adalah pihak-pihak yang bertujuan agar rakyat tetap miskin, kerdil, dan lemah. Opini ini seperti meremehkan kemampuan rakyat Aceh untuk maju tanpa harus mengorbankan hutan. Aceh punya potensi besar untuk menjadi seperti Jepang, yang berkomitmen untuk menjaga areal hutannya. Karena mereka menyadari hutan merupakan sumber air termurah dan juga sumber penghidupan, ketika komitment untuk menjaga hutan itu ditetapkan, masyarakat Jepang dipaksa untuk kreatif dalam membangun wilayahnya, dorongan dan batasan itulah yang membawa masyarakat Jepang untuk maju.

Aceh masih memiliki persentase tutupan hutan yang cukup besar, sama halnya dengan Jepang, yang menjadi pertanyaan apakah kita akan membawa diri kita semaju Jepang, atau tereksploitasi seperti Papua?

* Penulis adalah alumnus University of Queensland, jurusan Manajemen Lingkungan.

Sumber : Serambinews.com

Swedia Tertarik Berinvestasi di KKA

Wed, May 4th 2011, 09:06
* 35 Juta Dollar Siap Dicairkan


BANDA ACEH - Perusahaan bubur kertas asal Swedia yang tergabung dalam sebuah konsorsium Clean Development Mechanism (CDM), Billernd, tertarik berinvestasi di PT Kertas Kraft Aceh (KKA), Aceh Utara. Dana yang disiapkan mencapai 35 juta US dolar atau sekitar Rp 315 miliar (kurs Rp 9.000).

Keinginan tersebut disampaikan langsung Duta Besar Swedia, Ewa Polano, kepada Gubernur Irwandi Yusuf dalam pertemuan Selasa (2/5). “Gubernur menyambut baik rencana investasi ini,” katanya Ewa Polano saat berkunjung ke Harian Serambi Indonesia.

Menurutnya, bila rencana investasi itu terwujud dan PT KKA kembali beroperasi, kemungkinan jumlah tenaga kerja yang akan terserap mencapai 5.000 orang. Sebuah bank terkemuka di Swedia dikatakannya siap mengucurkan dana dalam program investasi tersebut. “Saya kira ini tergantung pemerintah disini,” katanya lagi.

Di samping soal PT KKA, pihaknya juga menyatakan ketertarikan pada program investasi di bidang kelistrikan. “Aceh masih kekurangan listrik. Kita akan bantu soal ini,” ujar Dubes Ewa Polano.

Dalam pertemuan yang dipimpin Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, kemarin, Ewa Polano juga menanyakan seputar perkembangan Aceh pascatsunami dan konflik. Termasuk tentang penerapan Syariat Islam, serta persiapan Aceh menjelang pesta demokrasi lokal untuk memilih pemimpin lima tahun ke depan.

Kementeri BUMN
Gubernur Irwandi Yusuf yang dikonfirmasi secara terpisah tadi malam membenarkan adanya pembicaraan antara Duta Besar Swedia dengan dirinya, terkait rencana investasi di PT KKA. Namun kata Gubernur, semua itu tergantung pada Menteri BUMN.

“Untuk rencana investasi ini sangat tergantung menteri BUMN, karena pabrik kertas tersebut di bawah Kementerian BUMN. Semuanya tergantung pembicaraan lanjutan dengan Kementerian BUMN. Kita mendukung saja,” ujar Irwandi.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 26 Juni 2011

Daerah Pemekaran Akan Dievaluasi

* Banyak yang tak Memuaskan
Wed, May 4th 2011, 07:46

BANDA ACEH - Banyak daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran yang kinerjanya tak memuaskan. Terkait persoalan tersebut, dalam 2-3 tahun ini pemerintah akan mengevaluasi dan membina daerah-daerah tersebut. Bila tak ada perbaikan akan dilakukan penghapusan atau penggabungan.

Banyak daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran yang kinerjanya tak memuaskan. Terkait persoalan tersebut, dalam 2-3 tahun ini pemerintah akan mengevaluasi dan membina daerah-daerah tersebut. Bila tak ada perbaikan akan dilakukan penghapusan atau penggabungan.

“Ada 205 daerah otonom baru di Indonesia dan umumnya kinerjanya belum memuaskan. Indikasinya pada segi layanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan tata kelola pemerintahan yang masih kurang. Kami akan mengevaluasinya,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, di Banda Aceh, Selasa (3/5).

Sejak era reformasi, di Aceh terdapat 12 kabupaten dan kota otonom baru. Dari jumlah tersebut beberapa daerah masuk kategori tak memuaskan. Namun, dalam kesempatan itu Djohan menolak menyebutkan nama-nama daerah yang dimaksud. “Di Aceh ada beberapa daerah, tapi itu tak hanya di Aceh. Di daerah-daerah lain juga sama saja,” kata dia.

Kinerja yang tak memuaskan tersebut terjadi, lanjut Djohan, karena pembentukan daerah otonom baru itu tak melalui persiapan yang matang. Sejak awal pembentukan, aspek kemampuan keuangan daerah, aparatur, persiapan batas wilayah, potensi keuangan, dan kapasita ibukota wilayah tak direncanakan dengan baik. Akibatnya, di tengah waktu berjalan, banyak kesulitan yang dialami daerah-daerah tersebut.

Ada juga daerah yang dulu maju justru mengalami penurunan kinerja setelah dimekarkan. Hal ini karena potensi yang semula menunjang kemajuan daerah itu diambil daerah lain.

Karena itu, lanjut Djohan, kedepan pemerintah pusat akan lebih memperketat pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran. Hal ini akan diatur dalam draf revisi Undang Undang Pemerintahan Daerah. “Ke depan, daerah yang akan dimekarkan tak bisa langsung otonom, tapi bertahap, seperti dulu ada kota administratif, kabupaten administratif,” katanya.

Selain menata kembali ketentuan pemekaran, pemerintah juga akan berupaya meningkatkan profesionalitas pamong. Hal ini terkait banyaknya kapasitas pamong yang belum sesuai kebutuhan. Salah satu penyebabnya adalah banyak pamong yang tak ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, mengatakan, peningkatan kapasitas pamong harus dimulai dari jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Lembaga pendidikan seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai salah satu lembaga pendidikan pencetak pamong harus direvitalisasi dan diperbaiki. “Masalah pamong salah satu yang perlu dilakukan adalah perbaikan di Jatinangor (tempat lembaga IPDN). Itu saya kira sangat penting,” katanya.(kcm)

Sumber : Serambinews.com

Lintas Tengah Diupayakan Bisa seperti Jalan USAID

Mon, May 2nd 2011, 11:06

BANDA ACEH - Ruas jalan pesisir barat Aceh yang lebar dan mulus plus berkualitas dunia ternyata mengilhami Pimpinan DPRA untuk mengupayakan pengalokasian dana setiap tahunnya, baik dari sumber APBA, APBN, dan pinjaman luar negeri agar lintas tengah Aceh bisa pula seperti jalan yang dibangun USAID tersebut.

“Lebar badan jalan lintas tengah itu kalau bisa dibangun seperti ruas jalan pantai barat yang dibiayai USAID,” kata Wakil Ketua II Koordinasi Bidang Infrastruktur DPRA, Drs H Sulaiman Abda kepada pers, Sabtu (30/4) di lokasi pelebaran badan jalan Cot Panglima di lintas Bireuen-Takengon.

Menurut Sulaiman, dirinya dan anggota DPRA lainnya setuju dengan program pelebaran badan jalan Cot Panglima mencapai 15 meter sehingga arus transportasi dari Bireuen-Bener Meriah-Takengon semakin lancar, termasuk untuk alat transportasi modern.

Dikatakannya, sebelum ruas jalan Cot Panglima sepanjang 4 km mulai dari Km 24-29 dilebarkan hingga 15 meter, truk tronton dan interkuler jarang yang mau melintas karena sangat berisiko. “Kini, setelah dilebarkan, truk angkutan barang jenis tronton dan interkuler semakin lancar, termasuk yang membawa bahan bangunan dan material proyek PLTA,” kata Sulaiman Abda.

Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Jembatan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Ir Fajri MT mengatakan, pelebaran ruas badan jalan Cot Panglima dari 6 menjadi 15 meter berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Bencana Alam yang dikeluarkan Kepala Dinas BMCK Aceh, Ir Muhyan Yunan kepada PT Mutiara Aceh Lestari selaku kontraktor yang dinilai memenuhi syarat untuk bidang kerja bersangkutan.

Hasil evaluasi Tim Pengawas Dinas BMCK, realisasi pelebaran badan jalan Cot Panglima sepanjang 4-5 Km itu sudah mencapai 70 persen atau sudah melampaui progres fisiknya karena masa kerja baru berjalan dua bulan. “Ini memberi arti, penanganan pelebaran badan jalan Cot Panglima bisa lebih cepat selesai,” kata Fajri dengan menambahkan, “Badan jalan yang belum berhasil dilebarkan hingga 15 meter tersisa 200 meter lagi dari 4-5 Km yang menjadi target kerja.”

Terkait lanjutan proyek jalan Bireuen-Takengon section II dan III yang terhenti tahun lalu, menurut Fajri dilanjutkan tahun ini melalui sumber dana APBN. “Ini disebabkan status jalan Bireuen-Takengon sudah menjadi jalan negara,” ujarnya.

Direktur PT Mutiara Aceh Lestaris, Saifan Nur mengatakan, untuk menangani pelebaran badan jalan Cot Panglima Bireuen-Takengon sepanjang 4-5 Km, perusahaannya mengerahkan alat berat berbagai jenis sebanyak 30 unit. “Ini merupakan pengerahan alat berat terbanyak,” kata Saifan. Menurut informasi, badan jalan Cot Panglima ini belum pernah dilebarkan sejak pembuatan dan pembersihannya pada 1965. (her)

Sumber : Serambinews.com

Jumat, 24 Juni 2011

Peningkatan Jalan Buluhseuma-Kuala Baru

Sat, Apr 30th 2011, 11:03
Dua Kabupaten dan BKSDA Aceh Jalin Kerja Sama

JAKARTA - Kementerian Kehutanan dapat mempertimbangkan peningkatan jalan Suak Mirah, Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil dengan Buluhseuma, Aceh Selatan melalui kerja sama antara kedua kabupaten itu dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) Aceh. Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk membantu meningkatkan pengelolaan dan pengamanan kawasan Suaka margasatwa (SM) Rawa Singkil.

Dokumen perjanjian kerja sama tersebut ditandatangani oleh Kepala BKSDA Aceh Ir Abu Bakara, Kadis Kehutanan dan Perkebunan Aceh Singkil Ir Momod Suhara dan Kadis Kehutanan dan Perkebunan Aceh Selatan Ir H Said Azhar, di Jakarta, Jumat (29/4). Ikut membubuhkan tanda tangan Ketua DPRK Aceh Singkil Putra Ariyanto, Atas nama Ketua DPRK Aceh Selatan Azmir, Direkrur Eksekutif LSM Rimueng Lam Kaluet Bestari Raden, dan Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Kementerian Kehutanan, Sonny Partono.

Penandatanganan naskah kerja sama tersebut disaksikan sejumlah kepala desa, camat, para kepala dinas, anggota DPRK dan sekda dari kedua kbaupaten itu. “Dengan ditanda tanganinya dokumen perjanjian kerjasama tersebut, maka peningkatan jalan Suak Mirah-Buluhseuma dapat langsung dikerjakan,” kata Wiratno, Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Direktorat Kawan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, menjawab Serambi usai pendatanganan kerja sama itu.

Ia mengatakan perjanjian antara Pemkab Aceh Selatan, Aceh Singkil dengan BKSDA adalah untuk memastikan bahwa kawasan SM Rawa Singkil tidak mengalami gangguan akibat adanya opembangunan jalan tersebut. “Toh jalan dan Rawa Singkil adalah untuk kepentingan rakyat juga, dan kita maumemastikan bahwa Rawa Singkil tidak terganggu,” kata Wiratno.

Ruas jalan Suak Mirah-Buluhseuma sepanjang 20,9 Km, terdiri dari 18 Km berada di Aceh Selatan dan 2,9 Km lagi berada di Aceh Singkil. Seluruh ruas jalan tersebut berada dalam kawasan SM Rawa Singkil. Lebar jalan yang dibangun 12 meter.

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh Ir Muhyan Yunan menyatakan pihaknya telah mengusulkan program peningkatan jalan tebut pada tahun anggaran 2012. “Kami secara teknis akan siap membangun jalan tersebut apabila tidak ada persoalan hukum lagi,” katanya.(fik)

Sumber : Serambinews.com

Empat Perusahaan Migas di Aceh Tunggu Penerbitan PP Migas

Fri, Apr 29th 2011, 09:19

BANDA ACEH - Kalangan DPRA berharap Pemerintah Aceh terus mendesak Pemerintah Pusat untuk secepatnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi (Migas) Aceh.

“Hingga kini, ada empat perusahaan tambang migas yang sedang menunggu PP Migas Aceh untuk melanjutkan rencana investasinya dalam bidang migas,” ujar anggota Komisi D DPRA dari Fraksi Demokrat, H Ibnu Rusdi SE kepada Serambi, Kamis (27/4) di ruang kerjanya.

Empat perusahaan tambang migas itu adalah, Talisman Energi, Real to Energi, Serica, dan Pertronas. Tiga dari empat perusahaan tambang migas yang akan merealisasikan investasinya di bidang tambang tersebut, menurut laporannya kepada DPRA, telah melakukan eksplorasi di wilayah lepas pantai Aceh dan daratan.

Ibnu Rusdi menyebutkan, Talisman Energi, Real To Energi, dan Serica telah melakukan ekplorasi atau penelitian terhadap deposit sumber migas yang terkandung di wilayah dasar laut lepas pantai pantai timur-utara Aceh dari mulai Pidie hingga Aceh Tamiang.

Sedangkan satu lagi yaitu Petronas sudah melakukan penelitian di daratan Aceh Tamiang bersama Pertamina. Petronas akan bekerja sama dengan Pertamina dalam pelaksanaan eksploitasi untuk memproduksi sumber migas di Aceh Tamiang.

Menurut Ibnu Rusdi, pusat perlu secepatnya menerbitkan PP Migas itu, karena peraturan migas itu akan menjadi payung hukum bagi Pemerintah Aceh untuk melakukan kontrak tambang kerja samanya dengan empat perusahaan tambang migas tersebut.

“Perusahaan tambang itu akan memberikan dampak ekonomi yang luas bagi masyarakat Aceh. Antara lain dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan menciptakan berbagai kegiatan usaha ekonomi lainnya di daerah daratan,” katanya.

Sementara itu, Kadis Pertambangan dan Energi Aceh, Ir Said Ikhsan yang dikonfirmasi terkait RPP Migas tersebut mengatakan, keinginan Pemerintah Aceh sama seperti DPRA dan perusahaan tambang agar secepatnya RPP Migas itu dikeluarkan pemerintah pusat.

Tapi karena dalam pembahasan terakhir pada Januari 2011 lalu, terkait masalah bagi hasil migas untuk wilayah lepas pantai 200 mil belum ada kesepakatan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat, maka sampai kini PP Migas itu belum diteken Presiden.

Begitupun, kata Said Ikhsan, perusahaan tambang migas yang telah mendapat izin eksplorasi (penelitian) dari Pemerintah Aceh silahkan melaksanakan misi penelitian deposit migas di wilayah lepas pantai tersebut. “Setelah RPP Migas itu nanti diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perusahaan tambang tinggal melakukan penandatangan kontrak kerjasama dengan Pemerintah Aceh berkaitan dengan bagi hasil migas lepas pantai yang akan dieksploitasinya,” katanya.(her)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 21 Juni 2011

Tiga Investor Tertarik Berinvestasi di KKA

Sat, Apr 23rd 2011, 09:43

JAKARTA - Meski mati suri, potensi PT Kertas Kraft Aceh (KKA) masih cukup menggiurkan. Buktinya, saat ini sudah ada tiga investor yang menyatakan minatnya untuk menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan BUMN tersebut. Dua di antaranya adalah investor asing (Timur Tengah dan Cina) sedangkan satunya lagi investor lokal. “Kita masih membuka kesempatan seluas-luasnya untuk siapapun investor yang berminat menjalin KSO dengan KKA,” ujar Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Boyke Mukijat, Rabu (20/4).

Seperti diketahui, untuk menghidupkan kembali KKA, PPA sedang melakukan beauty contest di beberapa kota seperti Aceh dan Jakarta untuk investor yang mau menjalin kso dengan KKA. Untuk di Jakarta, Sekretaris Perusahaan PPA, Renny O Rorong menyebutkan, ada sekitar 6 calon investor asing dan 12 investor lokal yang diundang oleh PPA.

Untuk investor lokal yang diundang beberapa diantaranya adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Indah Kiat Pulp and Paper dan Fajar Surya Wisesa. Berdasarkan dokumen lelang penawaran PPA, proses beauty contest ini akan berakhir pada Juni 2011. Setelah pengajuan dokumen, PPA akan melakukan uji tuntas dokumen terhadap calon investor mulai 7 Maret hingga 20 Mei 2011.

Pengumuman pemenang pada 24 Mei 2011 dan penandatanganan KSO sekitar Juni 2011. “Diharapkan pada Juli2011, pabrik ini sudah bisa persiapan untuk beroperasi,” kata Boyke. Direktur Operasi KKA, Andriano Baharudin mengatakan, berdasarkan kajian perhitungan, investor yang akan masuk harus menyiapkan dana sebesar Rp 800 hingga Rp 900 miliar. Kebutuhan dana itu untuk investasi dan modal kerja. Sebab, KKA masih perlu mengganti bahan bakar gas ke batubara.

Belum berminat
Sementara itu, PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk seperti dilansir Serambi dari bisnis.com, menyatakan berat untuk ikut serta dalam join operation penyelamatan PT KKA. Sekretaris Perusahaan Indah Kiat, Agustian Rahmansyah, mengatakan perlu pertimbangan matang bagi perseroan untuk memutuskan apakah akan ikut serta dalam join operation tersebut.

“Aceh itu jauh dari Indah Kiat atau pabrik-pabrik kertas Sinarmas lainnya, sangat berat buat kami bila diminta mengambil alih KKA ini,” katanya melalui pesan singkat. Menurut dia, perseroan perlu melakukan due diligent terlebih dulu terhadap KKA untuk mengetahui permasalahan apa sebenarnya yang dihadapi BUMN kertas yang berhenti beroperasi sejak 2007 itu. “Maka dari itu, butuh waktu untuk pengambilan keputusannya,” ujarnya.(kontan/yos)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 13 Juni 2011

Pemerintah Harus Serius Jaga Kelestarian Hutan

Sun, Apr 17th 2011, 07:56

BANDA ACEH - Pemerintah kabupaten yang wilayahnya masih memiliki areal hutan luas diminta serius menjaganya agar ekosistem lingkungan di daerahnya masing-masing agar tidak terganggu.

“Pemerintah Aceh telah menyatakan komitmennya melindungi kawasan hutan dari ancaman kepunahan melalui moratorium loging dan itu akan berjalan maksimal jika dibarengi keseriusan masing-masing pemerintah kabupaten,” kata Ketua Komisi B DPRA Umuruddin Desky, Sabtu (16/4).

Hal itu disampaikan menanggapi masih adanya praktik pembalakan hutan di beberapa daerah di Aceh, seperti kawasan pegunungan Seulawah antara perbatasan Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. “Saya prihatin melihat kondisi hutan kawasan Seulawah yang terus ditebang dan peralihan dari hutan kayu menjadi perkebunan masyarakat,” katanya.

Sementara beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menemukan sejumlah orang yang sedang memotong pohon pinus di kawasan hutan Seulawah. “Itu mengindikasikan bahwa pengundulan hutan Seulawah bukan dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” katanya.

Politisi Partai Golkar itu menambahkan, upaya menjaga kelestarian hutan tidak hanya tugas gubernur, tapi juga diperlukan komitmen masing-masing pemerintah kabupaten. “Khususnya yang di wilayahnya masih banyak hutan,” kata Umuruddin menambahkan.

Selain itu, ia juga meminta instansi terkait di Pemerintah Aceh untuk bekerja serius dalam menjaga kawasan hutan di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.

“Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh harus jeli dan melakukan upaya efektif untuk mencegah agar kawasan hutan tidak terus dirambah dengan alasan apapun,” kata dia.

Upaya pencegahan pemanasan global itu bukan ‘di atas kertas’ atau hanya sebatas konsep. “Tapi harus ada komitmen serius dan tindakan hukum yang tegas,” kata Umuruddin Desky.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Pembangunan Jalan Ladia Galaska Jadi Kebutuhan

Sun, Apr 17th 2011, 07:54

BANDA ACEH - Ketua Komisi B DPRA, Umuruddin Desky, menyatakan kelanjutan pembangunan jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka) suatu kebutuhan mendesak untuk membuka isolasi daerah pedalaman di Provinsi Aceh. “Artinya, kelanjutan pembangunan ruas jalan tersebut sebuah kebutuhan yang harus dilakukan pemerintah, karena Ladia Galaska merupakan urat nadi penting untuk membangun kawasan pedalaman Aceh,” katanya di Banda Aceh, Sabtu.

Pembangunan kembali ruas jalan Ladia Galaska itu bertujuan untuk menghubungkan wilayah tengah, tenggara, barat, selatan ke pesisir utara Provinsi Aceh. Politisi Partai Golkar Aceh itu mengatakan jika para aktivis lingkungan merasa keberatan kelanjutan pembangunan ruas jalan Ladia Galaska dengan alasan berpotensi merusak kawasan hutan, maka hal tersebut bukan harga mati.

“Saya berpendapat bahwa jika hukum benar-benar bisa ditegakkan melalui penempatan aparat baik dari Polri dan Polhut di ruas jalan itu maka upaya menjaga agar tidak terjadi perambahan hutan bisa terwujud,” katanya.

Tidak perlu kaku dan khawatir berlebihan dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan. “Artinya, mari kita bermusyawarah agar kawasan hutan bisa selamat, namun tidak mengabaikan kebutuhan masyarakat pedalaman Aceh yang hingga saat ini masih hidup dalam kondisi keterbelakangan karena akses jalan tertutup dengan dunia luar,” katanya menambahkan.

Untuk itu, tokoh masyarakat Aceh Tenggara tersebut mendukung pemerintah yang berkeinginan melanjutkan pembangunan ruas jalan “Ladia Galaska” sesuai putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu. Meski, katanya menambahkan pihak Walhi Aceh kembali mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Pengusaha Thailand Buka Pabrik Tapioka di Aceh

Sat, Apr 16th 2011, 10:30

BANDA ACEH - Pengusaha asal Thailand, Preecha Temprom, berencana akan membangun pabrik tepung tapioka di Aceh. Presiden Thai Tapioka Starch Association dan Thai Machinery Association ini kemarin menemui Gubernur Irwandi Yusuf untuk membicarakan keinginannya membuka pabrik tapioka tersebut. Kepada Serambi, Jumat (15/4), Irwandi mengatakan, Preecha Temprom berencana akan membangun lima pabrik di Aceh. Tahap pertama dipilih Aceh Utara. “Tadi Mr Temprom menemui saya di kantor untuk membicarakan masalah membuka pabrik tapioka di Aceh. Untuk tahap pertama telah terpilih Aceh Utara sebagai lokasi pabrik dari lima pabrik yang direncanakan dibangun di seluruh Aceh,” kata Irwandi.

Menurut penuturan Preecha, lanjut Irwandi, satu pabrik tapioka akan membutuhkan 5.000 Hektare (Ha) lahan, dan setiap 5 Ha lahan mempekerjakan 1 Kepala Keluarga (KK). “Jadi sekitar 1.000 KK akan memperoleh pekerjaan. Bahan baku juga akandipasok oleh masyarakat di luar kawasan 5.000 Ha, yang diberdayakan oleh perusahaan,” imbuhnya. Perusahaan ini, kata Irwandi sudah memiliki 40 pabrik tapioka di Indonesia, ratusan lainnya tersebar di Vietnam, Kamboja, dan Nigeria. “Ini artinya, Mr Temprom menguasai pasar tapioka dunia. Jadi masalah pemasarannya sudah terjamin,” pungkas Irwandi.

Sebelumnya seperti pernah diberitakan koran ini, Direktur PT Rush A Asia Company, DR Ramli Hasan, mengatakan kalau pihaknya telah melakukan penandatanganan kontrak kerja sama pembangunan pabrik tapioka dengan Preecha Penpron. Dari hasil survey yang dilakukan selama dua pekan, pihaknya sepakat untuk membangun dua pabrik tapioka dengan kapasitas produksi 300 ton per hari, yaitu di Aceh Jaya dan Aceh Utara. “Pembangunan dimulai bulan Juni 2011 dan selesai Desember 2011. Khusus Aceh Utara, lokasi pembangunan di Kecamatan Simpang Keuramat,” sebut Ramli, di Lhokseumawe, Sabtu (19/3).

Lebih jauh dia menyebutkan, TT Agro bersama asosiasi pabrik tapioka Thailand mengeluarkan investasi sebesar Rp 10 juta USS untuk satu pabrik. “Mereka ingin lihat dulu perkembangan dua pabrik yang dibangun di Aceh Utara dan Aceh Jaya. Kalau dua pabrik ini sudah jalan dan operasionalnya berjalan mulus seperti hasil analisis kita, mereka bersedia membangun empat pabrik lagi. Ini juga sudah diketahui oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf,” sebut Ramli.(ami)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 09 Juni 2011

DPRA Minta Gubernur Tuntaskan Sengketa Lahan PT DPL

Thu, Apr 14th 2011, 11:52

BANDA ACEH - Ketua DPRA, Drs Hasbi Abdullah, meminta Gubernur Aceh untuk segera menyelesaikan sengketa lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Dua Perkasa Lestari (DPL) dengan masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Desa Ie Mirah, Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya.

Dalam suratnya kepada Gubernur Aceh bernomor: 590/1048 tertanggal 11 April 2011, dia menulis, bila masalah tersebut tidak segera dituntaskan dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. “Saya minta masalah sengketa lahan ini supaya segera diselesaikan secara arif dan bijaksana,” kata Hasbi Abdullah kepada Serambi, Rabu (13/4).

Selain kepada Gubernur, tembusan surat tersebut juga ditujukan kepada Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Komisi A DPRA, Kapolda Aceh, Kakanwil BPN Aceh, Kadis Kehutanan dan Perkebunan Aceh, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh, Bupati Abdya, DPRK Abdya, Kepala BPN Abdya, Kapolres Abdya, Kadis Kehutanan dan Perkebunan Abdya, Camat Babahrot, Kapolsek Babahrot, Direktur PT Dua Perkasa Lestari, dan masyarakat pemilik lahan.

Dia mendesak Gubernur untuk segera menyelesaikan sengketa lahan HGU PT DPL dengan masyarakat tersebut berdasarkan surat Komisi A DPRA Nomor: 69/A/IV/2011 tertanggal 11 April 2011 yang ditujukan kepada pimpinan dewan untuk meminta penyelesaian soal sengketa lahan tersebut.

Juga sekaligus menindaklanjuti kesimpulan rapat Komisi A DPRA dengan Pemerintah Aceh, Kapolda Aceh, Muspida Abdya, perwakilan PT DPL, mahasiswa dan perwakilan masyarakat pada tanggal 18 Oktober 2010. Dalam rapat tersebut Pemerintah Aceh berjanji akan melakukan peninjauan lapangan untuk menyelesaikan sengkata lahan, dan jika ada ketimpangan maka izin HGU tersebut akan ditinjau ulang.

Alasan lain Ketua DPRA meminta Gubernur untuk segera menyelesaikan lahan HGU PT DPL seluas 2.599 hektare yang sesuai izin Surat Keputusan Kepala BPN RI tanggal 7 Mei 2009 berlaku 35 tahun atau berakhir pada 7 Mei 2044 mendatang. Seperti diketahui, sengketa lahan HGU PT DPL dengan lahan pertanian/garapan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Desa Ie Mirah, Babahrot, juga telah pernah dilakukan Pansus oleh DPRK Abdya tahun lalu. Dalam rekomendasinya Pansus lahan yang tumpang tindih seluas 200 hektare antara KAT dengan HGU PT DPL, dari klarifikasi pansus dengan Direktur PT DPL bersedia melepas lahan HGU-nya itu dengan ada dokumen resmi dan legal atas klaim dari KAT.

Dalam hal ini, pansus menemukan bukti bahwa lahan untuk KAT dari Dirjen Pemberdayaan KAT Departemen Sosial di lokasi tersebut sudah terlebih dahulu, yaitu sejak taun 2003, sedangkan HGU PT DPL baru diterbitkan tahun 2009.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Selama 3 Tahun, 13.486 Ha Hutan Lindung Rusak

* Pangdam: Anggota TNI Terlibat ‘Ilegal Logging’ Akan Dipecat
Tue, Apr 12th 2011, 10:10




BANDA ACEH - Kerusakan hutan lindung yang terjadi di Aceh sudah sangat memprihatinkan. Dari total 1,8 juta hektare luasan hutan lindung, seluas 13.486 hektare (ha) dilaporkan dalam kondisi rusak, yang terjadi selama kurun waktu tiga tahun (2006-2009).

Demikian data yang dikutip Serambi, Senin (11/4), dari hasil Working Group Analysis Hutan Aceh 2010 yang beranggotakan Sekretariat Aceh Green, Dinas Kehutanan Aceh, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauna & Flaura Internasional (FFI), dan Yayasan Leuser International (YLI).

Hasil analisis itu menunjukkan, kerusakan hutan lindung tersebar di 18 kabupaten/kota. Terparah (terluas) terjadi di Kabupaten Gayo Lues yang mencapai 4.398 ha, diikuti Simeulue 1.978 ha, Aceh Tengah 1.773 ha, dan Aceh Tamiang 1.294 ha. (Selengkapnya lihat grafis)

Juru bicara FFI Aceh Programme, Dewa Gumai, mengatakan, kerusakan hutan lindung itu terjadi karena aktivitas penebangan liar (illegal logging). Hal ini juga menunjukkan kalau keberadaan sekitar 1.900 petugas pengamanan hutan (Pamhut) di Aceh belum maksimal. “Mereka (Pamhut) tidak ada biaya operasional. Bagaimana bisa kerja bila tidak ada biaya operasional,” ucapnya.

Di samping itu, Dewa Gumai juga mensinyalir bahwa mereka-mereka yang terlibat dalam aksi pembalakan liar di hutan lindung merupakan pemain-pemain lama dan sudah permanen. “Sepertinya mereka adalah pemain permanen, sudah sejak lama,” kata Dewa Gumai tanpa menyebut siapa ‘pemain’ yang dia maksudkan.

Meski demikian, kerusakan hutan lindung itu ternyata hanya menyumbang sekitar 14,56 persen dari total kerusakan tutupan hutan Aceh yang mencapai 92.601 hektare. Menariknya, kerusakan hutan paling parah terjadi di tahun 2009, justeru di saat kegiatan rehab rekons berakhir.

Kerusakan hutan ini umumnya berada dalam kawasan hutan Areal Peruntukan Lain (APL). Karena itu, kata Dewa, kebijakan moratorium loging (jeda tebang) yang dicanangkan Pemerintah Aceh sejak tahun 2007 lalu perlu diperluas hingga ke kawasan hutan APL. “Selama ini, moratorium logging hanya berlaku sebatas di kawasan hutan alam atau hutan lindung,” pungkasnya.

Bersikap tegas
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Adi Mulyono, saat melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Kabupaten Pidie juga menyinggung soal illegal logging. Dia menyatakan akan bersikap tegas terhadap anggota TNI yang terbukti terlibat atau membekingi praktik illegal logging.

“Kita tidak akan memberi ampunan kepada siapapun bagi anggota TNI yang terlibat secara khusus membekingi pembalakan liar, dan jika terbukti kita pecat dari anggota kesatuan kita,” tegasnya.

Tak hanya itu saja, Pandam juga menegaskan akan menindak tegas setiap anggotanya yang terlibat tindakan asusila dan narkoba. “Kita minta kepada masyarakat luas yang merasa dirugikan dengan sikap anggota (TNI) bisa melaporkan atau mengadu pada nomor call center 081381366800,” ujar Pandam.(yos/c43)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 08 Juni 2011

Korea Siap Wujudkan Jalan Tol di Aceh

* Aceh Terima Hibah 6 Juta Dolar untuk Air Bersih
Sat, Apr 9th 2011, 09:10

JAKARTA - Investor asal Korea Selatan (Korsel) siap mewujudkan pembangunan proyek prestisius highway Aceh atau jalan bebas hambatan (jalan tol) yang akan menghubungkan pantai timur Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Dijadwalkan Senin (11/4) depan akan dilakukan presentasi teknis pembangunan jalan tersebut kepada Pemerintah Aceh.

Kepastian kelanjutan pembangunan jalan bebas hambatan itu disampaikan dalam pertemuan antara Wagub Aceh Muhammad Nazar dengan Duta Besar Korea Selatan, Mr Kim Young Sun, yang diwakili Mr Kim Nam Kyu di Kedutaan Besar Korea di Jakarta, Jumat (8/4).

“Tidak ada masalah dengan rencana pembangunan highway tersebut, tinggal hanya menunggu kesiapan Pemerintah Aceh dalam memberikan izin dan membebaskan lahan,” kata Muhammad Nazar. Segera setelah prestasi teknis, sambungnya, pihak Korea akan segera melakukan pemetaan darat dan udara. Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk kerja pemetaan tersebut.

Wagub Nazar mengatakan, pembangunan highway di kawasan pantai timur Aceh dipastikan akan mendorong percepatan laju perekonomian Aceh. “Kawasan itu merupakan jalur terpadat di Aceh, karenanya sangat penting bagi pembangunan Aceh,” ujarnya.

Menurut Wagub, kelak Aceh menjadi salah satu propinsi yang memiliki jalan dengan kualitas terbaik di Indonesia, mulai dari pantai barat, tengah-tenggara, dan kawasan pantai timur. “Jalan kawasan pantai barat dibangun USAID dan kawasan tengah-tenggara dibiaya Jepang. Khusus pantai timur dibiayai Korea,” jelas Wagub.

Hibah Air Bersih
Selain membicarakan rencana kelanjutan pembangunan highway Aceh, pertemuan dengan Kedutaan besar Korea juga membahas pemberian hibah sejumlah 6 juta dollar untuk pembangunan fasilitas air bersih dengan teknologi tenaga matahari di Banda Aceh.

“Kita bersyukur karena Aceh dipercaya menerima hibah proyek air bersih tenaga surya. Itu adalah proyek untuk Asia Tenggara, dan Aceh satu-satunya daerah yang memperoleh fasilitas tersebut,” lanjut Muhammad Nazar.

Dalam pertemuan itu Wagub juga menindaklanjuti program hibah bidang pangan dan perkebunan senilai 50 juta dolar AS. Jenis tanaman yang akan dikembangkan adalah kakao, jagung dan ubi. “Pemerintah Aceh diminta hadir ke Korea Selatan untuk membahas lerbih lanjut tentang proyek agrikultur tersebut dengan Kementerian Kelautan dan Ketanahan. Aceh akan memanfaatkan peluang tersebut sebaik-baiknya untuk pembangunan ekonomi Aceh,” sebut Muhammad Nazar.(fik)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 07 Juni 2011

Pemerintah Diminta Evaluasi Hasil Musrenbang Tahun Lalu

Thu, Apr 7th 2011, 08:47

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh diminta untuk mengevaluasi hasil Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tahun-tahun sebelumnya sebelum melangkah jauh ke depan dengan program baru. “Apakah yang sudah diputuskan tahun sebelumnya sudah dilaksanakan atau belum,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Teuku Bachrum Manyak kepada Serambi, Rabu (6/7) kemarin.

Sebab, katanya, selama ini setiap tahun, Pemerintah Aceh terus melaksanakan Musrenbang. Namun, Pemerintah tidak pernah menyampaikan hasil yang sudah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya.

Karena itu, kata Bachrum, pihaknya mengharapkan dalam Musrenbang kali ini, Gubernur Irwandi Yusuf juga memberikan laporan hasil Musrenbang tahun 2010 lalu. “Peserta Musrenbang dalam rapat yang berlangsung berhari-hari itu tidak hanya sebatas membahas usulan program baru. Sementara program-program yang sudah diputuskan sebelumnya seperti tidak lagi mendapat perhatian. Padahal apa yang sudah diputuskan tahun lalu perlu dievaluasi, sudah jalan atau belum,” katanya.

Sebab, menurut mantan Wakil Ketua DPR Aceh itu, selama ini Musrenbang selalu saja membahas program-program baru. Sementara hasil Musrenbang yang lalu tidak pernah dilapor dan dibicarakan lagi. “Jalan atau tidak, kita tidak pernah tahu lagi,” katanya.

Dana Otsus
Sedangkan menyangkut penggunaan dana otonomi khusus (Otsus), T Bachrum Manyak mengharapkan Pemerintah Aceh dalam dua tahun ke depan diharapkan untuk lebih fokus pada upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Selama ini, sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan yang langsung menyentuh pada pemberdayaan ekonomi rakyat masih belum mendapat perhatian yang memadai.

“Potensi peternakan Aceh cukup bagus. Harga daging cukup mahal. Tapi, sayang usaha pertenakan kita belum maksimal,” katanya. Untuk itu ke depan, Pemerintah Aceh harus lebih fakus pada pengembangan usaha peternakan rakyat. “Kita ingin petani peternak di Aceh sejahtera. Jangan, saat harga daging mahal, yang menikmati peternak dari luar,” katanya.(sir)

Sumber : Serambinews.com

Pemerintah Diminta Evaluasi Izin Pertambangan di Aceh

Thu, Apr 7th 2011, 07:58

BANDA ACEH - Pemerintah provinsi Aceh diminta mengevaluasi izin pertambangan yang telah dikeluarkan, agar tidak menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.

“Pemerintah jangan menganggap sepele persoalan ini, mereka harus segera melakukan evaluasi dan menata ulang izin pertambangan agar tidak menjadi permasalahan di masa yang akan datang,” kata Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu (6/3).

Permasalahan yang dipastikan akan muncul akibat pertambangan adalah bencana alam dan berbagai efek negatif akibat eksploitasi hasil bumi itu. Saat ini Pemerintah Aceh dinilai sangat mudah memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi kepada perusahan pertambangan tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Untuk mendapatkan izin pertambangan di Aceh saya dengar sangat mudah, kondisi ini dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan,” kata mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh itu.

Menurutnya, jika pertambangan ini tidak terkoordinir dengan baik maka di masa yang akan datang Pemerintah juga harus menganggarkan dana yang sangat besar untuk mengembalikan kondisi lingkungan terutama di kawasan eksploitasi.

Ia mencontohkan negara Kanada yang sudah puluhan tahun menganggarkan dana untuk rehabilitasi kawasan bekas tambang yang hingga saat ini belum menunjukan hasil yang diharapkan.

Aktivis kemanusiaan dan lingkungan itu juga minta Pemerintah membentuk tim khusus dari berbagai komponen untuk melakukan monitoring atau pengawasan terhadap perusahan yang telah memiliki izin eksplorasi dan eksploitasi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh juga mengkritisi rencana pemerintah Aceh menjadikan sektor tambang sebagai basis pembangunan yang disampaikan Gubernur Irwandi Yusuf pada pembukaan Musyawarah Rencana Pembangunan di Kota Banda Aceh, Selasa (5/4).

“Menjadikan sektor tambang sebagai basis pembangunan merupakan hal yang keliru dalam menyejahterakan rakyat, sudah banyak terjadi konflik sosial, hutan dan lahan perkebunan rusak akibat pertambangan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh T Muhammad Zulfikar.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Sungai Strategis di Aceh Perlu Dipantau

Wed, Apr 6th 2011, 09:33

SABANG - Sejumlah sungai strategis di Aceh perlu diawasi dari pencemaran lingkungan, baik yang disebabkan oleh limbah industri, rumah tangga, limbah penambangan emas, pertanian maupun akibat adanya sedimentasi (endapan) dari hulu sungai. Pengawasan dibutuhkan agar kondisi lingkungan tak membahayakan kesehatan masyarakat.

Demikian disampaikan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh, Ir Husaini Syamaun MM, kepada Serambi di Sabang, Selasa (5/4) saat menyampaikan kesimpulan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) “Pengelolaan Kualitas Air Sungai” yang berlangsung sejak 3-5 April di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh. Setelah melaksanakan Rakernis, para peserta yang merupakan para kepala Bapedalda dari seluruh Indonesia melakukan city tour ke Sabang. Di sana mereka mengamati kondisi lingkungan sejumah objek wisata seperti kilometer nol, Pulau Rubiah, Iboih, Danau Aneuk Laut, taman laut, dan hutan tropis Sabang. Setelah itu, rombongan bersilaturahmi dengan Muspida Sabang.

Dikatakan, dari hasil Rakernis dirumuskan sejumlah kesepakatan, antara lain, perlunya pemantauan sungai-sungai strategis di seluruh Indonesia. Pemantauan harus dilaksanakan secara periodik yakni lima kali dalam setahun atau lebih. Hal ini bertujuan agar sungai-sungai di seluruh Indonesia termasuk yang ada di Aceh tetap terjaga dari pencemaran. Selain itu, perlu adanya penambahan objek sungai yang dipantau serta menambah titik-titik pantau dan peningkatan frekuensi pengawasan.

“Guna mewujudkan hal ini, dibutuhkan kerja sama dari masyarakat Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, dengan cara mengalokasikan dana bagi pengawasan atau pemantauan sungai di Aceh. Harus diketahui bersama, sungai sangat penting untuk kehidupan. Jika tercemar, kemampuan sungai menetralisir air akan berkurang sehingga mengganggu sanitasi, terjadinya pencemaran air dan udara, serta terganggunya biota air,” katanya.

Sungai Tamiang tercemar
Dari hasil Rakernis juga terungkap bahwa secara keseluruhan kondisi sungai strategis di Aceh relatif bagus atau masih di bawah baku mutu dan belum berbahaya. Namun salah satu objek sungai yang dipantau di Aceh yakni Sungai Tamang ternyata telah tercemar oleh limbah industri dan limbah organik yang berasal dari bahan kimia pertanian seperti insektisida dan pestisida. Setelah dicek selama dua tahun, kata Husaini, ternyata Sungai Tamiang juga mengalami sendimentasi akibat material yang berasal dari hulu sungai seperti Sungai Tenggulun, Sungai di kawasan Pulua Tiga, dan Perlak.

Ditambahkan, selain Krueng Tamiang, pihak Bapedal Aceh menduga ada beberapa sungai yang kemungkinan berpotensi tercemar akibat penambangan emas secara tradisional sepreri Krueng Sabe dan Sungai Teunom Aceh Jaya, dan Krueng Mereubo di Aceh Barat. “Sungai tersebut dikhawatirkan tercemar merkuri dari limbah penambagan emas. Sejumlah sungai tersebut diagendakan akan menjadi objek tambahan pemantauan sungai pada awal tahun 2012,” pungkas Husaini. (gun)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 06 Juni 2011

Walhi Aceh Kritisi Pembangunan Fokus pada Pertambangan

Wed, Apr 6th 2011, 07:57

BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mengkritik rencana pemerintah Aceh menjadikan sektor tambang sebagai basis pembangunan.”Rencana menjadikan sektor tambang sebagai basis pembangunan harus ditentang. Kami dengan tegas mengkritik rencana tersebut,” tegas Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Selasa.

Ia mengatakan rencana tersebut disampaikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Aceh. Pada kesempatan itu, kata dia, Gubernur menyebutkan prioritas pembangunan Aceh 2012, yakni melanjutkan pembangunan infrastruktur terpadu dan strategis guna mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian (agroindustri), pertambangan, dan pariwisata.

“Rencana tersebut merupakan hal yang keliru dalam menyejahterakan rakyat. Sudah begitu banyak hutan dan lahan rusak serta melahirkan konflik sosial akibat pertambangan. Belum lagi bencana akibat kerusakan lahan,” ujar dia. Menurut dia, banyak contoh buruk yang ditimbulkan pertambangan, seperti Bangka Belitung. Daerah itu kini tinggal lubang-lubang besar peninggalan tambang timah.

Papua, sebut dia, juga tidak jauh beda. Kondisi pegunungan di daerah itu kini sudah menjadi danau akibat dikeruk perusahaan tambang. Sementara, masyarakat setempat tetap hidup miskin.

“Di Aceh juga seperti itu. Bahkan lebih parah lagi sudah menjurus kepada konflik sosial, seperti di Kabup[aten Aceh Selatan, terjadi bentrok warga di dua desa dan di Aceh Besar terjadi konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat setempat,” katanya.

Ia mengatakan, hal ini terjadi karena tanah di kawasan tambang dikeruk sedalam-dalamnya, mineralnya diambil, lalu dikirim ke luar negeri. Sementara, bekas galiannya ditinggalkan begitu saja.

“Pendapatan daerah dari sektor tambang ini juga tidak jelas. Tenaga kerja yang digunakan juga tidak banyak karena tambang di Aceh sifatnya mengeruk tanpa pengolahan. Sedangkan tenaga yang banyak tersebut berada pada tahap pengolahan atau pabrikasi,” papar dia.

Oleh karena itu, kata dia, Walhi menilai pilihan sektor pertambangan sebagai basis pembangunan merupakan hal keliru. Apalagi fakta membuktikan bahwa tidak ada rakyat yang makmur karena pertambangan.

Sebaiknya, lanjut dia, pemerintah Aceh memprioritaskan sektor lain, seperti pertanian, pariwisata, pendidikan, maupun industri kreatif karena potensinya masih menjanjikan.”Kini, eranya pembangunan berbasis lingkungan. Bukan zamannya lagi mengeruk sumber daya alam, tetapi melahirkan bencana. Jangan sampai Aceh mengulang kesalahan daerah, mengeruk habis-habisan sumber daya alam, tapi kini hidup dalam kemelaratan,” tandas T Muhammad Zulfikar.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Peta Risiko Bencana Aceh Diluncurkan

Mon, Apr 4th 2011, 10:07

BANDA ACEH - Ketua Divisi Riset TDMRC Unsyiah, DR Agussabti menyebutkan dukungan Multi Donor Fund (MDF) terhadap Pemerintah Aceh dengan badan pelaksana UNDP telah mendorong keberhasilan dalam pembuatan Peta Risiko Bencana Aceh (Aceh Disaster Risk Map-ADRM). Peta risiko bencana itu akan diluncurkan/dibagikan kepada kabupaten/kota yang rentan bencana.

“Aceh masih perlu waspada kemungkinan bencana yang bisa terjadi, karena letaknya yang sangat rawan di sepanjang garis patahan bumi. Implikasinya akan berdampak pada rawannya daerah Aceh terhadap bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor serta bencana lainnya. Berbagai ancaman itu berpotensi timbulkan bencana luas. Sehingga perlu pemikiran dalam mengurangi risiko bencana,” kata Agussabti dalam rilis yang diterima Serambi, kemarin.

Pemerintah Aceh melalui SKPA terkait serta TDMRC dibantu Badan Geologi Indonesia, BNPB dan Bappeda Aceh serta SKPD di setiap kabupaten/kota, sudah beberapa kali melaksanakan workshop untuk penyusunan metodologi peta risiko bencana.

“Produk ADRM ini salah satu pionir dalam perencanaan pembangunan. Di mana Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang meletakkan landasan perencanaan pembangunan provinsi dengan berbasiskan peta risiko bencana ini. Sebab itu dengan selesainya ADRM yang akan diluncurkan 5 April 2011 ini, memiliki makna penting dan berimplikasi luas bagi kesiapsiagaan dan keselamatan masyarakat Aceh pada konteks kekinian serta masa mendatang,” sebut DR Agussabti.

Ia mengatakan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dalam peluncuran ADRM yang dilakukan bersamaan dengan acara Musrenbang Aceh yang dijadwalkan Selasa (5/4) besok, akan membagikan ADRM kepada seluruh bupati dan wali kota, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, dan secara simbolis diserahkan pada representatif daerah yang sering dilanda bencana.(rel/mir)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 05 Juni 2011

Produksi Kakao Rendah

* Keasaman Tanah Masih Tinggi
Sun, Apr 3rd 2011, 09:40

BANDA ACEH - Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh bekerjasama dengan Swisscontact yang telah melakukan penelitian di lima kabupaten penghasil kakao (coklat) menemukan kadar keasaman tanah masih tinggi. Tak pelak, hasil produksi rendah dibandingkan secara nasional, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus.

Kepala BPTP Ir T Iskandar MSi, Sabtu (2/4) menyatakan harus ada tindakan tepat untuk mengatasi masalah tersebut agar produksi kakao bisa ditingkatkan. Disebutkan, penelitian dilaksanakan di lima kabupaten yakni Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya dengan sampel 207 titik dari 32 kecamatan.

Dia juga mengungkapkan berdasarkan hasil penelitian di laboratorium BPTP didapatkan reaksi tanah (pH) 56 persen atau tergolong sangat masam, kemudian 32 persen masam, agak masam, neutral dan agak basa masing-masing 4 persen. Survey dan analisis tanah itu juga bertujuan untuk membuat rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis lapangan dan laboratorium untuk setiap distrik wilayah proyek.

Kondisi itu, katanya, telah menyebabkan produktivitas kakao Aceh rendah yakni sekitar 400 kg per ha atau masih jatuh dari rata-rata nasional 700 kg per ha. Bahkan, di beberapa tempat di luar Aceh, produktivitas kakao mencapai 2 ton per ha atau lebih.

Iskandar mengakui sistem budidaya yang belum memenuhi syarat seperti penggunaan bibit unggul, pemeliharaan seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit dan pemangkasan sampai pascapanen menyebabkan produksi rendah.

“Pola dan dosis pemupukan kakao di Aceh belum ada, sehingga melalui rekomendasi ini, petani dapat melakukan pemupukan sesuai kesuburan tanah,” papar Iskandar seraya menyebutkan bahwa lab BPTP Aceh telah mendapat pengakuan dari lab Puslittanah Bogor dan Dr Peter Slavich, Direktur Wollongbar Agricultural Institute, NSW-DPI Australia serta rekomendasi tersebut telah disampaikan pada Aceh Kakao Conference di Banda Aceh pada 10 Maret 2011 lalu.

Dalam rekomendasi tersebut, disebutkan pemberian kapur atau dolomit dilakukan 1 bulan sebelum atau sesudah pemberian pupuk. Dolomit yang mengandung CaO dan MgO lebih baik diberikan dari pada Kapur Pertanian yang hanya mengandung CaO. Pemberian Dolomit berkisar 150 - 300 gram/pohon/tahun tergantung lokasi.

M Ramlan, Kepala Lab BPTP Aceh menjelaskan lima kabupaten tersebut memiliki kandung Nitrogen, phospor dan kalium sangat rendah. Dia juga menyebutkan pemberian pupuk organik secara rutin akan menghemat sampai 50 persen pupuk non-organik seperti urea, TSP, NPK, dan lainnya. Dia menyarankan kompos sebaiknya sebanyak 30 kg/pohon/tahun kecuali di Desa Blang Makmur dan Lawe Nderasi, Aceh Tenggara.

Untuk meningkatkan kandungan Nitrogen, pemupukan urea sangat dianjurkan atau dapat pula menanam tanaman pelindung dan pemupukan dengan urea 200 - 300 gram/pohon/tahun. Kandungan phospor pemupukan dengan SP-36 sebanyak 50 - 100 gram/pohon/tahun. Kandungan kalium pupuk KCL/MOP 100 - 400 gram/pohon/tahun. Untuk melengkapi kebutuhan unsur hara dalam tanah maka perlu diberikan pupuk NPK (16-16-16) sebanyak 150 - 300 gram/pohon/tahun.

Pemberian pupuk sebaiknya dilakukan 2 kali setahun yaitu pada awal musim hujan dan awal musim kemarau. Cara pemberian pupuk dengan membuat alur/paritan sedalam 5 - 10 cm, jarak dari batang 120 cm keliling/lingkaran pohon, setelah pupuk ditabur merata alur/paritan ditutup kembali, tandasnya.(muh)

Sumber : Serambinews.com

Aceh Masih Potensi Hujan Hingga Empat Hari ke Depan

* Tinggi Gelombang Capai 2,5 Meter
Sat, Apr 2nd 2011, 11:17

BANDA ACEH - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar memprediksi empat hari ke depan (1-4 April), sejumlah daerah di Aceh masih berpotensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang disertai angin kencang serta petir berdurasi singkat. Sedangkan tinggi gelombang di perairan barat-selatan Aceh diperkirakan mencapai 2,5 meter.

Kepala Seksi (Kasi) Observasi dan Informasi BMKG Blang Bintang, Alvianto melalui prakirawan, Rahmad Tauladani, kepada Serambi, Jumat (1/4) menjelaskan, meski cuaca terik, diperkirakan sejumlah wilayah Aceh untuk empat hari ke depan berpotensi turun hujan dengan intensitas ringan hingga sedang disertai angin kencang dan petir, terutama menjelang sore dan malam. Kondisi seperti itu diprediksi terjadi di Aceh bagian barat, selatan, dan timur.

Rahmad menambahkan, adanya pusaran angin di Samudera Hindia sebelah barat Aceh dan hangatnya suhu muka laut antara 28-29 derajat Celcius, sedikit banyak mempengaruhi peningkatan aktivitas pertumbuhan awan hujan (awan konvektif) terutama di sejumlah wilayah Aceh. “Bukan itu saja, adanya aktivitas awan konvektif terkait dengan temperatur yang cukup tinggi pada siang hari (32-33 derajat Celcius), yang merupakan aktivitas atmosfer berskala lokal di mana hal itu akan memberikan peluang bagi pertumbuhan awan hujan yang berpotensi menimbulkan hujan ringan hingga sedang pada sore atau malam hari,” jelasnya lagi.

Sementara itu, kata Rahmad, pola angin umumnya bertiup dari barat menuju utara dengan kecepatan 8-25 km/jam. Namun di bagian barat-selatan Aceh, angin yang bertiup maksimum kecepatannya diperkirakan mencapai 30 km/jam. Sedangkan prakiraan tinggi gelombang laut empat hari ke depan, di perairan Aceh dan barat-selatan mencapai ketinggian yang sama yaitu 1,25-2,0 meter, maksimum 2,5 meter. Untuk di perairan utara Aceh tinggi gelombang berkisar 0,5-1,25 meter.

“Masyarakat perlu waspada, saat ini Aceh masih mengalami musim pancaroba belum lagi memasuki musim kemarau. Di mana dalam masa peralihan ini kondisi cuaca di Aceh tidak konsisten, bisa berubah-rubah. Sepekan lalu, kita mengalami hujan ekstrem, empat hari ke depan terjadi terik kembali namun hujan masih tetap berpeluang turun, ringan hingga sedang,” kata prakirawan ini mengingatkan.(c47)

Sumber : Serambinews.com

Cabai dan Beras Sumbang Deflasi Aceh

Sat, Apr 2nd 2011, 10:11

BANDA ACEH - Pergerakan harga cabai dan beras yang cukup signifikan dalam tiga bulan terakhir ternyata berpengaruh sangat besar terhadap trend pergerakan harga barang dan jasa secara umum (inflasi/deflasi) di Aceh. Bila sebelumnya pada Januari dan Februari 2011 lonjakan harga dua komoditas tersebut menyebabkan Aceh mengalami inflasi, maka pada Maret kemarin justeru sebaliknya. Dua komoditas ini justeru menjadi penyumbang terbesar deflasi di Aceh.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Syech Suhaimi, menyebutkan, pada Maret 2011 Aceh mengalami deflasi sebesar 1,58 persen. “Kota Banda Aceh mengalami deflasi 1,92 persen dan Lhokseumawe 1,22 persen, sehingga secara agregat Aceh mengalami deflasi 1,58 persen,” kata Suhaimi saat memaparkan berita resmi statistik, Jumat (1/4).

Secara umum sebutnya, deflasi disebabkan penurunan harga pada kelompok bahan makanan sebesar 7,04 persen. Cabai merah dia sebutkan menempati urutan pertama sebagai penyumbang terbesar deflasi dengan andil (-0,6475) persen, diikuti tongkol (-0,5018) persen, dan beras (-0,4150) persen. Deflasi ini ternyata juga terjadi di seluruh kota di Sumatera. Sedangkan secara nasional, dari 66 kota yang dipantau BPS, deflasi terjadi di 52 kota, sedangkan inflasi terjadi hanya di 14 kota.

Nilai tukar petani
Sementara terkait dengan nilai tukar petani (NTP) Aceh, Syech Suhaimi menyebutkan bahwa pada Maret kemarin terjadi penurunan NTP sebesar 0,73 persen menjadi sebesar 104,37 persen. Hal ini disebabkan indeks harga yang diterima petani mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan indeks harga yang dibayar petani. “Indeks yang diterima petani turun sebesar 1,00 persen,sementara indeks yang dibayar petani hanya mengalami penurunan sebesar 0,27 persen,” sebut Suhaimi.(ami)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 01 Juni 2011

Bapedal Galar Rakernis Pemantauan Kualitas Air

* Krueng Tamiang Tercemar
Sat, Apr 2nd 2011, 09:25

BANDA ACEH - Provinsi Aceh dipercaya sebagai tuan rumah pelaksanaan rapat kerja teknis (Rakernis) pemantauan kualitas air sungai, yang dijadwalkan berlangsung 3-5 April 2011 di Hotel Hermes Palace. “Aceh terpilih sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan berskala nasional, yang diikuti 120 peserta dari 33 Bapedal se-Indonesia dan pimpinan Ecoregion itu, diagendakan dibuka Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta,” kata Ir Husaini Syamaun, kepada Serambi kemarin.

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh Ir Husaini Syamaun menyebutkan, untuk melakukan pemantauan, plus menjaga kualitas air sungai yang rentan tercemar, seperti Sungai Krueng Sabe, Krueng Teunom, Krueng Meureubo, termasuk beberapa badan dan aliran air yang ada di Aceh Selatan, kini pemerintah Aceh membutuhkan dana relatif besar. Karenanya, ia berharap semua pihak memberikan konstribusi dalam menyukseskan agenda yang bersifat nasional.

Berkaitan itu pula, Bapedal Aceh juga berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), agar mengeluarkan kebijakan dan tambahan anggaran di bidang pemantauan kualitas air. Ia menyebutkan, pencemaran air sungai Krueng Tamiang, Sungai Krueng Sabee, Krueng Teunom, Krueng Meureubo, termasuk beberapa badan dan aliran air yang ada di Aceh Selatan, memang memerlukan pengawasan ektra. Selain pencemaran dari rumah tangga, air sungai Tamiang dan sejumlah sungai lainnya di Aceh, juga berpotensi dari limbah cair pertanian seperti penggunaan pupuk petani (pertisida). “Meski belum berdampak serius dari pencemaran itu namun perlu diwaspadai,”katanya.(awi)

Sumber : Serambinews.com