Senin, 30 Mei 2011

zin Pertambangan Merajalela ; Barat Selatan Aceh Terancam Bencana Besar

Aceh - Senin, 30 Mei 2011 01:10 WIB
I
Banda Aceh, (Analisa). Masyarakat di kawasan pantai barat selatan Provinsi Aceh saat ini merasa khawatir akan terjadinya bencana alam besar yang akan mengancam kehidupan mereka di masa yang akan datang menyusul akan beroperasinya sejumlah perusahaan pertambangan di daerah mereka.
Beroperasinya belasan perusahaan tambang khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi dan ekspoitasi bijih besi dan emas tersebut, menyusul izin dikeluarkan baik oleh Pemerintah Provinsi Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota setempat.

Pemberian izin tersebut terkesan telah mengabaikan sikap penolakan dan protes yang dilancarkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten/kota di barat selatan ini seperti Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Subulussalam, dan Aceh Jaya. Pemerintah pun dinilai tak peduli lagi terhadap keselamatan warganya yang merasa terancam.

"Kita sangat menyayangkan pemberian izin pertambangan yang saat ini begitu merajalela, yang dilakukan Pemprov Aceh maupun beberapa kabupaten/kota. Seharusnya, mereka lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya dari ancaman bencana ketimbang mencari untung dari sektor pertambangan," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal kepada wartawan, Sabtu (28/5).

Ia mencontohkan, warga dari enam Desa di Kecamatan Jeumpa Aceh Barat Daya telah mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh. Surat yang ditandatangani masing-masing Geucik setempat, menolak kehadiran PT Juya Aceh Minning (JAM) dan perusahaan tambang lainnya yang akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi bijih besi di kawasan mereka.

Selain itu, mereka meminta Gubernur Aceh agar tidak mengeluarkan izin apa pun terkait aktifitas pertambangan di kawasan mereka. "Masyarakat sepakat menolak daerah mereka dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu. Bukti-bukti kerusakan akibat kegiatan penambangan seperti di Manggamat tampak nyata, mengapa masih juga mengizinkan tambang," kecamnya.

Haikal mengatakan, dari 109 data perusahaan tambang tahun 2010 lalu, sedikitnya 66 perusahaan yang menjalankan pertambangan di wilayah Barat Selatan. Kemudian ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi AMDAL-nya, yaitu di Aceh Jaya, Subulussalam dan Aceh Selatan.

Peruntukkan izin-izin investasi pertambangan di Aceh jangan diberikan seenaknya. Pemprov Aceh harus mengkaji lebih dalam lagi karena termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Pasalnya, kalau HPH menebang di atas permukaan bumi, tapi kalau pertambangan itu bisa mengorek bumi dan sangat besar resiko terjadinya bencana.

Ia juga mengecam pemilihan sektor tambang sebagai basis pembangunan Aceh sebagaimana yang disebutkan Gubernur Irwandi Yusuf dalam pembukaan Musrenbang RKPA beberapa waktu lalu, karena itu solusi keliru untuk mensejahterakan masyarakat.

"Fakta menunjukkan tidak ada daerah makmur karena tambang. Di Indonesia banyak contoh, seperti Bangka Belitung yang tinggal lubang-lubang besar peninggalan tambang timah, Papua yang gunungnya sudah menjadi danau dikeruk oleh Freeport, tapi masyarakat setempat tetap miskin.

Banyak Konflik

Juga bisa dilihat mulai dari Aceh Selatan hingga Tamiang, banyak terjadi konflik akibat pertambangan. Dari sisi PAD tidak jelas pemasukan dari sektor pertambangan yang masuk ke kas pemerintah. Dari sisi tenaga kerja juga tidak banyak pekerja yang terserap mengingat tambang di Aceh hanyalah tambang mengeruk semata tanpa pengolahan lebih lanjut (pabrik). Pertambangan di Aceh adalah keruk tanah sedalam-dalamnya (penambangan terbuka/open pit), ambil, ekspor dan lalu bekas tambang ditinggalkan begitu saja.

Sementara Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan pada Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Armia SH menyatakan aktivitas pertambangan sudah sangat jelas akan merusak lingkungan, dan akan menimbulkan dampak seperti terjadinya berbagai bencana.

"Jelas merusak dan berpotensi besar mengundang bencana. Seperti kawasan hutan dan gunung, kita rusak dan mengambil bahan galian. Kerusakan tidak hanya sekitar, tapi juga meluas kemana-mana, apalagi jika tidak diikuti dengan reklamasi kerusakan tersebut," ungkapnya.

Menurutnya, untuk menghindari bencana alam, pemerintah harus benar-benar bersikap tegas kepada perusahaan. Bagi perusahaan penambang, kata dia, penutupan tambang usai pemanfaatan sudah merupakan keharusan dengan menganggarkan dana penutupan itu dalam komponen biaya perusahaan hingga masa izin berlaku."Pemerintah, harus benar-benar bisa memastikan apakah perusahaan itu sudah menjalankan kewajibannya melakukan penutupan bekas tambang," terang Armia. (mhd)

Sumber Analisadaily.com

Jumat, 27 Mei 2011

Penilaian Pimpinan DPRA : Jalan Jantho-Lamno Harus Dilanjutkan

Fri, Apr 1st 2011, 09:02

BANDA ACEH - Pimpinan DPRA menilai, proyek jalan tembus Keumala (Pidie), Jantho (Aceh Besar) - Lamno (Aceh Jaya) yang telah dirintis oleh Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) bersama BRR NAD-Nias, harus dilanjutkan.

“Tahun depan (2012), Bappeda dan Dinas BMCK Aceh perlu kembali mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan proyek jalan tembus itu,” kata Ketua DPRA, Drs H Hasbi Abdullah didampingi dua wakilnya, H Amir Helmi SH dan Drs Sulaiman Abda, usai meninjau lokasi kedua proyek jalan tembus tersebut, di Jantho, Aceh Besar, Kamis (31/3).

Setelah melakukan peninjuan ke dua ruas jalan tembus tersebut, ketiga Pimpinan DPRA itu mengatakan, proyek jalan tembus Keumala - Jantho - Lamno adalah jalan tembus strategis yang bernilai ekonomis untuk saat ini dan masa mendatang. Antara lain, ia bisa berfungsi untuk pengembangan wilayah dan penciptaan daerah pertumbuhan ekonomi baru.

Untuk jangka pendek, kata Hasbi Abdullah, ruas jalan tembus Jantho -Lamno itu, bisa menjadi ruas jalan alternatif pengiriman kebutuhan pokok dan suplai bahan bakar ke wilayah Aceh Jaya, Meulaboh, Nagan Raya, Abdya dan Tapaktuan seandainya pada ruas jalan pinggir pantaiLamno - Lhoknga putus, akibat tanah longsor, atau badan jalannya amblas ke dasar laut.

Dikatakan, untuk membuat badan jalan yang baru pada rute Lamno- Banda Aceh, terutama di kawasan Gunung Kulu, Geurute dan Paru, bukan pekerjaan yang gampang melainkan sangat sulit dan berat. “Kita harus mengebomnya lebih dulu, baru batu gunungnya bisa dikeruk dengan alat berat untuk buat badan jalan yang baru,” katanya.

Wakil Ketua I H Amir Helmi dan Wakil Ketua II DPRA Drs H Sulaiman Abda sependapat dengan Ketua DPRA. Pimpinan DPRA itu mengatakan, pada tahun ini alokasi anggaran untuk proyek jalan tembus itu tidak dialokasikan, karena Pemerintah Aceh juga sedang kekurangan dana untuk membiayai program prioritas eksekutif dan legislatif. Antara lain untuk melanjutkan program JKA, BKPG, dan bantuan pendidikan bagi anak yatim piatu dan korban konflik, serta bea siswa. Untuk program prioritas itu dibutuhkan dana sekitar Rp 850 miliar.

Kepala Dinas BMCK Aceh, Muhyan Yunan yang diwakili Kabid Pembangunan Jembatan dan Jalan Dinas BMCK Aceh, Ir Fajri MT mengatakan, untuk penyelesaian paket proyek jalan tembus Keumala- Jantho, Pemerintah Aceh sudah pernah dibantu dana oleh BRR NAD-Nias sebesar Rp 150 miliar. Tapi karena, pada saat pelaksanaan kegiatan lapangan pihak BKSD Aceh mengugat, jalur yang dilintasi masuk dalam kawasan cagar alam kegiatannya terhenti, dan yang sempat dibangun dua jembatan rangka baja dari tiga yang direncanakan. Sedangkan untuk pembuatan badan jalannya sudah tuntas.

Sementara untuk ruas Jantho - Lamno yang panjang jalannya diperkirakan sekitar 60 Km, ungkap Fajri, Amdalnya sudah seleai dan kini tinggal izin penggunaan alih fungsi lahan. Jalan yang belum tembus tinggal 10 Km lagi dari 25 KM dari arah Lamno. Sedangkan dari arah Jantho sepanjang 35 KM, semuanya sudah tuntas, tinggal pembangunan 12 jembatan rangka baja dan box culver dengan panjang antara 50-100 meter.

Untuk menembus badan jalan 10 Km yang belum terbuka itu, menurut Fajri, dibutuhkan dana sekitar Rp 20- 25 miliar. “Sementara selama tiga tahun atau sejak 2008-2010 dana yang telah habis untuk pembukaan jalan tembus Jantho - Lamno itu sekitar Rp 55 miliar,” ujarnya.(her)

Sumber : Serambinews.com

Bupati Minta Sisa Dana Otsus Dikembalikan ke Daerah

Fri, Apr 1st 2011, 09:06

BANDA ACEH - Bupati dan wali kota di Aceh meminta kepada Pemerintah Aceh untuk mengembalikan anggaran yang tersisa dari dana otonomi khusus (otsus) dan minyak dan gas (migas) ke daerah, sesuai dengan porsi semula. Mereka berpendapat, selama ini dana yang tersisa dari dua sumber tersebut diraup seluruhnya oleh provinsi, sehingga merugikan kepentingan kabupaten/kota.

Hal itu diungkap Bupati Bireuen, Nurdin AR dalam rapat kerja daerah (Rakeda) III Forum Komunikasi Kabupaten/Kota (FKKA) yang berlangsung di Hotel Hermes Palace, Kamis (31/3). Forum yang dibuka oleh Gubernur yang diwakili Sekda Aceh, Teuku Setia Budi dihadiri para kepala daerah dari 23 kabupaten/kota se-Aceh.

Menurut Nurdin, kebijakan pemerintah provinsi yang menguasai sepenuhnya dana sisa otsus/migas tahun sebelumnya, dinilai sangat merugikan daerah yang tidak bisa menyelesaikan 100 persen proyek yang dibiayai oleh dana tersebut.

Seharusnya, kata dia, dana sisa tersebut harus dikembalikan lagi ke daerah itu dengan porsi semula, yakni 60 persen untuk daerah dan 40 persen provinsi. Menurut dia, yang terjadi saat ini seluruh (100 persen) dana dari kedua sumber itu dikuasai provinsi dan tidak dikembalikan lagi ke kabupaten/kota. “Ini jelas tidak adil dan merugikan daerah. Kebijakan tersebut harus diubah,” ujarnya.

Sedangkan Sekda Aceh, Teuku Setia Budi meminta kabupaten/kota dalam mengusulkan program yang bersumber pembiayaannya dari dana otsus/migas harus mematuhi ketentuan yang telah ditentukan. Artinya, usulan yang diajukan harus sudah dibahas dan disetujui bersama antara eksekutif dengan legislatif.

“Kalau tidak ada persetujuan antara bupati dan DPRK ini akan bermasalah. Karena provinsi akan menolaknya, dan kembali terjadi revisi. Kalau ini yang terjadi menghabiskan waktu dan menambah kerjaan alias tidak efesien,” ujarnya.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 26 Mei 2011

Indeks Kesehatan Aceh Masih di Bawah Standar

Thu, Mar 31st 2011, 10:23

BANDA ACEH - Sebanyak 13 kabupaten/kota di Aceh, dilaporkan memiliki Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang masih berada di bawah standar nasional. Hal ini terungkap dalam Lokakarya Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Rabu (30/3).

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, dr M Yani, mengatakan ke 13 kabupaten/kota dengan IPKM yang masih di bawah standar itu adalah Simeulue, Aceh Singkil, Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Nagan Raya, dan Aceh Jaya. “Para kepala dinas dan kepala puskesmas kabupaten/kota yang IPKM-nya bermasalah itu, kita undang menjadi peserta lokakarya yang diselenggarakan pihak Kementerian Kesehatan, sejumlah perguruan tinggi negeri, dan Dinkes Aceh ini,” kata M Yani.

Dikatakannya, kreteria daerah yang IPKM nya masih rendah atau bermasalah, sebut Yani, dinilai dari indikator derajat kesehatannya masih rendah. Antara lain, jumlah atau angka kematian ibu hamil, balita meninggal, penduduk kurang gizinya masih tinggi. “Selain itu, ketahanan fisik penduduknya terhadap penyakit menular sangat rendah, dan sejumlah faktor penentu lainnya,” katanya.

Ditambahkannya, untuk melakukan reformasi kesehatan dan derajat kesehatan masyarakatnya bisa meningkat, sebagaimana diharapkan Menkes pada Rakernas Kesehatan pada Februari lalu, tidak bisa semuanya dilimpahkan pada Dinas Kesehatan, tapi dinas dan intansi terkait lainnya juga harus mengerahkan programnya untuk mendukung tujuh program reformasi kesehatan tadi.

Pakar kesehatan dari Universitas Indonesia Prof Dr dr Purnmawan Junaidi dan Pakar Kesehatan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr dr Abdul Razak Thaha MPH, mengatakan untuk mencapai hidup sehat itu mahal, tapi jika dilakukan dengan serentak dan gerakan yang berkelanjutan, mahal itu jadi murah bagi rakyat.

“Tanpa ada gerakan dan komitmen yang tingi daripengambil keputusan secara kontinyu dan semua elemen masyarakat mendukungnya, perbaikan derajat kesehatan masyarakat di satu daerah tidak akan mencapai tingkat kesehatan yang lebih baik,” katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes, Dr dr Trihono Msc, yang menyebutkan dalam pelaksanaan hidup sehat, di samping perlu mengubah kebiasaan buruk masyarakat, juga perlu ada kebijakan politis dari anggota DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota setempat untuk mengalokasikan anggaran kesehatan yang cukup untuk rakyatnya, terutama untuk menciptakan lingkungan yang sehat.

“Artinya, program JKA belum cukup untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tapi harus diimbangi dengan gerakan dan program pembangunan kesehatan yang berkelanjutan dan terpadu,” Trihono.(her)

Sumber : Serambinews.com

Ekspor Aceh Memprihatinkan

* Sumbangan Terhadap PDRB Turun 46 Persen
Thu, Mar 31st 2011, 09:19

BANDA ACEH - Seiring dengan makin menyusutnya produksi minyak dan gas (migas), sumbangan ekspor barang dan jasa dalam perekonomian Aceh yang diukur dari penggunaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga semakin kecil.

Tahun 2010 kemarin, ekspor menyumbang 24,93 persen dalam pembentukan PDRB Aceh, merosot sebesar 46,1 persen dibandingkan 10 tahun lalu (2000) yang menyumbang 70,1 persen.

“Sumbangan yang diberikan dari komponen ekspor jauh sekali merosot bila dibandingkan 10 tahun lalu. Penurunan paling tajam terjadi pada tahun 2009 lalu. Laju pertumbuhannya minus 33,07 persen,” kata Kepala BPS Aceh, Syech Suhaimi, kepada Serambi, Rabu (30/3).

Ekspor tersebut dia jelaskan, terdiri dari ekspor luar negeri dan antardaerah. Untuk ekspor luar negeri, penurunan sumbangan yang terjadi selama 1 dasawarsa ini mencapai 54,71 persen, dari 42,43 persen menjadi tinggal 12,28 persen. Sedangkan sumbangan dari ekspor antardaerah turun sebesar 3,66 persen dari 16,32 menjadi 12,66 persen.

“Laju pertumbuhan ekspor selama 10 tahun ini terus menurun (minus), kecuali pada tahun 2002 yang tumbuh 58,61 persen dan tahun 2007 yang tumbuh 2,25 persen,” sebutnya.

Penurunan ekspor tersebut terjadi karena ekspor Aceh masih mengandalkan komoditas minyak dan gas (migas). Karena itu Suhaimi merasa prihatin, ketika produksi migas Aceh benar-benar habis, maka ekspor sudah tak bisa diandalkan lagi untuk menopang ekonomi Aceh.

“Kecuali ekspor komoditas non migas di Pelabuhan Krueng Geukueh Aceh Utara berjalan. Tetapi belakangan saya dengar ekspornya terus tersendat,” imbuhnya.

Suhaimi menjelaskan, ekspor komoditas non migas memiliki multiflier efeck yang sangat luas dalam membangun perekonomian, apalagi dengan struktur ekonomi Aceh yang terpondasi pada sektor pertanian. “Dengan ekspor, hampir semua sektor pembentuk PDRB akan tumbuh. Pertanian tumbuh, industri tumbuh, perdagangan, jasa, perbankan. Semuanya tumbuh,” ucap Syech Suhaimi.(yos)

Sumber : Serambinews.com

Gubernur Resmikan Pusat Penglepasliaran Orangutan

Wed, Mar 30th 2011, 10:03


Seekor orangutan Sumatera dimasukkan ke kandang besar sebagai tempat karantina di Krueng Linteung, Aceh Besar, Senin (28/3). Sebanyak empat ekor orangutan akan dilepasliarkan dalam waktu dekat ke alam bebas di kawasan Cagar Alam Pinus Jantho, Aceh Besar. SERAMBI/SUPRIJAL YUSUF

JANTHO - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf meresmikan pusat penglepasliaran orangutan sumatera yang berlokasi di kawasan cagar alam pinus Jantho, Aceh Besar, Senin (28/3). Ke depan, kawasan ini juga akan dikembangkan sebagai tempat penelitian dan tujuan wisata alam.

Pusat penglepasliaran orangutan sumatera tersebut sudah disetujui pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 436 tertanggal 31 Agustus 2010. Irwandi pada kesempatan itu kembali mengajak semua pihak untuk menjaga alam sebagai sumber kehidupan. “Karena bila alam sudah diganggu apalagi dirusak, maka dapat dipastikan petaka akan datang,” ujarnya.

Dalam acara peresmian itu, turut hadir Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud, Ketua Yayasan Ekosistem Lestari, Sofyan Tan, Direktur Konservasi PanEco-YEL, Lang Singleton, dan Abubakar, Kepala BKSDA Aceh.

Dikatakan, orangutan yang berasal dari Aceh memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan orangutan asal daerah lain di Indonesia. Karena orangutan Aceh, selain cantik juga memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. “Dan saya minta orangutan ini tidak lagi diberi nama orangutan Sumatera, tetapi orangutan Aceh, karena kebanyakan jenis ini terdapat di hutan Aceh” ujarnya.

Secara resmi, Gubernur melakukan penglepasliaran sebanyak empat ekor orangutan ke lokasi yang berada di daerah Krueng Linteung, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Jantho.

Keempat orangutan tersebut yang diberinama Sangir, Kiskis, Mongki dan Pibi. Sedangkan sebelumnya pihak PanCo-YEL telah melepaskan dua ekor orangutan di kawasan itu yang dinilai sangat cocok untuk habitat hewan tersebut.

Orangutan yang dilepasliarkan kemarin, merupakan hasil sitaan dari masyarakat di Aceh yang memelihara secara ilegal, dan sebelumnya sempat di karantina di Pusat Karantina Orangutan Batu Mbelin, Deli Serdang, Sumatera Utara. Jumlah orangutan yang berhasil disita dari masyarakat saat ini yang masih berada di pusat karantina tersebut sebanyak 30 ekor lagi, dan akan dilepaskan ke cagar alam pinus Jantho dalam tahun ini.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Prospek Bisnis Sawit di Aceh Menggiurkan

Wed, Mar 30th 2011, 09:00

MEDAN - Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit), H Joefly Bahroeny, menyatakan bahwa prospek bisnis industri kelapa sawit di Aceh sangat menggiurkan, pasca-ditandatanganinya perjanji damai MoU Helsinki. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga tidak menjadi problem berarti.

“Masalah RTRW tak begitu problem sekali. Kalau dulu masalah keamanan, sekarang dengan adanya perjanjian Helsinki masalah keamanan sudah pulih kembali,” katanya didampingi Direktur Eksektif GAPKI, Fadhil Hasan, usai pembukaan Konferensi ‘Semarak Seratus Tahun Industri Kelapa Sawit Indonesia’ di Medan, Selasa (29/3).

Dia menyebutkan, saat ini lahan perkebunan yang ada di Aceh masih sangat kecil, lebih kecil dari lahan sebuah perusahaan swasta yang ada di Medan. Itu pun, sambung dia, sebagian besar tanamannya sudah harus diremajakan (replanting) kembali. Untuk itu, dia mengimbau perusahaan pemilik perkebunan, baik BUMN maupun swasta, untuk segera mengajukan luas areal yang sudah pantas diremajakan dengan melampirkan sertifikasi lahan yang jelas.

Joefly optimis, ke depan industri kelapa sawit di Aceh tetap berjaya dan menikmati jaman keemasannya. Keyakinan ini cukup beralasan, mengingat ada beberapa perusahaan swasta yang saat ini sudah menghasilkan minyak goreng dan memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit, seperti minyak goreng Falmico produksi PT Astra Agro Lestari yang memiliki lahan perkebunan sawit di beberapa daerah di Aceh.

Pelaksanaan konfrensi Seratus Tahun Kelapa Sawit di Indonesia setidaknya kata Joefly, dapat menjawab skeptisme berbagai pihak tentang masa depan industri kelapa sawit Indonesia dan Aceh khususnya. “Memasuki abad ke dua, perkebunan kelapa sawit Indonesia ke depan akan menghadapi tantangan baru yang lebih besar. Selain harus mempertahankan posisi sebagai produsen CPO terbesar dunia, kita perlu mempercepat pendalaman industri hilir kelapa sawit. Sehingga suatu saat Indonesia mengekspor produk turunan dari CPO yang bernilai tambah tinggi,” ujarnya.

Untuk mempertahankan produksi CPO itu, produktivitas perkebunan kelapa sawit khususnya perkebunan rakyat harus ditingkatkan dengan mengejar produktivitas TBS 35 ton/ha/tahun dengan rendemen 26 persen, dan ini bisa dicapai dengan mengimplementasikan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang pro-people, pro-planet, dan pro-profit.(lau)

Sumber : Serambinews.com

Program Kredit Pusat tak Ada yang Jalan di Aceh

Wed, Mar 30th 2011, 08:55

BANDA ACEH - Program kredit berbunga murah yang diluncurkan Pemerintah Pusat ternyata tak ada satu pun yang berjalan di Aceh. Buktinya tingkat realisasi kredit nihil. Padahal kredit tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendorong sektor pertanian dan peternakan di Aceh.

“Catatan kami, ada tiga program kredit yang diluncurkan Pemerintah Pusat, yaitu KUPS, KKPE, dan KPEN-RP. Semuanya tidak ada yang jalan. Realiasi kredit hampir tidak ada, sementara di daerah lain mencapai miliaran rupiah,” ungkap Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Aceh, kepada Serambi, Selasa (29/3).

KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi) diluncurkan pada tahun 2009 lalu untuk mendanai pengembangan usaha pembibitan sapi potong maupun sapi perah, dalam rangka mewujudkan swasembada daging 2014. Bank pelaksana yang ditunjuk antara lain BRI, BNI, Mandiri, Bank Bukopin dan BPD.

Pelaku usaha katanya, hanya dibebani bunga sebesar 5 persen, dengan waktu pelunasan hingga enam tahun serta batas waktu selama dua tahun. Hingga akhir 2010 kemarin, sebut Fakhrizal, realisais penyaluran kredit secara nasional sudah mencapai Rp 251 miliar.

KPPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) adalah model pembiayaan pertanian untuk mendorong peningkatan produksi komoditas tanaman pangan, peternakan, hortikultura, dan perkebunan, khususnya tebu.

Jangka waktu KKPE ditetapkan oleh bank pelaksana berdasarkan siklus tanam atau siklus usaha. Jangka waktu paling lama 5 tahun dan masa tenggang 2 tahun, suku bunga yang ditetapkan sebesar 5 persen per tahun. Agunan kredit adalah kelayakan usaha dan agunan fisik.

“Ada 22 bank pelaksana yang ditunjuk, terdiri atas 12 BPD, tujuh bank swasta, dan tiga bank BUMN. Realisasi kredit secara nasional sampai Desember 2009 seingat saya sudah mencapai Rp 9,02 triliun,” sebut Fakhrizal.

Sedangkan KPEN-RP (Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan) merupakan program kredit dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan, yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah.

Ada empat bank yang ditunjuk sebagai penyalur, yaitu PT BRI Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT BPD Sumatra Barat, dan PT BPD Sumatra Utara. Total realisasi secara nasional sampai akhir 2010 sudah mencapai Rp 863,77 miliar.

Fakhrizal tidak tahu persis mengapa seluruh program kredit tersebut tidak berjalan di Aceh. Tetapi yang jelas sambungnya, kredit tersebut sangat dibutuhkan di Aceh dalam rangka mendorong sektor pertanian dan peternakan yang memang cukup potensial untuk dikembangkan.

Pengawas Perbankan BI Banda Aceh, Lia Oktaria, juga mengaku belum mengetahui mengapa program-program kredit tersebut tidak berjalan di Aceh. “Untuk mengetahuinya kita harus tanya dulu ke masing-masing bank, apa kira-kira kendalanya,” ucap Lia.(yos)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 19 Mei 2011

Mendagri Prihatin atas Defisit Anggaran Kab/Kota

Tue, Mar 29th 2011, 10:22

JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menyatakan prihatin atas terjadinya defisit anggaran pada sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Kabupaten/kota yang kini mengalami defisit anggaran itu meliputi Aceh Utara, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Barat Daya.

Defisit tersebut, menurut Mendagri, harus segera diatasi. Antara lain, dengan cara merelokasi anggaran dengan tetap memperhitungkan dan menjamin belanja pegawai, melakukan efisiensi belanja dengan titik berat pada belanja pelayanan publik dan prioritas belanja pegawai, serta mengurangi belanja yang tidak perlu dan dan tidak signifikan untuk pelayanan publik.

“Harus segera diambil langkah-langkah solutif untuk mengatasi defisit anggaran. Pemerintah provinsi juga harus melakukan kontrol ketat dan evaluasi RAPBK,” kata Mendagri sebagaimana disampaikan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, menjawab Serambi di Jakarta, Senin (28/3).

Disebutkan, defisit anggaran yang dialami sejumlah kabupaten/kota di Aceh itu diduga karena terjadi ketidakseimbangan belanja anggaran dengan biaya yang tersedia. “Salah satu cara mengatasinya adalah melakukan rasionalisasi belanja,” katanya.

Ia tidak mau terburu-buru mengatakan persoalan yang dihadapi kabupaten/kota tersebut sebagai sebuah ‘kebangkrutan’. “Kalau itu dikatakan bangkrut, maka harus dilihat dulu definisi bangkrut. Saya kira yang terjadi adalah defisit, di mana belanja lebih besar daripada pendapatan,” imbuh Raydonnyzar yang sebelumnya menjabat Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah, Kementerian Dalam Negeri.

Menurutnya, defisit anggaran terjadi karena kesalahan perencanaan penggunaan anggaran oleh pihak eksekutif dan DPRK yang memunculkan overekspektasi (harapan yang berlebihan). “Itu yang harus diseleraskan dulu, jangan sampai overekspektasi,” ingatnya.

Reydonnyzar mengatakan, defisit anggaran memang dimungkinkan, asal tidak melebihi angka 3,5 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Tapi ia tidak yakin kabupaten/kota di Aceh mengalami defisit yang sangat besar, mengingat daerah tersebut memperoleh kucuran dana yang sangat besar tiap tahunnya, yakni dana Otonomi Khusus (Otsus), bagi hasil migas dan sebagainya. “Kalau itu terjadi, maka yang harus kita pertanyakan, seberapa efektif dana otsus yang besar itu,” tanya Reydonnyzar.

Ia mengingatkan bahwa kontrol dan evaluasi anggaran di masing-masing kabupaten/kota berada pada pemerintah provinsi. “Evaluasi itu ada di pemerintah provinsi,” tukas Kapuspen.

Tak dibenarkan
Raydonnyzar menamahkan, Kementerian Dalam Negeri sejauh ini belum mendapat laporan resmi mengenai defisit anggaran yang dialami kabupaten/kota di Aceh. “Kita akan evaluasi dan pelajari lebih detail, apa sesungguhnya yang terjadi di sana,” kata Kapuspen.

Ketika dikatakan bahwa kabupaten/kota di Aceh tidak mampu lagi membayar gaji pegawai, Kapuspen mengatakan sangat mustahil terjadi karena dana tersebut tersedia dalam dana Alokasi Umum (DAU). “Makanya nanti kita akan pelajari seperti apa,” katanya.

Hanya saja ia ingatkan, pemerintah daerah tidak dibenarkan melakukan pinjaman kepada lain untuk membayar gaji pegawai. “Sangat tidak dibenarkan pemda pinjam uang untuk bayar gaji. Tidak ada rumusnya,” tukas Reydonnyzar.

Secara terpisah, Wakil Ketua Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh-Papua DPR RI, Drs Marzukli Daud mengatakan, kabupaten/kota harus mengatasi terjadinya defisit anggaran. “Saya kira perlu keseimbangan antara pendapatan dan besarnya belanja,” kata politisi Partai Golkar yang kini duduk di Komisi IV DPR RI ini.

Prihatin
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh, Dr Ahmad Farhan Hamid juga menyatakan prihatin terhadap defisit anggaran yang dialami mayoritas kabupaten/kota. “Dana yang diterima kabupaten/kota cukup besar, maka alangkah musykil kalau ada daerah yang harus pinjam uang untuk bayar gaji,” kata Farhan yang juga Wakil Ketua MPR RI.

Dia sarankan pemerintah provinsi harus melakukan pengawasan dan evaluasi yang ketat terhadap daerah-daerah yang mengalami defisit anggaran, seperti Aceh Utara, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Barat Daya. (fik)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 09 Mei 2011

BMKG: Gelombang di Aceh Capai 3,5 Meter

Sat, Mar 26th 2011, 14:10
* Hujan dan Angin Kencang Landa Singkil

BANDA ACEH - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Blangbintang, Aceh Besar memprediksi, dalam sepekan ini (periode 25-31 Maret) di Aceh masih berpeluang turun hujan dengan intensitas ringan hingga sedang, disertai petir dan angin kencang yang durasinya singkat. Sedangkan gelombang di perairan utara dan barat-selatan Aceh, sepekan ke depan, menurut Kasi Observasi dan Informasi BMKG Blangbintang, Alvianto, melalui prakirawan Rahmad Tauladani,

tinggi maksimalnya bisa mencapai 3,5 meter. Ini karena, pengaruh dari adanya daerah tekanan rendah yang terjadi di utara Aceh. Sementara itu, cuaca ekstrem melanda Kabupaten Aceh Singkil kemarin. Saat matahari terik, hujan deras disertai angin kencang tiba-tiba melanda wilayah ini, Jumat (25/3) sekitar pukul 10.00 WIB. Beruntung, tidak menimbulkan korban apa pun, karena hujan deras disertai angin kencang itu tidak lama. Namun, sejumlah lokasi yang rawan banjir di daerah ini mulai tergenang. Warga yang sedang berada di jalan mendadak panik dan berlarian mencari tempat berlindung. “Anginnya kuat sekali, mana hujan lebat lagi, seperti hampir-hampir jatuh saya saat naik sepeda motor,” kata Mas Yanto, warga Singkil.

Sementara itu, sejumlah wilayah di daerah aliran sungai mulai tergenang akibat meningkatnya volume air. Pantauan Serambi di Dusun Pelita, Gunung Lagan, yang dekat dengan sungai Lae Ijuk, air mulai merendam pekarangan rumah warga dan perkebunan kelapa sawit. Cepatnya air di daerah itu naik, diduga karena banyaknya rawa yang selama ini berfungsi sebagai penampung air (reservoar), kini dikonversi menjadi kebun sawit.

Begitu pula halnya dengan volume air di sejumlah sungai besar yang bermuara ke Laut Singkil, seperti Lae Soraya dan Cinendang, mulai bertambah akibat tingginya curah hujan. Oleh karena itu, warga yang bermukim di DAS tersebut diminta mewaspadai kemungkinan banjir. Terkait genangan air di Singkil, Kasi Observasi dan Informasi BMKG Blangbintang melalui prakirawan Rahmad Tauladani kepada Serambi di Aceh Besar, Jumat (25/3) mengatakan, hujan yang mengguyur Aceh Singkil kemarin intensitasnya sedang hingga lebat. Curah hujannya di atas 50 milimeter (mm).

Selain intensitas hujan yang tinggi, Aceh Singkil juga dilanda angin kencang berkecepatan 30 km/jam. “Namun, prakiraan kita besok intensitasnya mulai menurun. Hujan yang turun itu berintensitas ringan, sementara kecepatan angin masih 30 km/jam,” ungkap forcester ini. Menurut Rahmad, terjadinya cuaca buruk di Aceh Singkil kemarin dipicu oleh adanya daerah tekanan di wilayah tersebut yang mengakibatkan awan-awan konvektif (awan hujan) berkumpul di atas wilayah Aceh Singkil dan sekitarnya.

Masih terjadi
Bicara scope yang lebih luas, Rahmad mengatakan, untuk wilayah Aceh secara keseluruhan, sepekan ke depan, akibat pengaruh adanya daerah tekanan rendah di Samudra Hindia sebelah utara Aceh, serta hangatnya suhu permukaan laut, sehingga memberi peluang bagi tumbuhnya awan-awan konvektif di atas atmosfer Aceh. Pertanda, hujan berpeluang turun.

Keadaan cuaca yang seperti ini, diprediksi Rahmad, masih potensif terjadi dalam beberapa hari ke depan. Daerah-daerah yang terkena dampak akibat dari tekanan rendah tersebut adalah Aceh bagian utara, timur, dan tengah. “Angin kencang bertiup dari arah barat dengan kecepatan berkisar 10-30 km/jam,” prediksinya tujuh hari ke depan.

Capai 3,5 meter
Rahmad Tauladani secara khusus mengimbau masyarakat yang tinggal di sekitar pantai, pengguna atau pengusaha jasa angkutan penyeberangan laut, dan para nelayan agar senantiasa waspada dan berhati-hati saat melaut. Menurutnya, tinggi gelombang di perairan Aceh dalam pekan ini berkisar 1-3 m. Sedangkan di perairan utara-timur Aceh, tingginya 0,75-2 m dan di perairan barat-selatan Aceh berkisar 1-2,5 m.

Para nelayan di Aceh dia ingatkan untuk mewaspadai tinggi gelombang di perairan laut yang diperkirakan berpotensi mencapai 3,5 meter. “Perkiraan gelombang tinggi perairan laut Aceh itu disebabkan pengaruh dari adanya daerah tekanan rendah di Laut Arafura (Australia), karenanya kami mengimbau nelayan agar berhati-hati,” kata pejabat ramalan cuaca Aceh, Alvianto, di Banda Aceh, Jumat.

Kasi Observasi dan Informasi BMKG pada Balai Besar Wilayah I Stasiun Meteorologi Blangbintang itu menyebutkan juga tinggi gelombang di perairan barat dan selatan Aceh berkisar satu hingga dua meter. Didampingi prakirawan BMKG Rahmad Tauladi, ia juga menyebutkan prospek cuaca untuk wilayah Aceh tersebut diperkirakan Aceh itu berlaku hingga beberapa hari mendatang. Daerah-daerah yang terkena dampak akibat dari tekanan rendah tersebut, antara lain, Aceh bagian utara, timur, dan tengah. Selain Aceh, daerah pertumbuhan awan-awan hujan juga meliputi wilayah Sumatera bagian utara dan selatan, Jawa, Kalimantan bagian selatan dan timur, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Maluku Tenggara, Papua Barat, dan Papua. (c47/c39/ant)

Sumber : Serambinews.com

Kemdagri: Hanya Aceh yang belum Rampungkan Qanun APBD

Sat, Mar 26th 2011, 14:06
* Terancam Penundaan DAU 25 Persen

JAKARTA - Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Yuswandi A Temenggung menyatakan, saat ini dari 33 provinsi di Indonesia, hanya Aceh yang belum menyelesaikan Peraturan Daerah (Perda)/Qanun APBD-nya. Seiring dengan itu ia ingatkan bahwa pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Aceh, akan dikenai sanksi penundaaan penyaluran dana alokasi umum (DAU) sebesar 25 persen, apabila tidak dapat menyelesaikan Perda/Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya tahun ini secara tepat waktu.

“Sanksi itu dan tata caranya diatur dalam PP Nomor 65 Tahun 2010,” kata Yuswandi kepada Antara di Jakarta, Jumat (25/3). Yuswandi mengungkapkan, data terbaru yang diterima Kemdagri hingga Rabu siang, masih 19 daerah--umumnya kabupaten/kota--yang belum menyelesaikan Perda tentang APBD.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengungkapkan sebanyak 27 daerah belum merampungkan Perda tentang APBD. Dari 524 pemda di seluruh Indonesia, sebanyak 497 pemda sudah menyampaikan APBD-nya. Terdiri atas 32 provinsi, 378 kabupaten, dan 87 kota. Dengan demikian, di tingkat provinsi hanya Aceh yang belum merampungkan Qanun APBD-nya. Pemerintah Aceh, menurutnya, masih dalam proses membahas APBD dengan DPRA.

Namun, Yuswandi tidak merincikan kabupaten/kota mana saja yang belum menyerahkan Perda APBD-nya ke Mendagri, sehingga belum diketahui adakah di antaranya kabupaten/kota yang berada di Provinsi Aceh. Ia hanya menekankan bahwa Perda APBD kabupaten/kota harus dievaluasi lebih dulu oleh pemerintah provinsi sebelum diserahkan ke Kementerian Keuangan.

Di sisi lain, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowirjono, Kamis (24/3) menjelaskan, berdasarkan peraturan yang berlaku seharusnya Perda APBD sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan paling lambat 31 Januari pada tahun pelaksanaan anggaran. Menurut dia, jika sampai batas waktu yang ditentukan tidak juga ada penyelesaian Perda APBD, maka akan dikenai sanksi, yakni penundaan penyaluran DAU kepada daerah yang bersangkutan.

“Penyaluran DAU akan ditahan sebesar 25 persen, tapi nanti kalau sudah selesai akan disalurkan juga,” katanya. Marwanto tidak bersedia menyebutkan daerah-daerah mana saja yang belum menyelesaikan Perda APBD-nya. “Karakter daerah macam-macam, ada yang hubungan eksekutif dengan legislatifnya mesra, tapi ada juga yang sebaliknya,” katanya. Ia berharap daerah-daerah tersebut dapat segera menyelesaikan Perda APBD-nya sesegera mungkin. (ant)

Sumber : Serambinews.com

Indonesia Kandidat Utama Penerima Oscar Lingkungan

Sat, Mar 26th 2011, 14:05
Berkat Moratorium Logging di Aceh

LONDON - Indonesia kini menjadi kandidat utama penerima Oscar Lingkungan Hidup oleh World Future Council Foundation (WFC), karena adanya kebijakan Gubernur Aceh menerapkan moratorium logging atau jeda penebangan hutan sejak 2007. Pejabat Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin, Purno Widodo kepada Antara di London, Kamis (24/3), mengatakan, selain Indonesia, negara lain yang dinominasikan menerima penghargaan serupa adalah Bhutan, Brazil, Costa Rica, Equador, Finlandia, Gambia, Guatemala, Kenya, Nepal, Norwegia, India, Rwanda, Turki, Amerika Serikat, dan Vietnam.

Seleksi masih akan dilakukan hingga tersisa enam negara saja. “Dari jumlah itu akan dipilih tiga pemenang kebijakan yang terbaik,” ujar Purno Widodo. Dalam keterangan persnya, WFC menyampaikan pencalonan Indonesia sebagai penerima “The Future Policy Award 2011” atas berbagai kebijakan prolingkungan yang ditempuh Pemerintah Aceh melalui Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2007.

Kebijakan tersebut ditempuh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf guna mengembalikan fungsi ekologis dan hidrologis hutan serta untuk menata kembali strategi pembangunan hutan Aceh demi mencegah terjadinya kembali musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar yang disebabkan adanya kerusakan hutan, terutama pascatsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Instruksi Gubernur Aceh itu “tertangkap radar” WFC, lembaga nirlaba yang bertujuan memberikan masukan kepada politisi dan pengambil kebijakan guna menciptakan kerangka pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kepentingan keadilan antargenerasi.

Pada tahun 2010, pemenang penghargaan ini adalah Costa Rican Biodiversity Law 1998, Australian Great Barrier Reef Marine Park Act 1975 and Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999, serta Tuscan Regional Law 2004 on the Protection and Promotion of Heritage of Local Breeds and Plant Varieties. Penghargaan kepada tiga pemenang dari enam negara yang terpilih itu akan dikukuhkan pada tanggal 21 September pada Sidang Majelis Umum PBB di New York. Sekretariat UNFF, Sekretariat UN-CBD, WFC dan World Conservation Society akan bertindak selaku tuan rumah pada upacara penyerahan tersebut.

Salah satu bukti
Dubes RI untuk Republik Federal Jerman, Eddy Pratomo mengatakan, KBRI Berlin menyambut baik nominasi tersebut dan ini merupakan salah satu bukti kepemimpinan RI dalam upaya perlindungan iklim global, mencegah penggundulan hutan, serta melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati. Dikatakannya hal ini tentunya juga merupakan bukti pengakuan masyarakat internasional terhadap berbagai upaya positif Pemerintah RI di bawah kepemimpinan SBY-Boediono dalam memelihara “paru-paru” dunia.

WFC merupakan suatu lembaga nirlaba yang bertujuan memberikan masukan kepada para politisi dan pengambil kebijakan guna menciptakan kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan yang selalu mempertimbangkan kepentingan keadilan antargenerasi. Berbasis di Hamburg, Jerman, serta berkantor cabang di London, Brussels, Washington DC dan Johannesburg, WFC beranggotakan 50 pakar dari seluruh dunia yang banyak berkiprah dalam menyuarakan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Sekretaris Daerah Aceh, Teuku Setia Budi yang dimintai komentarnya mengenai hal ini tadi malam mengatakan, mudah-mudahan Indonesia meraih penghargaan “Oscar Lingkungan Hidup” tahun ini, karena keberhasilan kebijakan moratorium logging di Aceh.

Diadopsi Indonesia
Sementara itu, dari Banda Aceh dilaporkan, sebuah tim kecil dari Bamboedoe Communication yang berkolaborasi dengan UNDP Jakarta sejak dua hari lalu berada di Banda Aceh. Tim yang terdiri atas tiga personel ini sedang melakukan serangkaian wawancara dengan berbagai pihak untuk mengevaluasi efektivitas moratorium logging yang dicanangkan Gubernur Irwandi sejak tahun 2007. Tim ini juga menelusuri kemungkinan apakah moratorium logging yang kini berlaku di Aceh layak atau tidak diadopsi oleh pemerintah pusat sebagai program nasional penyelamatan hutan Indonesia. Dalam kaitan itu, tim ini telah dan masih akan mewawancarai sejumlah aktivis dan wartawan lingkungan hidup, akademisi, termasuk Kepala Sekretariat Aceh Green, Yakob Ishadamy. (ant/dik)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 04 Mei 2011

Aceh Panen Raya, Harga Gabah Merosot

Thu, Mar 24th 2011, 07:58


Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Aceh Timur, Ir Marwi Umar (kanan) bersama unsur muspika dan anggota DPRK, ketika melakukan panen perdana padi hibrida verietas DG I, di Desa Paya Unoe Kecamatan Ranto Peureulak, Rabu (23/3). SERAMBI/NASRUDDIN

BANDA ACEH - Harga gabah kering panen (GKP) pada tingkat pedagang penampung di Aceh merosot cukup tajam menyusul meningkatnya pasokan selama musim panen raya ini. Gabah yang sebelumnya dijual di kisaran Rp 5.000 turun menjadi Rp 3.200 sampai Rp 3.300 per kilogram, atau turun sebesar 36 persen.

“Harga gabah sepekan terakhir berangsur turun dibanding sebelum panen raya,” kata pedagang penampung di Aceh Besar, Darwin. Ia mengatakan, harga komoditas tersebut akan turun apabila harga beras juga mengalami penurunan di pasaran, akibat meningkatnya pasokan saat musim panen raya. Di samping itu, penurunan harga itu juga dipengaruhi oleh penurunan harga di pasaran Sumatera Utara.

“Kami perkirakan harga gabah akan turun lagi sekitar Rp 100 hingga Rp 200 per kilogram. Harga beras sebelumnya mencapai Rp 6.000 per kilogram kini menjadi Rp 5.600,” sebutnya.

Pihaknya akan berupaya menampung pasokan gabah milik petani sejumlah kawasan yang memasuki panen raya komoditas pangan tersebut, sesuai dengan harga di pasaran. Adapun sejumlah daerah yang memasuki panen raya itu di antaranya Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Terlilit Utang Bank dan Proyek, Sejumlah Kabupaten Mulai ‘Bangkrut’

* DPRA tak Alokasi Bayar Utang Tahun Ini

BANDA ACEH - Setelah Pemkab Aceh Utara pada tahun 2010 minta bantuan keuangan kepada Pemerintah Aceh untuk membayar gaji perangkat desanya yang sudah tertunggak setahun, tahun ini giliran Pemko Langsa dan Pemkab Bireuen melakukan hal serupa. Mereka minta bantuan uang tunai ke provinsi, karena terlilit utang uang pada bank dan utang pelunasan proyek.

Pemko Langsa dikabarkan tersangkut utang uang pada Bank BPD Aceh senilai Rp 21,8 miliar, sedangkan Pemkab Bireuen tersangkut utang uang proyek periode 2006-2010 yang belum dibayar, lebih dari Rp 30 miliar.

Wali Kota Langsa, Zulkifli Zainon dalam surat permohonan bantuan dana untuk melunasi pinjaman yang ditujukan kepada Gubernur Aceh tanggal 6 Januari 2011, tampak jelas memohon kepada Gubernur Irwandi Yusuf agar memberikan bantuan uang Rp 21,8 miliar untuk melunasi pinjaman uang bank bersama bunganya. Uang itu dipinjam dari Bank BPD Aceh (sekarang Bank Aceh, red) pada saat pelaksanaan perubahan APBK 2010, sebesar Rp 20 miliar.

Pemko Langsa meminjam uang di bank saat itu, tulis Zainon dalam suratnya kepada Gubernur Aceh, karena pada pos pengeluaran pembiayaan, ada utang kegiatan tahun anggaran 2009 senilai Rp 21,8 miliar. Utang kegiatan itu jika dijumlahkan dengan defisit anggaran sebelum pembiayaan, sudah ada Rp 16,2 miliar, sehingga saat itu total defisitnya bertambah menjadi Rp 37,3 miliar.

Untuk menutupi defisit itu, Pemko Langsa bersama DPRK-nya mengambil kebijakan meminjam uang ke Bank Aceh Rp 20 miliar. Uang yang dipinjam itu justru jatuh tempo akhir tahun ini. Maka Pemko wajib melunasinya.

Pada penyusunan RAPBK 2011, uang untuk membayar pinjaman itu sudah dianggarkan. Jika uang itu dibayarkan ke Bank BPD Aceh, maka pada tahun ini Pemko Langsa tak bisa melaksanakan program pembangunan yang telah disusunnya dalam RAPBK 2011, mengingat uang yang tersedia hanya cukup untuk belanja rutinitas kantor. Kecuali itu, pada tahun ini juga akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di kota itu yang anggarannya sampai kini belum tersedia.

Utang proyek
Sementara itu, kemelut keuangan yang dihadapi Pemkab Bireuen bukan karena terlilit utang pada bank, melainkan 12 Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK)-nya masih berutang uang proyek sejak tahun 2006-2010 pada pihak ketiga yang telah melaksanakan kegiatan sebesar Rp 30 miliar lebih.

Ketua DPRK Bireuen, Ridwan Muhammad SE menyampaikan inventarisasi daftar utang SKPK Bireuen yang belum dibayar kepada Gubernur Aceh senilai Rp 30 miliar.

Dalam suratnya kepada Gubernur Aceh, tanggal 4 Februari 2011, menyusul surat Bupati Bireuen tanggal 18 Januari 2011 untuk hal yang sama, Ketua DPRK Bireuen itu sengaja menyurati Gubernur Irwandi guna mohon petunjuk untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi daerahnya.

Dari 12 SKPK yang terdaftar menunggak pembayaran uang paket proyek, yang paling besar adalah pada SKPK Bidang Pemerintahan Umum, mencapai Rp 13 miliar. Tunggakan itu bersumber dari pembayaran ganti rugi tanah masyarakat yang telah dipakai Pemkab Bireuen, tapi sampai kini belum dilunasi.

Penunggak lainnya Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga Rp 7,5 miliar, Dinas Pekerjaan Umum Rp 6,5 miliar, Dinas Kesehatan Rp 881 juta, RSUD dr Fauziah Rp 521,6 juta, Dishubkomintel Rp 329,9 juta, Badan Pelaksana Penyuluhan Pangan Rp 213,7 juta, Bagian Umum Rp 181,8 juta, Kantor Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan Rp 130 juta, Disperindagkop dan UKM Rp 193,5 juta, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Rp 42,1 juta. Bagian Humas dan Protokoler pun menunggak Rp 67 juta.

Sekda Aceh Teuku Setia Budi yang dikonfirmasi Serambi mengenai permohonan bantuan keuangan Pemko Langsa dan Pemkab Bireuen itu mengatakan, sampai kemarin belum ada pembahasan khusus mengenai permohonan bantuan keuangan untuk kedua daerah itu. Pemerintah provinsi pun, menurut Setia Budi, saat ini untuk memenuhi usulan program dan kegiatan SKPA dalam RAPBA 2011, masih kekurangan anggaran Rp 1,1 triliun lagi dari kebutuhan tambahannya Rp 2,2 triliun.

Akibat belum tersedianya anggaran dari penerimaan, maka dalam pertemuan pekan lalu, antara Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dengan Badan Anggaran DPRA, pagu RAPBA 2011 ditetapkan pada besaran Rp 7,945 triliun.

Tidak diplot
Ketua DPRA, Hasbi Abdullah yang didampingi Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA, Abdullah Saleh mengatakan, dalam pembahasan RAPBA 2011, antara Pokja Badan Anggaran dengan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) tidak ada pembahasan mengenai bantuan keuangan kepada kab/kota yang mengalami masalah keuangan berat, seperti Pemko Langsa dan Pemkab Bireuen.

Tidak satu pun SKPA membicarakan masalah itu, dan ini kemungkinan, menurut Abdullah Saleh, karena SKPA juga pada pembahasan bersama dengan Pokja Badan Anggaran DPRA, banyak usulan programnya yang harus dihilangkan, karena tak tersedianya anggaran yang memadai. “Belajar dari masalah defisit anggaran yang dialami pemkab/pemko, maka dalam penyusunan RAPBK maupun RAPBA 2012 mendatang, hindari defisit terbuka yang terlalu besar,” saran Abdullah Saleh.

Selain itu, susun belanja pembangunan dengan penerimaan yang seimbang, kemudian rasionalisasi jumlah PNS dan pegawai honorer. Kiat lainnya, menurut Abdullah Saleh, adalah tekan biaya rutin kantor dan tingkatkan penerimaan daerah melalui penggalian sumber lokal dan jangan terus bergantung pada peneriman dari pusat. “Jika kita terus bergantung pada penerimaan dari dana tambahan bagi hasil migas dan otsus, tanpa menggali sumber penerimaan daerah sendiri sebagai PAD, maka setelah masa penerimaan dana otsus habis 16 tahun lagi, Pemerintah Aceh dan 23 kabupaten/kotanya bisa collaps atau bangkrut karena peneriman dari pusat besarannya terus cenderung menurun,” timpal Hasbi Abdullah. (her)

Sumber : Serambinews.com

Cegah Penebangan Kayu, Masyarakat Sekitar Hutan Akan Diberdayakan

Tue, Mar 22nd 2011, 08:17

BANDA ACEH - Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Kadishutbun) Aceh, Ir Fakhruddin Polem mengatakan, untuk menjaga supaya tidak ada penebangan kayu dan kelestarian hutan tetap terjamin keberlangsungannya, maka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mutlak harus dilakukan.

Untuk itu dinas yang dipimpinnya itu akan meluncurkan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam waktu dekat. “Kita akan memberikan bantuan bibit tanaman yang bernilai ekomonis bagi mereka,” kata Fakhruddin kepada Serambi, Senin (21/3).

Bila program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dilakukan secara bersinambungan berjalan optimal, Fakhruddin yakin, hutan di Aceh akan menjadi lestari dan terjaga dari kerusakannya.

“Kami menyadari kalau selama ini masyarakat sekitar hutan agak kurang mendapat perhatian. Karena itu, Pak Gubernur sudah meminta kami untuk membuat program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan,” katanya.

Disebutkan dia, bantuan bibit tanaman yang bernilai ekonomis tinggi yang akan diberikan pada masyarakat sekitar hutan meliputi, karet, coklat, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Termasuk memberi bantuan sarana pertanian untuk mendukung program tersebut.

KBR
Disamping itu, Dishutbun Aceh saat ini sedang gencar melakukan gerakan memperbaiki lingkungan. Untuk mendukung program tersebut, Dishutbun telah membangun sebanyak 284 unit Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Setiap KBR tersedia minimal 50.000 batang bibit tanaman seperti, mahoni, sentang, durian, kemiri, pinus, dan jabon.

“Program ini juga dalam rangka mendukung aksi dunia terkait mengantisipasi pemanasan global. Kalau tidak kita yang mengantisipasi persoalan suhu yang semakin panas belakangan ini, siapa lagi,” tandasnya.(sup)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 02 Mei 2011

Film Dokumenter Radio Rimba Raya Diputar

Thu, Mar 17th 2011, 09:49

BANDA ACEH - Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh bekerja sama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, memutar film dokumenter, sekaligus diskusi tentang sejarah Radio Rimba Raya di Gedung Pascasarjana IAIN Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3).

Ketua KNPI Aceh, Ihsanuddin mengatakan selain dirinya, sutradara film tersebut, Ikmal Gopi juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu, disamping pakar sejarah Aceh, M Adli Abdullah dan dosen IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Hasbi Amiruddin.

Menurut Ihsanuddin, sejarah Radio Rimba Raya perlu dilestarikan agar masyarakat, khususnya warga Aceh mengetahui sejarah media yang sangat berperan untuk kemerdekaan RI kala itu. Lewat radio ini, katanya, Gubernur Militer Provinsi Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Daud Beureueh membantah provokasi Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta), Dr Beel yang menyatakan seluruh daerah di Indonesia sudah tumbang karena berhasil dikuasai tentara Belanda.

“Pada tahun 1948, lewat Radio Rimba Raya yang bisa didengar hingga ke Belanda dan India, selanjutnya diteruskan ke seluruh dunia. Tgk Daud Beureueh mengumumkan Indonesia masih tegak, kokoh, merdeka, dan berdaulat. Tidak seorang Belanda pun berani mendekat ke tanah rencong. Suara pada pukul 06.00 WIB, 20 Desember 1948, membingungkan PBB, pihak PBB menilai pernyataan Dr Beel hanya provokasi,” kata Ihsanuddin.

Menurut dia, film dokumenter yang disutradarai alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ikmal Gopi itu menampilkan wawancara antara lain dengan wartawan senior Rosihan Anwar dan tokoh Indonesia, Bustanul Arifin yang baru-baru ini telah meninggal dunia. Film berdurasi 80 menit ini juga meraih lima besar dalam festival film dokumenter Indonesia tahun 2010.

“Dalam membuat film ini sutradara mencari bahan tentang sejarah radio tersebut ke berbagai museum di Indonesia. Kita harapkan, film ini bisa ditonton, terutama oleh guru dan murid sekolah agar sejarah ini betul-betul dipahami,” harap Ihsanuddin.

Kemarin, nonton bersama dan diskusi tentang sejarah film dokumneter tersebut turut diikuti Wakil Wali Kota Sabang, Islamuddin, para sejarawan, penulis, guru, mahasiswa, pengurus museum, arkeolog, seniman, dan antropolog di Aceh.(sal)

Sumber : Serambinews.com

Akibat Hujan Deras, 3 Ruas Jalan Antarkab Longsor dan Putus

* Terparah Ruas Blangkejeren-Terangon
Mon, Mar 14th 2011, 10:25

BANDA ACEH - Hujan deras yang mengguyur sepanjang Kamis (10/3) malam hingga Jumat (11/3) pagi pekan lalu, menyebabkan tiga ruas jalan antarkabupaten (antarkab) terputus akibat longsor. Dari tiga ruas jalan tersebut, yang paling parah kondisinya terjadi pada ruas Blangkejeren-Terangon menuju Aceh Barat Daya (Abdya), tepatnya di Desa Sekeulen, Kecamatan Blangjerango. Pada Km 20-nya terjadi longsor.

Informasi ini diperoleh Serambi dari Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Dr Ir Muhyan Yunan di Banda Aceh, Minggu (13/3) kemarin. Menurut Muhyan, untuk memperbaiki ruas jalan yang longsor di Desa Sekeulen Kecamatan Blangjerango itu, dibutuhkan waktu satu minggu, mengingat badan jalan yang amblas sedalam 15 meter. Badan jalan yang amblas itu harus ditimbun lebih dulu, baru bisa dilalui mobil barang dan penumpang umum, seperti minibus L-300.

Untuk menangani badan jalan yang amblas, kata Muhyan, ia telah memerintahkan kontraktor yang sedang bekerja pada ruas jalan tersebut, yaitu PT Pelita Nusa, untuk memperbaiki badan jalan yang amblas sedalam 15 meter itu.

“Kita harapkan, jalan yang amblas bisa secepatnya diperbaiki oleh kontraktor yang sedang mengerjakan ruas jalan tersebut dari perkiraan awalnya paling lambat satu minggu,” ujarnya.

Selain ruas jalan Blangkejeren-Terangon, kata Muhyan, masih ada dua ruas jalan antarkab lainnya yang longsor, yaitu Kutacane (Aceh Tenggara)-Blangkejeren (Gayo Lues) dan Takengon (Aceh Tengah)-Pameu, (Pidie). Akibat tanah longsor yang menimbun badan jalan di lintasan ini, arus transportasi pada ruas jalan tersebut jadi macet.

Untuk melancarkan kembali arus transportasi umum, kata Muhyan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan dinas PU kabupaten setempat agar mengirim alat berat untuk bantu membersihkan tumpukan lumpur dan batu yang jatuh dari atas bukit dan tebing yang menutup badan jalan.

Kecuali itu, operator alat berat juga diminta membuat dan membersihkan saluran air yang tersumbat, agar badan jalan tidak tergerus air dan amblas ke dasar jurang.

Terkait bencana alam banjir bandang yang menimpa 12 desa di Kecamatan Tangse, Pidie, pada Kamis (10/3) malam, kata Muhyan, pihaknya sudah mengirim alat berat untuk memperbaiki badan jalan yang tergerus air sepanjang 500 meter. Sekaligus menarik lumpur pasir yang masih menumpuk di atas badan jalan dengan ketebalan antara 50-100 cm, bahkan ada yang lebih.

Muhyan menambahkan, dalam penanganan bencana alam, tindakan darurat yang perlu dilakukan Dinas BMCK adalah melancarkan kembali arus transportasi jalan masyarakat ke lokasi daerah yang dilanda bencana banjir dengan cara memperbaiki badan jalan dan jembatan yang putus akibat diterjang air bah. Tujuannya supaya pelaksanaan evakuasi warga yang masih terjebak lumpur bisa dilakukan dan suplai bahan makanan untuk masyarakat yang terkena bencana alam bisa lancar kembali.

Ditangani terpadu
Gubernur Aceh, Irwndi Yusuf yang menerima laporan dari Dinas BMCK Aceh mengatakan, arus transportasi yang macet dan terputus akibat bencana alam tanah longsor di wilayah Aceh pedalaman perlu segera ditangani secara terpadu. “Jika kondisinya parah dan membutuhkan waktu penyelesaian yang cepat dan tepat, kita bisa minta bantu pihak Zidam Iskandar Muda,” ujar Irwandi yang kemarin sedang berada di Jakarta.

Bencana tanah longsor, kata Irwandi Yusuf, tetap akan terjadi, terutama pada ruas jalan bukaan baru maupun lama yang areal hutannya dirambah baik dengan dalih membuka kebun maupun untuk mengambil kayu bulatnya.

Bencana banjir bandang yang terjadi di Tangse, Pidie, yang sempat menelan korban jiwa, selain akibat besarnya volume hujan yang turun di wilayah Gunung Halimon dan Tangse, juga akibat penebangan pohon di wilayah itu secara ilegal.

Wakil Ketua II Bidang Pembangunan DPRA, Drs H Sulaiman Abda mengatakan, perbaikan badan jalan yang amblas akibat tanah longsor perlu segera dilaksanakan oleh dinas teknis. Tujuannya, supaya arus transportasi bisa kembali lancar dan masyarakat tidak kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti minyak lampu, elpiji, minyak goreng, telur ayam, gula pasir, beras, dan lainnya. (her)

Sumber : Serambinews.com