Rabu, 30 Maret 2011

800 Ha Lahan Kakao di Aceh Akan Direhabilitasi

Sat, Feb 19th 2011, 10:03

BANDA ACEH - Tahun ini Aceh menjadi sasaran Program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao dari Pemerintah Pusat. Ada empat kabupaten yang terpilih jadi tempat pelaksanaan dengan total luas lahan kakao yang akan direhabilitasi dan diremajakan mencapai 800 hektare. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh, Fakhruddin Polem, menyebutkan, empat kabupaten tersebut di antaranya adalah Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Timur. “ Dananya bersumber dari APBN 2011, sekitar Rp 20 miliar,” sebut Fakhruddin, Jumat (18/2).

Masing-masing kabupaten dikatakan akan memperoleh jatah rehab dan peremajaan tanaman kakao seluas 200 hektare. Fakhruddin memperkirakan akan ada ribuan petani yang menerima manfaat dari program Gernas tersebut. “Program ini merupakan yang pertama di Aceh, setelah sebelumnya diberikan kepada petani wilayah timur Indonesia. Kami berharap agar petani bisa memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan benih dari pusat ini,” imbuhnya.

Fakhruddin menjelaskan, sasaran penerima manfaat dari bantuan bibit unggul kakao ini adalah para petani yang sudahmembudidayakan tanaman kakao. Artinya, program tersebut ditujukan untuk mengganti tanaman yang sudah tidak produktif lagi sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas komoditas tersebut. “Yang paling penting adalah peningkatan kualitas dan produksi kakao petani, dengan harapan bahwa target Aceh sebagai daerah sentra bisa tercapai,” ucapnya. Fakhruddin menambahkan, Aceh saat ini memiliki sekitar 75.000 hektare tanaman kakao yang semuanya milik masyarakat petani.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 29 Maret 2011

YLI dan DPRA Klarifikasi tentang Pembalakan Hutan

Fri, Feb 18th 2011, 07:53

BANDA ACEH - Yayasan Leuser Internasional (YLI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengklarifikasi pemberitaan yang berjudul ‘Moratorium tak Mampu Cegah Pembalakan Hutan’ dengan sub judul ‘Di Nagan, Hutan Lindung Dirambah’ yang dilansir media ini Kamis (17/2) kemarin.

Direktur Program YLI, Prof Dr Ir Yuswar Yunus MP dalam surat klarifikasi kepada Serambi kemarin mengatakan, pertemuan dengan DPRA (Pansus XI, Komisi B dan Komisi D) berjalan sangat baik. Tujuan DPRA mengundang YLI untuk menerima masukan atas berbagai kegiatan yang dilakukan oleh YLI. Sedangkan YLI tidak pernah menyatakan menyetujui konsep Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) yang dibuat DPRA.

“Tapi yang benar adalah YLI bersedia memberikan masukan informasi dan data kepada lembaga-lembaga penyusun RTRWP, yaitu Pemerintah Aceh, Aceh Green, DPRA dan lain-lain sesuai dengan peraturan dan perundangan yang masih berlaku serta berdasarkan kemampuan YLI,” urai Yuswar.

Menurut Yuswar, YLI tidak pernah membicarakan dan menghubungkan masalah moratorium logging dengan kerusakan hutan Aceh seperti judul berita hari ini (kemarin-red). Angka yang diberikan oleh YLI tersebut merupakan angka kerusakan hutan yang diperoleh dari analisis citra satelit Landsat ETM+.

“Perhitungan dan telaahan YLI berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis Citra Landsat ETM+ tahun 2006-2009 menujukkan bahwa kerusakan hutan Aceh mencapai sekitar 92.600 Ha, dimana 34 persennya berada pada kawasan hutan, bukan di hutan lindung seperti yang diberitakan hari ini (kemarin-red),” jelas Yuswar.

Sementara itu, Ketua Pansus XI DPRA, Ir Jufri Hasanuddin dalam surat klarifikasi kemarin menjelaskan pertemuan Ketua DPRA, Pansus XI dan Komisi B dengan YLI yang berlangsung di Gedung Serbaguna DPRA, Rabu (16/2) bukan atas undangan DPRA. Tetapi permintaan YLI kepada Pimpinan DPRA dengan alasan ingin memberi masukan terkait Pansus XI DPRA saat ini sedang menyusun dan membahas Raqan RTRW Aceh baru.

“Penjelasan ini kami sampaikan untuk keadilan dengan alasan pegiat lingkungan lainnya yang melakukan pertemuan dengan pimpinan DPRA dan Pansus XI, atas permintaan sendiri,” demikian penjelasan Jufri.(hd)

Sumber : Serambinews.com

Moratorium tak Mampu Cegah Pembalakan Hutan

* Di Nagan, Hutan Lindung Dirambah
Thu, Feb 17th 2011, 10:20

BANDA ACEH - Yayasan Leuser Internasional (YLI) menyatakan, kerusakan hutan lindung di Aceh semakin parah. Hasil foto Citra Satelit Lancet ITM yang dilakukan akhir 2009 memperlihatkan luas kawasan hutan yang rusak mencapai 92.000 hektare. Dari jumlah itu, 34 persen atau 31.280 hektare terjadi pada kawasan hutan lindung.

Informasi itu disampaikan Direktur Program YLI, Prof Dr Ir Yuswar Yunus MP kepada Serambi, Rabu (16/2) di Gedung Serbaguna DPRA, usai pertemuan dengan Pimpinan dan anggota DPRA mengatakan, pihaknya diundang DPRA untuk memberikan masukan terhadap penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh yang baru. “YLI sangat setuju dengan konsep yang dibuat DPRA, mempertahankan kawasan hutan lindung yang telah ada dan memberikan ruang budidaya yang pantas dan ideal untuk masyarakat,” kata Yuswar.

YLI, kata Yuswar, kurang sepakat dengan konsep lembaga tertentu yang akan menambah ruang hijau yang seharusnya kawasan itu dijadikan kawasan budidaya. Menurutnya, kalau semua dijadikan ruang hijau, ruang buadidaya masyarakat semakin terjepit dan ini sangat berbahaya. “Konsep reboisasi kita dukung, tapi areal untuk masyarakat berbudidaya juga harus diberikan,” katanya.

Ketua DPRA, Drs H Hasbi Abdullah didampingi Ketua Pansus XI DPRA, Jufri Hasanuddin mengatakan, pihaknya mengundang YLI ke DPRA untuk meminta masukan terhadap RTRW Aceh yang baru, terkait masalah lingkungan. Masukan itu sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan draf Raqan RTRW yang sedang dibahas bersama eksekutif.

Hutan lindung Nagan
Tidak kurang 100 hektare kawasan hutan lindung di pegunungan Singgah Mata, Kecamatan Beutong dan Kecamatan Persiapan Beutong Benggala, Kabupaten Nagan Raya, dirambah oleh penebang liar. Aksi itu terkesan sangat sulit dicegah.

Komandan Polhut Nagan Raya Wilayah Beutong, Zainal Abidin kepada Serambi, Rabu (16/2) mengatakan, aksi perambahan hutan di perbatasan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah itu masih terus terjadi dan semakin mengamcam lingkungan.

Menurut Zainal, meski setiap hari dilakukan patroli, namun perambahan yang diduga melibatkan masyarakat sekitar sulit dihentikan. Selain sulitnya medan, aksi pembalakan liar itu juga berdalih untuk pembangunan rumah dan permukiman. “Anggota Polhut juga sangat minim sedangkan wilayah yang harus diawasi sangat luas,” kata Zainal.

Beberapa waktu lalu Pemerintah Aceh juga menurunkan tim ke lokasi hutan lindung yang dirambah dengan melakukan berbagai upaya termasuk mengukur areal yang telah ditebang. “Menurut perkiraan kami, ada 100 hektare kawasan hutan lindung Singgah Mata yang dirambah,” demikian Zainal.(her/edi)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 28 Maret 2011

Rumit, Syarat Menambang di Hutan Lindung

Sat, Feb 12th 2011, 08:23

BANDA ACEH - Kepala Sekretariat Aceh Green M Yakob Ishadamy mengatakan, untuk melakukan eksploitasi di kawasan hutan lindung membutuhkan persyaratan yang sangat rumit, antara lain tidak boleh dalam bentuk tambang terbuka. Kecuali itu, juga butuh teknologi yang canggih dan ramah lingkungan. “Dimungkinkan memang melakukan eksploitasi di kawasan hutan lindung, namun ada prosedur teknis yang sangat panjang,” kata M Yakob Ishadamy kepada Serambi di Banda Aceh, Jumat (11/2).

Dijelaskan, di dalam Undang-Undang Kehutanan sudah dijelaskan secara rinci syarat-syarat melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Misalnya saja, jelasnya, harus dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah. Itu pun dengan syarat tidak boleh mengakibatkan permukaan tanah turun dan berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen. “Itu sebabnya butuh waktu bertahun-tahun dan biaya besar untuk membuat studi kelayakan,” kata alumnus Institut Pertanian Bogor ini.

Sayangnya, kata Yacob, selama ini penghitungan “untung-rugi” secara menyeluruh sebuah proyek pertambangan tidak dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh pihak swasta. Sehingga keobjektifan studi kelayakan pun menjadi pertanyaan. “Ini menjadi salah satu persoalan,” katanya lagi. Ditambahkan, izin Pinjam Pakai Hutan harus diperoleh dari menteri kehutanan dengan rekomendasi gubernur. Bahkan jika mengacu pada peraturan Menhut tahun 2008, izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas harus mendapatkan izin DPR RI. Yacob juga berharap pemerintah mengawasi tahap eksplorasi atau survei agar tidak terjadi penyimpangan izin-izin yang telah dikeluarkan. Sementara Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh T Muhammad Zulfikar menyebutkan, Walhi sedang mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) No 4 tahun 2009 tentang Kehutanan. Dijelaskan, UU itu kontradiktif, karena masih memberikan peluang penambangan di hutan lindung meski dengan syarat yang sangat ketat. “Kita bahkan ingin setiap ada penambangan harus ada izin masyarakat sekitar. Soalnya, yang merasakan dampak masyarakat sekitar. Kita tunggu saja hasil di MK,” kata Muhammad Zulfikar.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Said Ikhsan membenarkan bahwa izin eksploitasi untuk penambangan di kawasan hutan lindung tidak mudah diberikan. “Harus dihitung manfaat dan kerugian yang diperoleh secara menyeluruh. Izin-izin untuk eksploitasi di hutan lindung tidak kita prioritaskan,” katanya kepada Serambi, Jumat (11/2).

Catatan Serambi, banyak perusahaan yang mendapatkan izin survei atau eksplorasi emas di berbagai hutan lindung di Aceh. Salah satunya di Kecamatan Geumpang, Pidie. Ada bahkan perusahaan di kawasan tersebut yang sudah memperpanjang izin surveinya hingga dua tahun ke depan. “Kalau mereka sudah tahu sangat rumit prosedur mendapatkan izin menambang di hutan lindung, ngapain disurvei terus-terusan. Jangan-jangan bukan survei yang dilakukan sekarang, tapi sudah tahap eksploitasi emasnya,” kata seorang pemerhati lingkungan kepada Serambi. (sak)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 22 Maret 2011

Duta Besar Kanada : Aceh Prospek untuk Investasi

Thu, Feb 10th 2011, 08:48


Gubernur Aceh Irwandi Yusuf berbincang-bincang dengan Duta Besar Kanada Mr Mackenzie Clugston seusai memberi keterangan pers, sesaat setelah mereka melakukan pertemuan tertutup selama dua jam di ruang kerja Gubernur, Rabu (9/2). Mackenzie ke Aceh dalam rangka melihat sejumlah proyek bantuan Kanada bernilai 2 juta dollar pascatsunami.FOTO/HUMAS PEMDA

BANDA ACEH - Duta Besar Kanada, Mackenzie Clugston, menilai Aceh termasuk salah satu daerah yang memiliki prospek untuk investasi. Indikasi itu ia lihat dari kondisi Aceh saat ini yang sudah aman dan memiliki sumber daya alam cukup besar, yang belum diolah secara maksimal.

“Bagaimana cara untuk menarik investor bisa menanamkan modalnya di daerah sangat tergantung dari pemerintah dan masyarakatnya,” ujar Mackenzie kepada wartawan usai melakukan pertemuan tertutup selama dua jam dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Rabu (9/2).

Menurut Mackenzie, rakyat dan pemerintah Kanada sangat berempati kepada masyarakat Aceh, terutama pascabencana tsunami. Buktinya pemerintah Kanada sudah memberi bantuan untuk Aceh sebesar 2 juta dollar.

Gubernur Irwandi Yusuf mengatakan, duta besar Kanada ke Aceh selain untuk melihat sejumlah proyek bantuan yang diberikan, juga untuk menjajaki bantuan lanjutan dan juga soal investasi di Aceh.

Kalau ada pengusaha Kanada yang ingin berinvestasi di sektor pertanian atau perkebunan, Irwandi menyatakan pihaknya sudah menawarkan lahan. Karena Aceh saat ini memiliki satu juta hektare lahan yang cocok untuk areal pertanian dan perkebunan. “Termasuk pertambangan batu bara ada kita tawarkan,” ungkap Irwandi.(sup)

Sumber : Serambinews.com

DPRA Tolak Bahas Proyek Otsus 2011

Dokumen Pendukung tak Tersedia

Tue, Feb 8th 2011, 10:14

BANDA ACEH - Kelompok Kerja (Pokja) II Badan Anggaran DPRA yang melakukan pembahasan bersama RKA RAPBA 2011 milik Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Senin (7/2) kemarin menolak untuk membahas paket proyek fisik yang bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) maupun dana tambahan bagi hasil minyak dan gas (migas) kabupaten/kota senilai Rp 1,1 triliun.

“Penolakan itu kita lakukan, karena Dinas BMCK dan Bappeda Aceh tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung usulan paket proyek otsus maupun tambahan bagi hasil migas 2011 kepada Pokja II Badan Anggaran DPRA,” ujar Ketua Pokja II Badan Anggaran DPRA, Ir Jufri Hasanuddin kepada Serambi, Senin (7/2) kemarin seusai membahas RKA RAPBA 2011 milik Dinas BMCK Aceh.

Didampingi Sekretaris Pokja, Anwar, Ketua Pokja II Badan Anggaran DPRA itu mengatakan, penolakan tersebut dilakukan karena pada waktu anggota Pokja mempertanyakan usulan paket pembebasan tanah di Kota Banda Aceh senilai Rp 15 miliar, pihak BMCK dan Bappeda Aceh yang dimintai surat persetujuan DPRK dan Wali Kota Banda Aceh atas usulan anggaran sebanyak itu belum bisa menunjukkan dokumennya.

Anggota Pokja punya dasar meminta tanda persetujuan Pimpinan DPRK dan Wali Kota Banda Aceh itu. Dasarnya adalah aturan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengusulan dan Penggunaan Dana Otsus serta Tambahan Bagi Hasil Migas Aceh. Qanun Nomor 2 itu lahir atas perintah Pasal 183 ayat (5) Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 itu dijelaskan, setiap program dan proyek yang diusul yang akan menggunakan dana otsus maupun tambahan bagi hasil migas ke provinsi haruslah yang telah mendapat persetujuan bersama antara pimpinan DPRK dengan bupati/wali kota. Program yang diusul juga harus sesuai dengan isi Pasal 183 UUPA dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.

Persetujuan bersama dari kabupaten/kota itu, ungkap Jufri, diminta DPRA karena berdasarkan pengalaman dua tahun lalu, banyak usulan program dari kabupaten/kota yang menggunakan dana otsus maupun migas yang telah dibahas bersama antara Pokja Badan Anggaran DPRA dengan masing-masing SKPA, para bupati/wali kota dan pimpinan DPRK kabupaten/kota malah minta diganti dengan usulan program yang baru dibuat. Alasannya, usulan program terdahulu belum disepakati bersama. Hal ini sangat merepotkan dan bisa membuat sistem perencanaan pembangunan Aceh tidak fokus pada apa yang akan dicapai dalam tahun berjalan.

Jadi, tegas Jufri, sebelum ada permintaan perubahan anggaran yang telah diusul untuk sebuah program kepada program lainnya dari kabupaten/kota, Pokja II Badan Anggaran DPRA, menolak untuk membahas paket proyek otsus itu. Kepada Dinas BMCK dan Bappeda Aceh diberikan tenggat waktu sampai Kamis (10/2) mendatang untuk menyediakan dokumen pendukung yang diperlukan.

Sementara itu, Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA, Abdullah Saleh menegaskan, pihaknya tidak lagi diberi tugas tambahan memangkas harga satuan barang atau alat tulis kantor (ATK) yang belum rasional/belum memenuhi harga satuan yang telah dibuat Gubernur Aceh.

“Pemangkasan harga satuan yang belum rasional atau belum seragam itu tugasnya Tim Anggaran Pemerintah Aceh,” ujar Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA itu. Sebelumnya, Sekda Aceh, T Setia Budi sudah menegaskan dalam pertemuan dengan Pokja II Badan Anggaran DPRA terkait belum seragamnya harga satuan barang yang terdapat dalam rincian kegiatan anggaran (RKA) masing-masing SKPA yang ditemukan Pokja I-V Badan Anggaran DPRA. Bahwa, menurut Sekda, Pokja Badan Anggaran DPRA tidak perlu sungkan memangkasnya sampai pada harga yang rasional atau sesuai dengan pedoman harga barang yang telah dibuat Gubernur Aceh.

Pernyataan Sekda Aceh itu, kata Ketua Tim Perumus Badan Anggaran DPRA, Abdullah Saleh, dapat diterima. Tapi, dalam Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TPA) juga terdapat tim kecil yang tugasnya mengoreksi penulisan harga satuan barang pada RKA yang belum sesuai dengan harga pedoman satuan barang yang telah diterbitkan Gubernur Nomor: 028/689/2010 tanggal 8 Desember 2010 tentang Penetapan Standar Barang dan Harga Satuan Barang Kebutuhan Pemerintah Aceh untuk Tahun 2011.

Contohnya seperti yang ditemukan Pokja II Badan Anggaran DPRA terhadap RKA Inspektorat dan Biro Pembangunan mengenai harga satuan pembelian kertas HVS folio 70 gram. Inspektorat menulis dalam RKA-nya Rp 41.000/rim, sementara untuk barang yang sama Biro Pembangunan menulis Rp 33.000/rim.

Tugas untuk membetulkan harga satuan barang yang masih berbeda ini, menurut Abdullah Saleh, bukan tugas Pokja Badan Anggaran DPRA, melainkan tugas tim kecil TAPA, yaitu Bappeda, DPKKA, Biro Pembangunan, dan Biro Perlengkapan. Jadi, setelah pembahasan dengan pokja nanti masih ditemukan harga satuan barangnya belum standar atau seragam dalam RKA SKPA, maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah tim kecil TAPA dimaksud.

Menurut Abdullah Saleh, kalau Tim Perumus Badan Anggaran DPRA harus ikut membetulkan angka harga satuan barang yang belum sesuai dengan harga satuan barang yang telah diterbitkan Gubernur Aceh, boleh saja. Akan tetapi, haruslah melibatkan tim tambahan lagi dan waktu pembahasan RKA SKPA bisa bertambah dua minggu lagi. Akibatnya, pengesahan RAPBA 2011 bisa molor sampai akhir Maret. (her)

Sumber : Serambinews.com

Sektor Pertanian Sumbang 34 Persen PDRB Aceh

* Industri Pengolahan Perlu Diperkuat

Tue, Feb 8th 2011, 10:17

BANDA ACEH - Ekonomi Aceh tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mengalami pertumbuh sebesar 5,32 persen. Sementara bila melibatkan minyak dan gas (migas) pertumbuhan yang terjadi sebesar 2,64 persen. Sektor pertanian masih menjadi penopang utama PDRB Aceh dengan sumbangan sebesar 34 persen.

“Hampir seluruh sektor ekonomi yang membentuk PRDB mengalami peningkatan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Aceh ini masih di bawah nasional yang tumbuh 6,1 persen dengan migas, dan 6,6 persen tanpa migas,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Syech Suhaimi, pada konferensi pers, di Banda Aceh, Senin (7/2).

Dikatakannya, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor listrik dan air bersih (16,97 persen), pengangkutan dan komunikasi (6,57 persen), perdagangan, hotel dan restauran (6,536 persen), keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (5,54 persen), sektor bangunan (5,11 persen), pertanian (5,02 persen), dan terakhir sektor jasa-jasa (3,62 persen).

Meski pertumbuhan sektor pertanian berada di bawah rata-rata pertumbuhan PDRB, tetapi sektor ini masih tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB Aceh, baik tanpa migas maupun dengan migas. “Dengan migas, kontribusi sektor pertanian mencapai 28,34 persen sedangkan tanpa migas mencapai 34 persen,” sebutnya.

Dia menilai, pencapaian pertumbuhan ekonomi Aceh itu ada hubungannya dengan perkembangan kondisi ketenagakerjaan dan kemiskinan di Aceh. Dimana untuk pengangguran mengalami penurunan dari 8,71 persen menjadi 8,37 persen dan kemiskinan turun dari 21,81 persen menjadi 20,98 persen. “Saya rasa ada benang merah antara penurunan tersebut dengan membaiknya perekomian Aceh 2010,” ujar Suhaimi.

Kepala BPS Aceh ini juga menginformasikan kalau PDRB per kapita penduduk Aceh juga naik dari Rp 13,3 juta menjadi Rp 14,4 juta. Sedangkan dengan migas naik dari Rp 16,4 juta menjadi Rp 17,2 juta. “Tapi itu masih jauh di bawah PDRB per kapita nasional yang mencapai Rp 27 juta,” imbuhnya.

Industri pengolahan
Pengamat ekonomi Aceh, Rustam Effendi menilai, pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut sudah sangat maksimal. Namun dia menilai, beberapa sektor dalam struktur PDRB Aceh perlu diperkuat, terutama sektor industri pengolahan.

“Data BPS kita lihat, sektor industri pengolahan tanpa migas tumbuh hingga 6,47 persen. Tetapi nilai tambahnya masih sangat sedikit, hanya 3,49 persen. Jadi ini harus diperkuat lagi,” ucapnya. Menurut Rustam, pertumbuhan sektor pertanian harus dibarengi dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan sehingga nilai tambahnya semakin besar. Komoditas yang dipasarkan juga tidak lagi didominasi barang mentah, melainkan telah menjadi barang jadi atau setengah jadi.

“Sektor inilah yang nantinya kita harapkan akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan mampu mengurangi angka kemiskinan di Aceh,” ujarnya lagi.

Rendahnya nilai tambah industri pengolahan ini menurut Rustam, menyebabkan struktur dan pondasi perekonomian Aceh menjadi lemah. “Ekonomi kita seakan-akan tumbuh besar, tetapi strukturnya lemah. Ibarat bangunan, begitu digoyang-goyang langsung roboh,” pungkas Rustam.

Lampaui target
Sementara itu, Kepala Bappeda Aceh T Iskandar, mengatakan, pencapaian pertumbuhan ekonomi Aceh 2010 sebesar 5,32 persen tersebut telah melampaui target Pemerintah Aceh yang ditetapkan dalam RPJM sebesar 4 sampai 5 persen. “Pertumbuhan itu terjadi karena adanya pertumbuhan di sektor pertanian, terutama pertanian tanaman pangan dan perkebunan,” sebut Iskandar.

Tahun 2011 ini, pihaknya menargetkan pertumbuhan ekonomi Aceh bisa mencapai 5,5 sampai dengan 6 persen. Untuk mencapai hal tersebut, dukungan investasi dan perbankan sangat diharapkan, termasuk kerja keras dari para SKPA dan instansi vertikal dalam percepatan pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.

Sektor pendukung utama tetap diharapkan pada sektor pertanian, perdagangan, konsumsi, serta sektor jasa. “Memang tantangannya berat karena diperkirakan akan adanya peningkatan inflasi dan naiknya Suku Bunga Bank Indonesia, tetapi saya optimis itu bisa tercapai,” demikian Iskandar.(yos)

Sumber : Serambines.com

Senin, 21 Maret 2011

Aceh tak Perlu Memelas ke Sumut

Soal Kerusakan Jalan Lintas Selatan

Sun, Feb 6th 2011, 09:51


BANDA ACEH - Lumpuhnya transportasi darat dari wilayah barat-selatan Aceh ke Medan, Sumatera Utara (Sumut) akibat longsor badan jalan mulai dari Lae Ikan (Subulussalam, Aceh) hingga Pakpak Bharat, Sumut harus disikapi serius oleh Pemerintah Aceh. “Bukan dengan memelas ke Pemerintah Sumut, tetapi langsung saja ke Pemerintah Pusat,” kata Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda.

Sebelumnya, Kadis Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Muhyan Yunan mengatakan, sehubungan makin banyaknya longsor badan jalan di lintas Sumut-Subulussalam-Tapaktuan, pihaknya telah berkoordinasi dengan PU Sumut untuk penanganan secepatnya.

Menanggapi informasi dari Muhyan Yunan tersebut, Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda mengungkapkan, pada 2008 lalu, ketika dirinya masih sebagai Ketua Komisi D DPRA, sudah pernah melakukan pendekatan dengan Pemerintah Provinsi Sumut (eksekutif dan legislatif) untuk perbaikan kerusakan jalan nasional di wilayah perbatasan Aceh-Sumut. “Tetapi sampai saat ini mereka tetap tidak peduli. Puncaknya dua hari lalu terjadi longsor yang membuat lumpuhnya hubungan Sumut-Aceh. Saya pikir Sumut memang tak peduli dengan kondisi itu karena merasa tidak terlalu berkepentingan,” kata Sulaiman.

Karenanya, saran Sulaiman, Aceh tak perlu memelas ke Sumut untuk perbaikan ruas jalan tersebut. Langkah yang harus dilakukan secepatnya adalah melobi Kementerian PU. “Itu solusi terbaik karena jalan nasional merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PU,” kata Sulaiman.

Jika perlu, lanjut Sulaiman, Kementerian PU diharapkan bisa menangani secara langsung pemeliharaan/perbaikan lintas Sumut-Aceh tanpa melalui dinas terkait di provinsi. Pemerintah Provinsi Sumut dinilai tidak begitu peduli terhadap jalan itu. “Mungkin kalau ada dana untuk jalan nasional yang dialokasi dalam APBN dan APBD Sumut, tidak digunakan untuk memperbaiki kerusakan jalan di perbatasan Aceh-Sumut, tetapi untuk ruas jalan lainnya yang menurut mereka lebih penting,” kata Wakil Ketua DPRA tersebut.

Harus lepas
Persoalan di jalur selatan itu, menurut Sulaiman Abda harus dijadikan pengalaman berharga oleh seluruh elemen masyarakat Aceh, baik yang duduk di pemerintahan maupun di lembaga legislatif atau para intelektual lainnya. “Sejak sekarang supaya mencanangkan lepas dari keterkaitan dengan Sumut. Itu harus masuk dalam salah satu program prioritas. Kalau kita masih terus tergantung dengan Sumut, maka akan terus dipermaikan seperti ini,” ujar Sulaiman.

Diakuinya, untuk melepaskan ketergantungan dengan Sumut tidak bisa dilakukan dengan mudah, tetapi tetap harus dimulai. Misalnya, soal kebutuhan minyak makan tidak lagi harus didatangkan dari Sumut tetapi harus segera dibuat pabrik pengolahan minyak makan di Aceh. “Bukankah bahan baku utamanya tersedia cukup banyak di Aceh. Begitu juga kebutuhan lainnya, bukan sesuatu yang terlalu sulit bagi Aceh asal semuanya serius,” demikian Sulaiman.(sup)

Sumber : Serambinews.com

BMKG: Waspadai Hujan Ekstrem

Sun, Feb 6th 2011, 09:47

BANDA ACEH - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar, memprakirakan selama tiga hari ke depan, sebagian wilayah Aceh akan terjadi hujan ekstrem dengan curah hujan 30-50 mm/hari, yang disertai angin kencang dan petir berdurasi singkat.

Kepala Bidang Observasi dan Informasi BMKG, Alvianto, melalui Prakirawan Jaya Martuah Sinaga, Sabtu (5/2) kemarin, menyebutkan daerah yang akan mengalami hujan ekstrem yaitu, Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, pesisir Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Singkil, Aceh Utara, dan Aceh Timur.

“Hujan ektrem akan terjadi tiga hari ke depan (6-8 Februari) dengan intensitas sedang hingga berat, yang disertai angin kencang dan petir. Angin bertiup dari timur menuju barat dengan kecepatan 10-45 km/jam,” katanya kepada Serambi, kemarin.

Dikatakan Jaya, pagi hingga siang hari, atmosfir Aceh akan mengalami terik dengan suhu rata-rata 22-32 derajat Celcius, dan kemudian pada sore dan malam hari, diprediksi akan turun hujan dengan intensitas sedang hingga berat yang disertai angin kencang dan petir.

Namun, kata Jaya lagi, situasi itu akan menjadi normal pada tiga hari berikutnya, 9-13 Februari. Jelas Jaya, hal ini dikarenakan pusat tekanan rendah tidak terjadi sekitar wilayah Aceh dan massa udara tidak berkumpul lagi, sebagaimana tiga hari sebelumnya.

“Sebelumnya, ada terjadi gangguan di wilayah Aceh. Terjadi pusat tekanan rendah di Laut Cina Selatan dan di utara Pulau Kalimantan, serta ada daerah pusat tekanan rendah di wilayah barat Aceh, tapi kemudian pada 9-13 Februari, fenomena itu menghilang,” jelas Jaya.

Ditambahkannya, meski cuaca di Aceh kembali normal pada 9-13 Februari, hujan tetap berpeluang turun dengan intensitas ringan. Namun kecepatan angin tetap sama, yaitu 10-45 km/jam yang disertai petir dengan durasi singkat. “Di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Sabang, dan Aceh Besar, berpeluang turunnya hujan pada 9-13 Februari ini,” kata Jaya.

Sedangkan untuk gelombang tinggi, BMKG memprediksi, sepekan ke depan, ketinggian gelombang laut di perairan Aceh dan barat-selatan Aceh maksimum mencapai ketinggian 3,0 meter.

“Dua wilayah perairan Aceh ini, ketinggian gelombang lautnya rata-rata mencapai 1,25-2,5 meter. Sedangkan di perairan utara-timur Aceh, tinggi gelombangnya mencapai 0,75-1,5 meter,” pungkas Jaya.(c47)

Sumber : Serambinews.com

Perubahan Iklim Kurangi Tangkapan Nelayan Aceh

Sat, Feb 5th 2011, 11:41

perubahan iklim berdampak besar terhadap hasil tangkapan ikan nelayan di Aceh. Dalam setahun terakhir, penghasilan rata-rata nelayan dilaporkan berkurang hampir separuh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Panglima Laot Aceh T Bustamam mengatakan, nasib sekitar 58.000 warga di Aceh yang menggantungkan hidupnya pada sektor laut kini tidak menentu. Penghasilan sebagai nelayan pun turun drastis. “Kita tidak tahu sampai kapan kondisi ini berlangsung. Apalagi BMG (Badan Metereologi dan Geofisika) saat ini sangat sering memperkirakan buruknya cuaca. Penghasilan sebagian besar nelayan kita pun turun sampai 50 persen,” kata T Bustamam kepada Serambi di Banda Aceh, Jumat (4/2).

Ditambahkan Bustamam, nelayan yang melaut saja turun drastis penghasilan, apalagi yang tidak pergi ke laut. Cuaca yang ekstrem sangat berisiko boat terbalik atau terdampar. Penjelasan lebih rinci disampaikan Sekretaris Umum Panglima Laot Aceh Umar bin Abd Aziz. Kata Umar, ada beberapa penyebab kecenderungan jumlah ikan terus menurun di perairan Aceh. Pertama, katanya, meningkatnya suhu permukaan laut yang berakibat ikan beremigrasi (ruana) ke kawasan yang lebih dingin. Kedua, perusakan terumbu karang karena penggunaan pukat trawl. Ketiga, tersebarnya bahan kimia oleh berbagai kapal yang banyak mematikan biota laut. “Faktor-faktor ini mengurangi potensi ikan di kawasan tersebut,” kata Umar kepada Serambi, Jumat (4/2).

Ditambahkan Umar, kalau dulu satu mil saja sudah mendapatkan banyak ikan. Saat ini dua-tiga hari berlayar belum mendapatkan hasil yang signifikan. “Tidak aneh kalau kebanyakan mereka terjerat dengan utang,” jelasnya. Dijelaskan, solusi saat ini adalah ketersediaan teknologi yang memungkinkan beradaptasi dengan kondisi alam yang semakin tidak ramah. “Harus ada keseimbangan antara perkembangan teknologi dengan perubahan kondisi alam,” katanya. Maksudnya, jelas pria ini, nelayan-nelayan di Aceh harus menguasai teknologi yang bisa beradaptasi dengan perubahan alam sekaligus teknologi tersebut tidak boleh tertinggal dengan nelayan dari negara tetangga. “Kalau tidak, kondisi nelayan akan terpuruk terus,” katanya. Selain itu, tambah Umar, semua pihak juga harus peduli dengan kondisi lingkungan yang saat ini sedang berubah ekstrem. (sak)

Sumber : Serambinews.com

Jumat, 18 Maret 2011

8 Pejabat Bapedal Aceh Dimutasi

Fri, Feb 4th 2011, 07:57

BANDA ACEH - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Aceh Ir Husaini Syamaun MM mewakili Gubernur Irwandi Yusuf, melantik dan mengambil sumpah delapan pejabat di lingkungan kantor Bapedal Aceh, Rabu (2/2). Bersamaan dengan mutasi juga dibentuk dan difungsikannya lembaga baru, yakni UPTB Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan.

Husaini Syamaun ketika membaca sambutan mengatakan, mutasi merupakan hal yang biasa dalam sebuah organisasi. Dia mengajak pegawai Bapedal bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kinerja. “Kinerja aparatur tidak hanya dilihat dari realisasi APBA, di mana Bapedal Aceh realisasi tahun lalu di atas 98 persen. Kinerja di 2011 harus lebih baik dari 2010,” kata mantan Wakadis Dinas Kehutanan Aceh ini.

Pejabat yang dimutasi yakni Drs Syahrizan Idris PGDSc dari Kasubbid Pencemaran dan Pengelolaan Limbah B3 bidang Amdal menjadi Kepala UPTB Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan. Ir Hanzi dari Kabid Analisis Dampak Lingkungan dirotasi menjadi Kabid Penataan Standarisasi Lingkungan dan SDM, Ir Rosmayani dari Kasubbid Amdal dan Evaluasi Lingkungan dipromosikan menjadi Pj Kabid Amdal, Cut Samsiar Hanum ST MSi dari staf dipromosikan menjadi Kasubbid Amdal dan Evaluasi Lingkungan, M Daud SHut MSi dari staf menjadi Kasubbid Tata Ruang Peruntukan Kawasan pada Bidang, Program, Informasi, dan Tata Ruang Lingkungan.

Selanjutnya Ir Mardiana PGD Sc MT dari staf menjadi Kasubbid Pencemaran dan Pengelolaan Limbah B3 pada bidang Amdal, Amrin STP dari staf menjadi Kasubbag Tata Usaha pada UPTB Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan. Terakhir, Joni ST MT dari Kasubbid Tata Ruang Peruntukan Kawasan menjadi staf di lingkungan Bapedal Aceh.(sak)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 17 Maret 2011

Awal 2012 KKA dan AAF Beroperasi Kembali

Wed, Feb 2nd 2011, 09:23

JAKARTA - Dijadwalkan awal 2012 mendatang pabrik PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA) akan beroperasi kembali. Saat ini sedang dilakukan perbaikan beberapa bagian pabrik yang rusak.

Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar mengatakan hal itu dalam pertemuan silaturrahmi dengan Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh, Senin (31/1) malam di Jakarta.

“Soal AAF dan KKA tidak ada masalah lagi. Tinggal menunggu waktu beroperasi. Insya Allah tidak kendala yang berarti. Soal bahan baku gas juga sudah diatasi,” kata Mustafa Abubakar.

Anggota DPR dari Aceh Marzuki Daud yang juga Wakil Ketua Tim Pemantau Otonomi Khusus (Otsus) Aceh dan Papua, secara khusus mengingatkan kembali tentang rencana revitalisasi kawasan industri Aceh Utara. “Kita memang minta agar kawasan industri Aceh Utara dapat dihidupkan kembali secepatnya. Diinformasikan kepada Forbes bahwa Kementerian BUMN terus berusaha keras mewujudkan harapan itu. Tahun depan dijadwalkan sudah beroperasi,” kata Marzuki Daud mengutip pertemuan yang berlangsung sampai pukul 22.00 WIB.

Marzuki mengatakan, masyarakat di Aceh sangat menginginkan industri-industri besar di Aceh bisa beroperasi kembali seperti sedia kala. “Dengan begitu akan mampu mendorong percepatan pembangunan,” kata Marzuki Daud, politisi Partai Golkar. Diberitahukan pula, bahwa di Aceh juga akan dibangun satu pabruk semen lagi di Laweung Aceh Pidie.

Dalam pertemuan itu Mustafa Abubakar juga menyambut baik usulan Anggota DPD asal Aceh Tgk Abdurrahman BTM agar menteri BUMN menaruh perhatian terhadap pembangunan pondok pesantren atau dayah di Aceh. Diutarakan bahwa pondok pesantern di Aceh selama ini masih sangat kekuarangan fasilitas. Padahal pesantren atau dayah adalah lembaga pendidikan yang mendidik generasi muda dalam bidang agama.

“Kita berterima kasih kepada menteri yang telah bersedia membantu pesantren di Aceh. Ini sebuah langkah maju yang patut disyukuri,” kata Tgk Abdurrahman BTM seusai pertemuan.

Pertemuan Mustafa Abubakar dengan Forbes itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan untuk mempercepat laju pembangunan Aceh. Marzuki mengatakan, pertemuan serupa direncanakan berlangsung tiap bulan.(fik)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 13 Maret 2011

Pengusaha Turki Berniat Investasi Listrik di Aceh

Mon, Jan 31st 2011, 07:58

BANDA ACEH - Pengusaha asal Turki menyatakan ingin berinvestasi di bidang kelistrikan yang menggunakan tenaga air atau pembangkit tenaga mikrohidro di Aceh. Keinginan itu tersebut disampaikan saat bertemu dengan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar di Banda Aceh, Sabtu (29/1).

“Mereka menyatakan serius untuk berinvestasi di Aceh. Dalam waktu dekat mereka akan terjun ke lapangan untuk melihat daerah yang cocok untuk dikembangkan pembangkit listrik tersebut,” kata Nazar.

Menurut Nazar, Aceh memiliki banyak potensi investasi untuk dikembangkan, salah satunya sektor kelistrikan tenaga air. “Kemunginan besar investasi yang akan dilakukan itu di daerah pantai barat selatan yakni kawasan sungai yang terdapat dari Teunom, Kabupaten Aceh Jaya sampai Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan,” sebutnya.

Nazar menyebutkan, awal Februari 2011 para investor tersebut akan melakukan tinjauan lapangan guna memilih kawasan yang tepat untuk menanamkan modal usahanya di Aceh. Investor tersebut akan membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang memiliki kekuatan 5-25 megawaat (MW).

“Kami berharap dengan hadirnya pembangit listik dan beroperasi, maka pembangkit listrik yang sedang dibangun di sejumlah kabupaten/kota di Aceh dapat mencukupi arus di masa mendatang,” demikian Nazar.(ant)

Sumber : Serambinews.com

Aktivis LSM Nilai Pembangunan belum Merata

5 Tahun Irwandi-Nazar
Sun, Jan 30th 2011, 09:02

BANDA ACEH - Aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar. Dalam lima tahun terakhir, kinerja Pemerintah Aceh dari sisi anggaran, penegakan hukum, dan pemerataan pembangunan, dinilai belum mampu memberi keadilan bagi rakyat dan belum merata.

Penilaian ini disampaikan Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Isra Safril, Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh, Teuku Neta Firdaus, dan Ketua Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh Auzir Fahlevi SH. Mereka mengirim pernyataan tertulis melalui surat elektronik kepada Serambi, Sabtu (29/1). Isra Safril menilai, anggaran yang begitu besar belum seimbang dengan tingginya daya serap APBA. Kondisi ini membuktikan bahwa tingkat kreatifitas dan produktifitas Pemerintah Aceh melalui SKPA masih lemah. Kondisi ini tidak membuat pemerintah menekan belanja aparatur, malah naik setiap tahun.

Isra mengatakan, peningkatan alokasi belanja aparatur (tahun 2008 sebesar Rp 732 miliar, 2009 Rp1,13 triliun, 2010 Rp1,14 triliun, dan 2011 Rp 1,16 triliun), menunjukkan pemerintah Aceh hanya mampu menghabiskan anggaran untuk belanja aparatur, tapi tidak optimal menggunakan belanja publik. “Seharusnya pemerintah Aceh memberi penghargaan bagi SKPA yang kinerja bagus, dan memberi sanksi bagi SKPA yang tidak mampu,” pinta Isra Safril

Ketua GeMPAR Aceh Auzir Fahlevi SH menilai, kinerja pemerintah Aceh belum mampu mengakomodir semua aspek pembangunan dan kesejahteraan masyarakat secara komprehensif. Faktanya, banyak pembangunan insfastruktur seperti jalan dan jembatan yang diharapkan pembangunannya oleh masyarakat malah tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh. “Pemerintah Aceh hanya bertindak cepat bila usulan pembangunan jalan dan jembatan diusulkan oleh kelompok tertentu,” ujarnya.

Terhadap keberhasilan, GeMPAR mengapresiasi pada program BKPG karena ini menjadi salah satu model kemandirian pembangunan gampong. Terkait JKA, Auzir menilai ini program bagus Irwandi-Muhammad Nazar. “Kami menilai programnya bagus, hanya saja pelaksaaan di lapangan masih amburadul sehingga banyak warga mengeluh dengan aturan birokrasi dan perlakuan petugas medis,” katanya.

Koordinator Badan Pekerja SuAK Aceh, T Neta Firdaus mengkritik realisasi pembangunan di pesisir pantai barat-selatan yang hanya sebatas slogan. Begitujuga janji mendatangkan investor, membangun perekonomian rakyat, membuka akses perdagangan internasional, pemberantasan korupsi, menurunkan angka pengangguran, melindungi hutan Aceh dari konsep hijau, serta harga yang begitu mahal di Aceh belum memuaskan publik dan hanya sebatas slogan.(swa)

Sumber : Serambinews.com

Kualitas Nilam Aceh Terbaik di Dunia

* Puskud dan BNN Jalin Kerja Sama
Sun, Jan 30th 2011, 08:34

BANDA ACEH - Aceh dinilai cukup potensial untuk mengembangkan komoditas nilam berskala besar. Selain kualitas nilam Aceh merupakan yang terbaik di dunia, Aceh juga tercatat sebagai daerah penyumbang terbesar ekspor nilam Indonesia.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Bogor, minyak nilam asal Aceh memiliki kandungan zat minyak (rendemen) 2,5 hingga 3,3 persen. Sementara rendemen rata-rata nilam di dunia maksimal hanya 2,5 persen. “Mutu nilam Aceh terbaik di dunia.” kata Ketua Pusat KUD (Puskud) Aceh, Ir M Hanafiah, kepada Serambi, Sabtu (29/1).

Hanafiah menjelaskan, secara sepintas lahan tempat tumbuh nilam tak jauh berbeda dengan ganja yang dikenal subur di Aceh. Karena itu, prospek Aceh untuk mengembangkan nilam daam skala besar menurut dia cukup besar.

Aspek lain, pasar nilam di dunia juga masih terbuka cukup lebar mengingat produksi yang ada baru mampu memenuhi sekitar 15 persen dari total kebutuhan dunia. Indonesia menyumbang 80 persen dari kebutuhan tersebut, yang 75 persennya ternyata berasal dari Aceh. “Jadi Aceh punya prospek bagus mengembangkan nilam. Ini dapat menjadi alternatif petani untuk meningkatkan perekonomian,” ujar Hanafiah.

Kerja sama
Mengingat tingginya prospek pasar nilam, Puskud Aceh bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) mulai mengembangkan komoditas nilam di Aceh, di antaranya dengan menggebrak program tanam nilam di beberapa kawasan seperti di Lamteuba Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya.

Di Aceh Besar, program sudah memasuki proses penanaman di lahan seluas enam hektare yang melibatkan KUD dan tiga kelompok tani. Panen diperkirakan akan berlangsung Juni mendatang. Sedangkan di Pidie dan Pidie Jaya juga sudah memasuki tahap penyemaian dan pembersihan lahan seluas 300 hektare yang melibatkan 12 kelompok tani.

“Program ini juga bekerja sama dengan Jepang melalui sistem sharing profit (bagi hasil). Tahap pertama ini tersedia dana sekira Rp 9 miliar, mulai dari penyediaan lahan, penanaman, produksi, dan penyulingan. Kita akan berkoordinasi dengan Disperindagkop Aceh guna membina para petani,” ucap Hanafiah.

Untuk mendukung program tersebut, juga telah disediakan mesin penyuling berteknologi tinggi di Tangse, Pidie, yang diprakarsai oleh sejumlah ahli dari Bogor. Dengan mesin ini, keuntungan yang diperoleh petani akan lebih besar. “Dari 40 kilogram daun nilam, minyak yang dihasilkan mencapai 1 kilogram. Sementara biasanya, dari 100 kilogram daun, minyak yang dihasilkan hanya sekitar 1 ons,” sebut Ketua Puskud Aceh ini.

Dalam program ini petani juga akan dibantu dalam hal packaging (pengemasan) dan pemasaran. Nilam biasanya tumbuh, di lahan dengan ketinggian 100 meter dpl, dengan suhu tak terlalu dingin. Harga jual cenderung fluktuatif, dari Rp 600.000 hingga Rp 1 juta per kilogramnya.(gun)

Sumber : Serambinews.com

Perusahaan Pertambangan Harus Perhatikan Warga

Sun, Jan 30th 2011, 07:58

BANDA ACEH - Perusahaan yang bergerak mengeksploitasi bumi Aceh diminta untuk tetap menjaga komitmen, memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Pertambangan sumber daya alam atau migas oleh perusahaan swasta yang bermitra dengan pemerintah kabupaten/kota harus melalui prosedur dan menguntungkan rakyat setempat.

Hal itu dikatakan Wakil Gubernur Muhammad Nazar saat menjadi Keynote Speaker pada Rakerprov Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh di Hotel Sultan kemarin. “Sejak awal masuk investor ke Aceh, harus ada komitmen dulu dengan masyarakat, bahwa konsesi yang dibuat akan menguntungkan masyarakat setempat,” kata Muhammad Nazar. Dalam beberapa kasus eksploitasi sumber daya alam baik pertambangan maupun migas, kerap memunculkan berbagai persoalan.

Salah satunya pemenuhan hak-hak masyarakat di wilayah kerjsama (konsesi) yang sering terabaikan. Menurut Muhammad Nazar, pemerintah sejak awal sudah berkomitmen agar setiap aktivitas ekspoitasi sumberdaya alam dapat memberi keuntungan kepada masyarakat setempat. Komitmen ini, tegas Wagub, harus diwujukan dalam bentukan perjanjian konsesi yang telah disepakati.

“Selama ini kerap ditemukan berbagai persoalan muncul setelah izin dikeluarkan. Karena itu sejak awal investor kita harapkan sudah membuat kesepakatan dulu dengan masyarakat,” tegasnya. Dalam kesempatan yang sama Wagub Muhammad Nazar juga menyorot soal kinerja para kepala SKPA.

Menurut Nazar, kepala SKPA diminta tidak terlibat politik praktis dan sebaliknya harus bekerja profesional mendukung pemerintah sampai masa jabatan berakhir. “Para kepala dinas harus bekerja profesional. Jangan berpolitik,” tegasnya.

Sementara itu, terkait Rakerprov KNPI Aceh, Wagub mengatakan para pemuda jangan menjadi penonton di daerah sendiri dan harus berperan mengawal perkembangan dan pembangunan. Menurutnya, para pemuda juga diminta tidak eksklusif, karena komponen pemuda juga tersebar di berbagai level masyarakat, termasuk di wilayah pedesaaan.(sar)

Sumber : Serambinews.com

BMKG : Cuaca Ekstrem Hingga Sepekan ke Depan

Sat, Jan 29th 2011, 11:26

BANDA ACEH - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang, Aceh Besar, Jumat (28/1) mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem. Potensi hujan deras disertai angin kencang dan petir diperkirakan akan terjadi di sejumlah wilayah Aceh hingga sepekan ke depan, 29 Januari-4 Februari 2011. Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Blang Bintang, Alvianto melalui prakirawan Jaya Martuah Sinaga, memprediksi, hujan dengan intensitas ringan hingga sedang disertai petir dan angin kencang terjadi di sebagian besar wilayah Aceh.

Wilayah yang terancam cuaca buruk sepekan ke depan yaitu Banda Aceh, Meulaboh, pesisir pantai barat Aceh, Lhokseumawe, perairan utara Aceh, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan kepulauan Sabang. Menurut Jaya, kondisi itu dipicu adanya siklon tropis bianca di perairan sebelah barat Broome, Australia Barat sebelah selatan Denpasar, serta adanya pusat daerah tekanan rendah di Samudra Hindia Barat Daya Aceh yang membentuk pumpunan angin memanjang di wilayah Aceh sehingga terbentuknya belokan angin dan pertemuan massa udara yang berbeda.

“Angin di atas wilayah Aceh bertiup dari utara ke timur laut dengan kecepatan berkisar antara 08-45 km/jam. Intensitas hujan yang turun rata-rata 20-30 mm/hari, maksimum bisa mencapai 50 mm/hari,” kata Jaya. Ketinggian gelombang laut di perairan Aceh dan utara-timur Aceh dalam sepekan ke depan berkisar 2,0-3,0 meter maksimum 3,5 meter. Sedangkan untuk wilayah barat-selatan Aceh, berkisar 2,0-2,5 meter maksimum 3,0 meter. “Untuk nelayan dan jasa pelayaran penyeberangan laut, perlu waspadai kondisi tersebut, apalagi ketika melihat awan besar hitam, karena bisa saja ketinggian gelombang laut di atas 3,5 meter dan kecepatan angin bisa di atas 45 km/jam,” demikian Jaya Martuah Sinaga.(c47)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 06 Maret 2011

Dua Tambang Emas Miliki Izin Produksi

* Mayoritas Berada di Areal Hutan Lindung
Fri, Jan 28th 2011, 09:21

BANDA ACEH - Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Ir Said Ikhsan MSi menyatakan, dari 38 perusahaan tambang emas yang telah melakukan eksplorasi (penyelidikan deposit emas) di wilayah Aceh, baru dua perusahaan yang telah mendapatkan izin produksi (eksploitasi). Kedua perusahaan itu adalah PT Multi Mineral Utama dan Koperasi Cempala Sakti.

Dua perusahaan tambang emas yang telah mendapatkan izin produksi itu di lokasi yang berbeda. PT Multi Mineral, lokasinya di Kabupaten Aceh Selatan dengan luas areal tambang sekitar 1.000 hektare, sedangkan Koperasi Cempala Sakti di Kabupaten Nagan Raya dengan luas areal tambang sangat terbatas hanya 42,22 hektare.

“Izin operasi tambang PT Multi Mineral Utama sampai 10 Desember 2027 dan Koperasi Cempala Sakti 21 April 2015,” kata Said Ikhsan kepada Serambi, Kamis (27/1). Ia menambahkan, lokasi penyelidikan (eksplorasi) perusahaan tambang emas yang telah mendapat izin penyelidikan deposit emas itu, pada umumnya berada di areal hutan lindung.

Terkait dengan masalah ini pada tanggal 10 Nopember 2010 lalu, pihaknya telah menyurati 38 perusahaan yang telah mendapat izin untuk melakukan penyelidikan deposit emas di Aceh dalam melaksanakan operasi eksplorasi dan eksploitasi bahan tambangnya perlu memperhatikan UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, surat Menteri Kehutanan Nomor S. 95/Menhut-IV/2010 tanggal 25 Februari 2010 prihal Laporan Penggunaan Kawasan Hutan yang tidak prosedural.

Surat tertanggal 10 Nopember 2010 yang dikirimkan kepada 38 perusahaan tambang emas yang sedang melakukan penyelidikan maupun yang mau melakukan produksi bahan tambangnya itu, kata Said Ikhsan, untuk menyikapi Surat Gubernur Aceh tertanggal 12 Maret 2010 yang dikirimkan kepada para bupati/walikota yang di daerahnya ada kegiatan eksplorasi bahan tambang.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dalam suratnya meminta para Bupati dan Wali Kota agar membentuk tim terpadu kabupaten/kota dalam melaksanakan program penanggulangan masalah pertambangan tanpa izin. Selain itu, menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya kepada Gubernur Aceh secara berkala enam bulan sekali.

Kemudian, memprioritaskan kegiatan pengusahaan pertambangan eksplorasi dan operasi produksi di luar kawasan hutan lindung, dan mencabut/membatalkan izin usaha pertambangan yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana tercantm dalam lampiran Keputusan Bupati/Wali Kota tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan.

Jadi, kata Kadistamben Aceh itu, pihaknya menyurati perusahaan tambang emas untuk selalu mematuhi kewajiban, karena kita tidak ingin penyelidikan deposit bahan tambang dan produksi yang dilakukan perusahaan tambang di areal kawasan hutan lindung dan ekosistem Lauser nantinya dapat merusak kawasan hutan lindung dan ekosistem Lauser.

Penertiban dan pengawasan pencarian deposit bahan tambang itu, kata Said Ikhsan, harus dimulai dari perusahaan yang telah mendapat izin usaha pertambangan. Setelah yang punya izin melaksanakan kegiatan usaha pertambangannya dengan tertib, baik dan ramah lingkungan, baru tahap berikutnya menertibkan usaha tambang yang belum memiliki izin.

Pengawasan ini dilakukan sejalan dengan program pencanangan Aceh Green yang dilansir Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, tahun lalu dan untuk meminimalisir dan mencegah sedini mungkin ancaman kerusakan lingkungan untuk anak cucuk ke depan, mulai dari jumlah yang sedikit. Misalnya di Aceh jumlah perusahaan tambang untuk berbagai jenis bahan tambang baru sekitar 135 perusahaan.

“Kalau jumlah perusahaan tambangnya telah mencapai ribuan, baru ditertibkan seperti di Kalimantan Timur mencapai 1.296 perusahaan, masalah yang dihadapi sangat besar dan konpleks,” ujar Kadistamben Aceh itu.(her)

Sumber : Serambinews.com

PLTA Peusangan Masih Proses Lelang

Wed, Jan 26th 2011, 16:08

MEDAN- Sampai saat ini, belum jelas siapa pemenang tender dan Penerimaan Karyawan pada Proyek PLTA Peusangan-I dan II di Aceh Tengah. "Kita baru proses tender internasional," kata Manager Operasional PT PLN (Persero) Pikitring (Pembangkit dan Jaringan) Sumut-Aceh-Riau Aji Sutrisno, Rabu (26/1) siang. Saat ini masih berlangsung pertemuan dengan pengurus KADIN, HIPMI, Asosiasi Kontraktor Aceh dan Aceh Tengah, PD Pembangunan Tanoh Gayo, dan tokoh masyarakat Aceh Tengah.

Dua perusahaan asing yang ikut tender itu, kata Aji, adalah Shimizu Contraction (Jepang)kerjasama operasi(KSO)PT Wijaya Karya, dan Hyundai Corp (Korea) KSO PT Pembangunan Perumahan. "Pemenangnya baru diumumkan pertengahan Februari ini," tambah Aji yang menjelaskan, PLTA Peusangan I dan II dengan kapasitas 86 megawatt itu, direncanakan akan dimulai tahun ini dengan target 2014 bisa beroperasi .(parlaungan lubis).

Sumber : Serambinews.com

Deputi MDF Aceh-Nias : Pemerintah Harus Pelihara Hasil Rehab-Rekons Aceh

Wed, Jan 26th 2011, 10:01

BANDA ACEH - Deputi Multi Donor Fund (MDF) Aceh dan Nias, Safriza Sofyan, berharap Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memelihara proyek hasil rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekons) yang telah diserahkan donatur menjadi aset milik publik. Aset yang bernilai puluhan triliun rupiah itu juga harus mampu menggeliatkan roda ekonomi masyarakat Aceh. “Menjadi kewajiban kita semua untuk memelihara. Kalau sudah menjadi aset pusat, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk mengalokasikan anggaran yang sesuai. Kalau aset itu masuk ke pemerintah provinsi, maka provinsi pun kita harapkan mengalokasikan anggaran untuk operasional dan pemeliharaannya,” kata Safriza Sofyan kepada Serambi di kantor MDF Aceh-Nias, Prada, Banda Aceh, Selasa (25/1).

Dalam proses pengalihan aset, selama ini MDF memastikan semua aset yang diserahkan ke pemerintah Aceh dan kabupaten/kota teregistrasi dengan baik, sehingga memungkinkan dialokasikan dana operasional dan pemeliharaan, khususnya untuk aset-aset yang strategis seperti pelabuhan dan jalan. “Kalau teregistrasi saja tidak, bagaimana mungkin dialokasikan dana untuk pemeliharaan atau operasionalnya,” kata dia.

Dia juga berharap proyek infrastruktur jalan dan pelabuhan yang sudah ada dioptimalkan pemanfaatannya untuk menggulirkan roda ekonomi. Apalagi ke depan, jelasnya, praktis ekonomi masyarakat Aceh hanya digerakkan oleh anggaran pemerintah, kecuali ada investasi signifikan dari pihak swasta. “Memang untuk menarik investor butuh waktu, namun pemerintah juga harus terus berbenah dan berusaha,” katanya.

Safriza juga memaparkan bahwa lembaga yang dipimpinnya kini memfokuskan diri pada upaya membangun landasan ekonomi masyarakat. Hingga kini MDF yang menghimpun dana hibah dari 15 donor telah menuntaskan sejumlah proyek pentingnya, antara lain, 15.000 unit rumah, 5 pelabuhan, dan lebih dari 550 km jalan provinsi, kabupaten dan nasional, serta lebih dari 2.500 km jalan pedesaan. Beberapa proyek yang sedang dikerjakan dijadwalkan dapat memenuhi target penyelesaian hingga penutupan MDF pada 31 Desember 2012. Namun, hingga kini proyek-proyek MDF yang sudah ditransfer menjadi aset pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di bawah 50 persen jumlahnya. “Proses transfer aset kita harapkan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama,” katanya.

Proyek hibah
Menyangkut proyek jalan Teunom-Meulaboh sepanjang 50 Km yang didanai MDF senilai 37 juta Dolar Amerika (Rp 350 miliar), Safriza mengatakan, saat ini sedang dalam proses tender. Proses pembebasan tanah juga sudah tuntas bulan lalu. “Dalam dua bulan ke depan sudah berjalan operasionalnya,” katanya. Dijelaskan, semua proyek MDF hibah murni 100 persen. “Saya juga ingin mengklarifikasi pemberitaan Serambi sebelumnya yang mengesankan seolah-olah proyek MDF melalui mekanisme pinjaman lunak, itu tidak benar. Proyek MDF 100 persen hibah murni dengan anggaran lebih dari Rp 6,2 triliun yang dialokasikan untuk Aceh dan Nias,” kata Safriza. Dari jumlah tersebut, jelas dia, lebih dari 88 persen porsi anggaran dialokasikan untuk Aceh. (sak)

Sumber : Serambinews.com

21 Anggota DPRA Bahas Raqan Wali Nanggroe

Wed, Jan 26th 2011, 09:43

BANDA ACEH - Sebanyak 21 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari empat fraksi mulai membahas Rancangan Qanun (Raqan) tentang Lembaga Wali Nanggroe. Para anggota dewan ini duduk dalam keanggotan panitia khusus yang dibentuk dengan Surat Keputusan Pimpinan DPRA yang ditandatangani oleh H Hasbi Abdullah (Ketua DPRA), tanggal 11 Januari 2011.

Berdasarkan kopian SK yang diperoleh Serambi Selasa (25/1), Pansus Raqan Wali Nanggroe ini diberikan waktu hingga 14 April 2011 untuk menuntaskan pembahasan raqan tersebut. Hasil pembahasan harus dilaporkan kepada Pimpinan DPRA paling lambat tanggal 18 April 2011.

Dalam SK nomor 1/PMP/DPRA itu, tercantum dalam daftar teratas adalah Hasbi Abdullah sebagai pengarah, Amir Helmi bersama Sulaiman Abda (sebagai koordinator).

Untuk keanggota pansus, Fraksi Partai Aceh mengirim anggota lebih banyak dari fraksi lain. Utusan dari F-PA masing-masing Adnan Beuransyah, Abdullah Saleh, Harun, Nasruddinsyah, M Ramli Sulaiman, Jufri Hasanuddin, Usman Abdullah, Fauzi, Sanusi, dan Tgk Usman Muda.

Dari Fraksi Partai Demokrat masing-masing M Yunus Ilyas, Teuku Iskandar Daoed, Dalimi, dan Jemarin. Kemudian Fraksi Partai Golkar masing-masing Teuku Husin Banta, dan Irmawan. Sedangkan dari Fraksi PPP dan PKS utusan yang dikirim masing-masing Fuadi Sulaiman, dan Murhaban Makam.

Anggota FPKS, Fuadi Sulaiman kepada Serambi Selasa (25/1), mengakui namanya tercantum dalam daftar pansus. Fuadi juga mengakui hingga kemarin pihaknya belum membahas materi yang tercantum dalam raqan tersebut. “Kami akan duduk untuk menentukan struktur pansus serta perekrutan tenaga ahli,” ujarnya.

Fuadi mengusulkan staf ahli pendamping pansus yang direkrut hendaknya terdiri dari akademisi, ahli sejarah, budayawan, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

M Yunus Ilyas membenarkan sudah menerima surat dari Pimpinan Dewan terkait penugasan dirinya sebagai anggota Pansus Raqan Wali Nanggroe. “Saya diusulkan oleh fraksi untuk menjadi anggota pansus,” ujarnya.(swa)

Sumber : Serambinews.com

Walhi Bantah Halangi Pembangunan Jalan

Tue, Jan 25th 2011, 08:43

BANDA ACEH - Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menegaskan tidak akan pernah menghalagi pembangunan jalan, apalagi jika benar-benar diyakini akan bermanfaat bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Hanya saja, pembangunan jalan tembus Muara Situlen (Aceh Tenggara) - Gelombang (Subulussalam) terhalang karena bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia.

Penjelasan tersebut disampaikan Eksekutif Daerah WALHI Aceh, Teuku Muhamad Zulfikar dalam siaran pers yang diterima Serambi Senin (24/1). Siaran pers itu sekaligus dimaksudkan sebagai hak jawab Walhi Aceh, atas dua berita yang dilansir harian ini terkait pembangunan jalan tembus Muara Situlen (Aceh Tenggara) - Gelombang (Subulussalam).

Kedua berita itu adalah edisi Kamis (20/01/2011) hal 14 berjudul “Lintas Subulussalam-Kutacane Masih Terhambat”, dan dilanjutkan pada hari Sabtu (22/01/2011) hal 12 berjudul “Walhi Diminta tak Halangi Pembangunan Jalan”.

Dalam siaran persnya, Zulfikar menyebutkan, sedikitnya ada delapan jenis Peraturan dan Undang-Undang (UU) yang dilanggar dalam pembangunan jalan tersebut. Antara lain, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Pasal 33), UU No. No. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) Konvensi PBB tentang Keanekaragaman hayati, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 3, Pasal 24 dan Pasal 38), UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 149 dan Pasal 150).

Kemudian juga PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Pasal 61 huruf a), PP No.16 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Keppres RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Melihat begitu banyaknya peraturan dan undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang persoalan lingkungan hidup yang seharusnya dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak. Aneh jika kemudian WALHI dianggap telah menghalagi pembangunan jalan tersebut,” ujar Zulfikar.

Ditambahkan, ditinjau dari UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kebijakan pembangunan jalan seperti ini jelas sekali akan menyulitkan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan tugasnya melestarikan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 150 serta dalam mendukung tercapainya Visi Aceh Green (Aceh Hijau).

Meski begitu, kata Zulfikar Muhamad, WALHI sama sekali tidak menghalangi pembangunan jalan dengan tujuan meminimalkan ketertinggalan atau keterisoliran masyarakat. “Namun tentunya tetap dan wajib mempertimbangkan ketentuan-ketentuan aturan dan perundang-undangan yang berlaku secara resmi di Indonesia,” kata dia.(nal)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 03 Maret 2011

Proyek Telantar Capai 1.384 Paket

* Hanya 132 Paket Tertampung RAPBA 2011
Mon, Jan 24th 2011, 10:43

BANDA ACEH - Hingga akhir 2010 masih ada 1.348 paket proyek APBA 2008/2009 senilai Rp 1 triliun yang belum tuntas pembangunan fisiknya alias masih telantar. Nasib proyek telantar itu belum jelas karena RAPBA 2011 hanya mampu menampung pendanaan untuk melanjutkan 132 paket senilai Rp 184,1 miliar. Sedangkan sisanya, 1.216 paket dibutuhkan tambahan anggaran sekitar Rp 821,9 miliar.

Menyikapi masih banyaknya warisan proyek telantar dari APBA 2008/2009 tersebut, Sekda Aceh T Setia Budi selaku Ketua TAPA, Kepala Bappeda Ir Iskandar dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan T Said Mustafa kepada Serambi pekan lalu mengatakan, kekurangan anggaran untuk menuntaskan proyek telantar APBA 2008/2009 itu akan dibahas bersama dengan Pokja Badan Anggaran DPRA yang dimulai pekan ini. “APBA merupakan hasil kerja bersama eksekutif-legislatif, jadi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang muncul bukan hanya di eksekutif,” kata Setia Budi.

Wakil Ketua DPRA Bidang Pembangunan, H Sulaiman Abda yang dimintai konfirmasinya terhadap ribuan paket proyek APBA 2008/2009 yang telantar mengatakan, karena jumlahnya telah diketahui secara ril, maka langkah berikutnya adalah mencari sumber dana untuk membiayainya.

Menurut Sulaiman, ada empat sumber dana yang bisa digunakan untuk membiayai proyek telantar itu, yaitu dana otsus, dana tambahan bagi hasil migas, pendapatan asli daerah (PAD)/penerimaan pendapatan asli Aceh (PAA), dan dana alokasi khusus (DAK).

Menurutnya, pada 2011 ini, Pemerintah Aceh akan menerima dana otsus dari pusat sebesar Rp 4,5 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen atau senilai Rp 2,7 triliun merupakan jatah 23 kabupaten/kota. Dari jatah dana otsus kabupaten/kota tersebut, 20 persen dialokasikan untuk bidang pendidikan. “Ini artinya ada sekitar Rp 540 miliar dana otsus kabupaten/kota wajib dialokasikan untuk bidang pendidikan,” kata Sulaiman kepada Serambi, Minggu (23/1).

Setelah besaran angka dana pendidikan dari dana otsus diketahui, selanjutnya menjadi tugas Bappeda bersama Dinas Pendidikan dan Sekda Aceh selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) melihat kembali usulan kabupaten/kota untuk bidang penididikan.

Ditegaskan Sulaiman, perlu dicermati apakah dalam usulan program bidang pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota ada memasukkan anggaran untuk menuntaskan gedung-gedung pendidikan dan sekolah tahun 2008/2009 yang telantar. Kalau belum dianggarkan, maka pihak provinsi (Bappeda, Disdik, dan Ketua TAPA) harus memanggil Sekda Kabupaten/Kota bersama Kadisdiknya untuk ditanyakan kenapa belum memasukkan anggaran untuk menyelesaikan gedung pendidikan yang telantar itu. “Misalnya, gedung TK, SD, dan SMP. Sedangkan gedung SMA/MA dan SMK menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi,” kata Sulaiman Abda.

Hal yang sama juga berlaku untuk sumber dana tambahan bagi hasil migas. Menurut laporan Dinas Pendidikan Aceh, masih ada 12 kabupaten/kota yang belum mengalokasikan penerimaan dana tambahan bagi hasil migasnya untuk bidang pendidikan. Di antaranya Simuelue, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Besar, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Banda Aceh, Sabang dan Langsa. “Padahal dalam UUPA mengamanahkan wajib dialokasikan,” demikian Sulaiman Abda.(her)

Sumber : Serambinews.com

Kemdagri: Serahkan Ranperda APBD

Friday, 21 January 2011 23:07

JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri mengingatkan dua pemerintah provinsi yakni Papua Barat dan Aceh untuk segera menyerahkan rancangan peraturan daerah (Ranperda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi 2011 untuk dievaluasi.

"Kita sedang menunggu untuk Papua Barat dan Aceh. Kita tunggu dalam minggu-minggu ini untuk diselesaikan," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah, Kemdagri, Yuswandi A Temenggung, ,malam ini.

Ia mengatakan, kemungkinan keterlambatan penyerahan raperda APBD provinsi ke Kemdagri karena adanya masalah dalam pembahasan di tingkat DPRD provinsi.

"Kemdagri telah mengingatkan DPRD untuk mempercepat pembahasannya," katanya.

Sebelumnya pada akhir tahun 2010, Kemdagri mengumumkan 30 provinsi telah menyerahkan raperda APBD untuk dievaluasi, sementara tiga provinsi yakni Papua Barat, Aceh dan Bengkulu belum menyerahkan.

"Saat ini untuk Bengkulu, evaluasi sudah hampir selesai. Jadi tinggal dua provinsi saja dan menurut catatan komunikasi kami, Papua Barat dan Aceh segera mungkin (menyerahkan)," katanya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 185 ayat (1) menyebutkan rancangan perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur, disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

Apabila Mendagri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi perda dan peraturan gubernur.

Tetapi, jika hasil evaluasi menyatakan raperda APBD dan rancangan peraturan gubernur bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka gubernur bersama DPRD harus melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

Sementara itu, berkaitan dengan raperda APBD kabupaten/kota, Kemdagri juga mengingatkan kabupaten/kota yang belum menyelesaikan rancangan peraturan daerahnya untuk segera menuntaskannya.

Sumber : Waspada.co.id

Warga Aceh di Luar Negeri Dukung Kebijakan Gubernur

Mon, Jan 24th 2011, 08:27

LANGSA - Warga Aceh di Eropa yang tergabung dalam World Achehnese Association (WAA) menyatakan dukungannya terhadap Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang tidak menyerahkan lima sub bidang kehutanan kepada Pemerintah Pusat. Mereka menyarankan agar Gubernur segera menyurati Kementerian Kehutanan untuk meluruskan permasalah tersebut.

Sikap dukungan itu disampaikan Koordinator WAA, Tarmizi Abdul Ghani alias Mukarram dalam pernyataan tertulis yang diterima Serambi, Minggu (23/1). Menurut dia, mencuatnya berita kedaulatan hutan Aceh telah diserahkan ke Jakarta, tentu membuat semua pihak tersentak.

Dengan itu, tambah Mukarram, perkumpulan masyarakat sipil Aceh sedunia tetap bersikap bahwa hutan dan laut Aceh adalah milik rakyat Aceh yang dikelola bersama masyarakat internasional. “Siapapun tidak boleh mengklaim bahwa hutan Aceh adalah milik mereka. Karena hutan dan alam Aceh adalah milik masyarakat Aceh yang dikelola bersama masyarakat dunia,” tegas Mukarram.

Ia juga menyarankan agar Kepala Pemerintah Aceh meminta klarifikasi tertulis dari Sekjen Kehutanan Pemerintah Indonesia. “Kami mendukung sikap Gubernur Aceh yang segera merespon kabar bohong yang sangat berbahaya dan berpengaruh terhadap suasana damai dan proses demokrasi yang sedang berjalan di Aceh, termasuk pelaksanaan pilkada mendatang,” kata dia.

Selain itu, warga Aceh juga berharap tidak ada pihak-pihak tertentu di luar Aceh yang mencoba mengganggu kestabilan pemerintahan di Aceh baik dengan pernyataan maupun perbuatan.

Diberitakan sebelumnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf membantah telah menyetujui pengelolaan lima sub bidang kehutanan kepada Pemerintah Pusat untuk dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh.

Bantahan Gubernur itu terkait tudingan bahwa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah menyetujui pengelolaan lima sub bidang kehutanan kepada Pemerintah Pusat, sehingga menimbulkan reaksi keras dari kalangan anggota DPD dan DPR RI asal Aceh.(yuh)

Sumber : Serambinews.com

UUPA Masih Mandul

* Masih Ada 35 Qanun Lagi belum Dibuat
Sun, Jan 23rd 2011, 09:16

BANDA ACEH - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) belum bisa diimplementasikan dengan optimal karena hingga kini tujuah peraturan pemerintah (PP) dan satu peraturan presiden (perpres) belum dikeluarkan pemerintah pusat plus 35 qanun yang menjadi kewajiban Pemerintah Aceh dan DPRA belum juga diterbitkan.

Banyak kalangan menyayangkan karena dampak masih mandulnya UUPA banyak kewenangan Aceh masih tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Penilaian ini diperkuat Staf Ahli Gubernur Bidang Hukum dan Politik, M Jafar SH MHum dengan mengatakan, apabila peraturan tersebut tidak dibuat, dengan sendirinya ketentuan-ketentuan di UUPA tidak bisa dilaksanakan.

Dijelaskan Jafar, UUPA mewajibkan pemerintah membuat sembilan PP dan tiga perpres. Untuk perpres, hanya satu lagi yang belum tuntas, yakni berkaitan dengan Kanwil BPN Aceh dan kabupaten/kota.

Untuk PP, baru dua yang sudah ditetapkan, yakni PP Nomor 20 Tahun 2007 tentang Parpol dan PP Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota di Aceh. “Sebanyak dua PP lagi memang sedang dibahas di kementerian/lembaga terkait, namun sebanyak lima lainnya belum disentuh sama sekali,” kata Jafar kepada Serambi di Banda Aceh, Sabtu (22/1).

Menurut Jafar, tidak semua PP harus sepenuhnya disiapkan oleh pemerintah pusat. Ada satu PP yang drafnya harus disiapkan oleh DPRA bersama Pemerintah Aceh, yakni tentang nama Aceh dan gelar pejabat Aceh. “Yang unik, nama Provinsi Aceh sebagai pengganti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah lama digunakan, namun hingga kini Pemerintah Aceh dan DPRA belum menyiapkan draf tersebut untuk disampaikan kepada pemerintah pusat,” ujar Jafar yang juga mantan Ketua KIP Aceh.

Dampak dari minimnya regulasi penjabaran UUPA menyebabkan banyak kewenangan Aceh masih dipegang oleh pemerintah pusat. Misalnya, soal pengalihan Kanwil BPN Aceh kepada Pemerintah Aceh dan pengalihan Kantor BPN kabupaten/kota kepada pemerintah kabupaten/kota, hingga kini belum ada PP yang mengatur. “Untuk soal ini belum ada kemajuan sama sekali pembahasannya,” kata Jafar.

Di bidang kelautan dan perikanan, dalam ukuran kapal tertentu, pemberian izin tangkap ikan juga masih menjadi kewenangan pusat. Sedangkan Pemerintah Aceh bersama DPRA berkewajiban membuat sebanyak 59 qanun sebagai perintah dari UUPA. Namun, sampai saat ini baru berhasil disahkan 24 qanun. Artinya, qanun yang sudah dituntaskan belum mencapai 50 persen.

Catatan Serambi, pada akhir Desember 2010 DPRA sempat mengesahkan lima qanun baru, namun hingga kini belum diundangkan dalam lembaran daerah. Secara terpisah, anggota DPR RI, M Nasir Djamil yang ditanyai Serambi melalui telepon, Sabtu (22/1) mengatakan, saat ini praktis keistimewaan Aceh pascadamai yang berjalan hanya pada alokasi dana. “Sedangkan pada regulasi belum mendukung. Jadi, implementasi UUPA belum sesuai dengan harapan kita,” katanya. Nasir juga mengatakan bahwa dirinya sebagai Wakil Ketua Tim Pemantau Implementasi Otonomi Khusus sedang menjadwalkan pertemuan dengan berbagai pihak untuk memastikan dana Otsus ke Aceh sampai pada sasaran yang tepat.(sak)

sumber : Serambinews.com

Greenomics : Gubernur tak Bisa Disalahkan Soal Pengelolaan Hutan

Sat, Jan 22nd 2011, 11:29

BANDA ACEH - Direktur Greenomics Indonesia, Elfian Effendi menyatakan, Gubernur Aceh tidak bisa disalahkan sehubungan dengan adanya klaim dari Menteri Kehutanan tentang lima sub kewenangan kehutanan Aceh yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. “Saya menyaksikan sendiri Gubernur telah mengklarifikasi langsung ke Menhut melalui telepon pada Kamis (20/1) malam bahwa Gubernur tak pernah memberikan persetujuan sub kewenangan kehutanan tersebut dalam pembicaraan telepon dengan Menhut. Pembicaraan telepon yang dilakukan bukan soal persetujuan kewenangan,” ungkap Elfian dalam pernyataan tertulisnya kepada Serambi, tadi malam.

Dalam surat berkop Kementerian Kehutanan nomor S.681/Menhut-II/Kum/2010 perihal kewenangan bidang kehutanan di Aceh, tertulis ‘Berdasarkan pembicaraan telepon antara Menteri Kehutanan dengan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam hari Senin tanggal 27 Desember 2010 jam 16.55 WIB, telah disepakati bersama bahwa kelima sub-bidang kewenangan kehutanan Aceh merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat)’. Menurut Elfian ada keanehan dalam surat itu karena Menhut hanya menuliskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan sebagai dasar hukum atas peletakan kewenangan tersebut kepada Pemerintah Pusat. “UUPA tidak disebutkan. Ini jelas tak bisa diterima,” ungkapnya.

Dijelaskan, lima sub kewenangan urusan bidang kehutanan Aceh itu di antaranya terkait dengan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, yang masih berstatus ‘pending issues (masih harus disepakati). “Jika surat itu dibiarkan, kewenangan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menurut UUPA telah menugaskannya ke Pemerintah Aceh, bisa menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,” ujarnya. Ditambahkan, pihaknya telah mengklarifikasi masalah itu langsung dengan Sekjen Kementerian Kehutanan pada Jumat siang kemarin. “Saya sarankan Pak Sekjen melakukan konsultasi kembali soal lima sub kewenangan itu dengan Pemerintah Aceh serta menarik sekaligus membatalkan surat itu. Pak Sekjen mengatakan segera memfasilitasi pertemuan Menhut dan Gubernur agar persoalan lima sub kewenangan itu bisa cepat rampung,” pungkas Elfian.(yos)

Sumber : Serambinews.com

Aceh Bersikukuh Bagi Hasil Migas Lepas Pantai 70:30%

Sat, Jan 22nd 2011, 11:34

JAKARTA - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf bersikukuh menginginkan bagi hasil minyak dan gas (migas) lepas pantai Aceh yang berada dalam wilayah 12 mil sampai 200 mil laut, haruslah dengan perbandingan 70 persen untuk Aceh dan 30 persen pusat. Alasannya, Aceh masih membutuhkan banyak dana untuk membiayai pembangunan pascakonflik dan bencana tsunami. Gubernur Irwandi mengutarakan hal itu dalam pertemuan Tim Migas Aceh dengan Menteri Keuangan Agus Martodardojo di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (21/1) pagi di Jakarta. Pertemuan tersebut membahas finalisasi materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Migas Aceh.

“Pemerintah Aceh dewasa ini membutuhkan dana yang lebih besar untuk melakukan pembangunan bidang ekonomi dan infrastruktur yang hancur akibat konflik berkepanjangan dan bencana tsunami. Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengusulkan pola bagi hasl 70:30,” ujar Irwandi memberi alasan. Pola bagi hasil yang diajukan Gubernur Aceh itu mengacu kepada pola bagi hasil migas di daratan. Gubernur yang didampingi Tim Migas Aceh, Husni Bahri TOB, Mawardi Ismail, A Rahman Lubis, Makmur Ibrahim, dan Surya Darma, menjelaskan bahwa sumber migas di bawah 12 mil laut telah habis dieksploitasi pada masa lalu.

Butuh koordinasi
Menanggapi sikap Gubernur Aceh tersebut, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, didampingi Direktur Dana Perimbangan Ditjen Perimbangan Keuangan Pramujo, Direktur PNBP Ditjen Anggaran Mudjo Suwarno, menyatakan dapat memahami keinginan tersebut. Tapi untuk memberikan keputusan final, Menkeu menyatakan masih membutuhkan koordinasi dengan beberapa kementerian terkait. Menkeu minta waktu satu bulan untuk memberikan keputusan atas apa yang diinginkan Gubernur Aceh. Rapat pembahasan materi RPP Pengelolaan Migas Aceh telah berulang-ulang dilakukan antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Muhammad Nazar juga sempat menyampaikan pernyataan serupa kepada Menkeu dalam sebuah pertemuan di Kementerian Keuangan. Pemerintah pusat memang telah menyetujui pengelolaan bersama migas lepas pantai di atas 12 mil sampai 200 mil laut, tapi belum menyetujui pola dan rasio bagi hasilnya. (fik)

Sumber : Serambinews.com

Aceh Bersikukuh Ingin Bagi Hasil Migas Lepas Pantai

Sat, Jan 22nd 2011, 09:09

JAKARTA - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersikukuh menginginkan bagi hasil minyak dan gas (migas) lepas pantai Aceh yang berada dalam wilayah 12 mil sampai 200 mil laut, dengan perbandingan 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat. Alasannya, Aceh masih membutuhkan banyak dana untuk membiayai pembangunan pascakonflik dan tsunami. Gubernur Irwandi mengutarakan dalam pertemuan Tim Migas Aceh dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (21/1), pagi di Jakarta. Pertemuan itu membahas finalisasi materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Migas Aceh.

“Pemerintah Aceh dewasa ini membutuhkan dana yang lebih besar guna melakukan pembangunan bidang ekonomi dan infrastruktur yang hancur akibat konflik berkepanjangan dan bencana tsunam. Pemerintah Aceh mengusulkan pola bagi hasl 70:30,” ujar Gubernur memberi alasan. Pola bagi hasil yang diajukan Gubernur itu mengacu kepada pola bagi hasil migas di daratan. Gubernur yang didampingi Tim Migas Aceh, Husni Bahri TOB, Mawardi Ismail, Prof A Raman Lubis, Makmur Ibrahim, dan Dr Surya Darma, menjelaskan bahwa sumber migas di bawah 12 mil laut telahhabis diekploitasi pada masa lalu.

Menanggapi sikap Gubernur tersebut, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, didampingi Direktur Dana Perimbangan Ditjen Perimbangan Keuangan Pramujo, Direktur PNBP Ditjen Anggaran Mudjo Suwarno, menyatakan dapat memahami keinginan tersebut. Tapi untuk memberikan keputusan final, Menkeu menyatakan masih membutuhkan koordinasi dengan beberapa kementerian terkait. Menkeu minta waktu satu bulan untuk memberikan keputusannya. Rapat pembahasan materi RPP Pengelolaan Migas Aceh telah berulangkali dilakukan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Beberapa waktu lalu, Wagub Muhammad Nazar juga sempat menyampaikan pernyataan serupa kepada Menkeu dalam satu pertemuan di Kementerian Keuangan. Pemerintah Pusat memang telah menyetujui pengelolaan bersama migas lepas pantai di atas 12 mil sampai 200 mil laut, tapi belum menyetujui pola bagi hasilnya.(fik)

Sumber : Serambinews.com

MDF Diminta Lanjutkan Program Pembangunan Aceh

* Kegiatan Berakhir Juni 2012
Fri, Jan 21st 2011, 09:43

BANDA ACEH - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf meminta pihak Multi Donor Fund (MDF) agar melanjutkan program bantuan dana hibah dan pinjaman lunaknya kepada pemerintah RI untuk Aceh.

“Bantuan MDF itu sangat membantu dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh menjadi positif,” kata Irwandi Yusuf dalam pidato tertulisnya yang dibacakan Asisten II Setda Aceh, T Said Mustafa pada acara Launcing Laporan Program dan Kegiatan MDF selama enam tahun dalam melaksanakan rehab rekon pascatsunami Aceh, di Aula Bappeda Aceh, Kamis (20/1).

MDF adalah lembaga multi donor yang dibentuk untuk membantu pemulihan kembali Aceh dan Nias pascatsunami 2004. Lembaga ini dipelopori oleh Komisi Eropa, Negeri Belanda, Bank Dunia, Norwegia, Swedia, Bank Pembangunan Asia, Kanada, Jerman, Selandia Baru, Inggris Raya, Denmark, Finlandia, USAID, dan Irlandia.

Irwandi mengungkapkan, bantuan manajemen pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diberikan MDF melalui program Economic Development Financing Facility (EDFF) untuk Aceh, sangat membantu masyarakat Aceh untuk memperbaiki mutu produksi hasil perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Menurut Irwandi, bantuan pelatihan peningkatan mutu kakao, kopi, ternak, dan komoditi lainnya yang dilakukan melalui program EDFF, cukup berhasil. Buktinya bisa dilihat dari pertumbuhan PDRB Aceh dari nonmigas Aceh pada triwulan III 2010 terus naik dan tumbuh sebesar 6,20 persen. Program EDFF juga memberikan dampak langsung pada pendapatan petani, peternak, dan nelayan yang akhirnya akan mengurangi jumlah penduduk miskin di Aceh menjadi 20,98 persen.

Pemerintah Aceh, kata Irwandi Yusuf, sangat menyadari MDF serta donor lainnya tidak akan selamanya di Aceh, dan mandatnya akan berakhir Juni 2012 mendatang, sejalan dengan jadual target penyelesaian ruas jalan Tenom-Meulaboh sepanjang 50 Km yang sumber dana pembangunan fisiknya berasal dari pinjaman lunak MDF sebesar Rp 320 miliar.

Terkait dengan sisa waktu masa tugas MDF yang masih ada sekitar 1,15 tahun lagi itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menunjuk Bappeda Aceh untuk membentuk sebuah Aceh Donor Coordinator Forum (AFDC) yaitu sebuah forum koordinasi yang berfungsi untuk mengkoordinasi kegiatan pembangunan.

Manejer MDF, Shamina Khan dalam sambutannya mengatakan, acara launching laporan program MDF di Aula Bappeda Aceh kemarin adalah untuk melaporkan kepada publik, bahwa dari 649,26 juta dolar AS dana bantuan yang diperoleh MDF dari donaturnya, sebesar 499,66 juta dolas AS atau senilai Rp 4,496 triliun, telah disalurkan kepada enam bidang yang menjadi fokus kegiatan MDF.

Anggaran sebesar itu, kata Shamina, telah digunakan untuk enam bidang kegiatan. Untuk infrastruktur dan transport terbesar mencapai 35 persen, kemudian perbaikan lingkungan dan perumahan 32 persen, pemberdayaan ekonomi, peningkatan kapasitas pemerintahan, lingkungan hidup, masing-masing 9 persen dan perbaikan air minum dan lainnya 6 persen.

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefen Koeberle mengatakan, kunci keberhasilan MDF dalam melaksanakan rekontruksinya di Aceh dan Nias, karena kepemimpinan Indonesia yang kuat. Pada awalnya peran ini dimainkan BRR NAD-Nias, kemudian dilanjutkan oleh Bappenas yang dibantu Pemerintah Aceh bersama perangkat SKPA nya, antara lain Bappeda, Dinas BMCK, Dinas Pengairan dan lainnya.

Perwakilan dari Bappenas Dr Supra Yoga Hadi mengatakan, program dan aset yang telah dibuat MDF di Aceh, harus dilanjutkan dan dipelihara dengan baik oleh Pemerintah Aceh bersama masyarakatnya. Pasalnya, untuk membangun jalan, jembatan, irigasi, penyulingan air minum, dan pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat di Aceh, MDF telah mengeluarkan dana mencapai Rp 4,4 triliun. Ini merupakan anggaran yang sangat besar untuk pelaksanaan rehab rekon bencana alam yang pernah dilakukan MDF di dunia.

“Untuk itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh wajib melanjutkan program yang telah dibuat MDF serta memelihara aset yang telah dibuat untuk masa pakai yang lebih lama lagi bagi kemakmuran rakyat,” ujarnya.(her)

Sumber : Serambinews.com

Kepala BPKEL :Gubernur Harus Tuntut Sekjen Kemenhut

Fri, Jan 21st 2011, 08:13

BANDA ACEH - Kepala Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauzan Azima, meragukan keabsahan surat Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI yang memuat pernyataan persetujuan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, menyerahkan pengelolaan lima sub bidang kehutanan kepada Pemerintah Pusat. Karenanya, Fauzan mendesak Gubernur Irwandi untuk meminta klarifikasi kepada Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto terkait isi surat yang ditujukan kepada Kemendagri tersebut.

Dalam siaran pers kepada Serambi Kamis (20/1), Fauzan Azima mengaku sama sekali tidak mempercayai isi surat tentang persetujuan dari Gubernur Irwandi itu. Pasalnya, kata Fauzan, selama ini Gubernur Irwandi menyadari bahwa pengelolaan hutan di bawah pusat akan membuat hutan Aceh semakin hancur. “Karena itu pula Gubernur Aceh mencanangkan Green Aceh, moratorium logging, dan terlibat aktif dalam Forum Gubernur Dunia untuk Perubahan Iklim,” tulis Fauzan.

Berdasarkan hal itu, Fauzan menganggap bahwa tindakan Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto yang menulis bahwa Gubernur Aceh menyetujui pengelolaan lima sub bidang kehutanan kepada Pemerintah Pusat, dilakukan tanpa persetujuan Gubernur Irwandi. “Sebab itu, Gubernur harus minta klarifikasi dan menuntut Sekjen Kemenhut RI Hadi Daryanto karena telah mencemarkan nama baik Gubernur Aceh dengan mengirimkan surat kepada Kemendagri RI),” tukas Fauzan.

Kepala BPKEL ini juga mengatakan, jika RPP yang masih berstatus pending issue itu disahkan, sangat bertentangan dengan semangat UUPA yang merupakan amanah MoU Helsinki. “Semangat UUPA adalah rakyat Aceh diberi hak mengelola sumber daya alamnya sendiri. Lahirnya UUPA bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi butuh waktu 30 tahun lebih dengan pengorbanan nyawa, harta benda, dan air mata,” kata dia.

“Oleh karena begitu pentingnya isu pengelolaan hutan Aceh ini bagi harkat dan martabat rakyat Aceh, maka sebaiknya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf cepat menyelesaikan masalah ini dengan meminta Kemenhut mengklarifikasi. Kalau perlu menuntut Sekjen Kemenhut yang telah mengutip pembicaraan via telepon untuk surat resmi kepada Depdagri,” imbuh Fauzan Azima.(nal)

Sumber : Serambinews.com

Aceh prioritaskan pembangunan jalan

Thursday, 20 January 2011 13:05

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh memprioritaskan pembangunan jalan termasuk "highway" (jalan raya) lintas timur dan lintas tengah guna mempercepat proses perekonomian di provinsi itu.

Koordinator tim pelaksana task force percepatan pembangunan infrastruktur Aceh Muhyan Yunan di Banda Aceh, mengatakan, pembangunan jalan tersebut untuk menciptakan infrastruktur transportasi daerah pedalaman dan bisa membangkitkan perkembangan ekonomi di seluruh wilayah di Aceh.

"Tapi pekerjaan ini tidak mudah, kendala utamanya adalah di bidang pendanaan. Kita butuh dana yang besar untuk membangun, oleh karena itu dibutuhkan peran pihak swasta untuk bisa membantu percepatan pembangunan infrastruktur ini," kata Muhyan yang juga Kepala Dinas Bina Marga Cipta Karya (BMCK) Aceh, siang ini.

Sementara itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui lemahnya pendanaan menjadi kendala dalam proses percepatan pembangunan infrastruktur di Aceh. Di antara kendala tersebut adalah lemahnya peran swasta, terbatasnya anggaran APBN, rendahnya kemampuan perbankan untuk investasi infrastruktur.

"Oleh karenanya mengaktifkan peran swasta menjadi hal penting, termasuk perbankan, karena investasi di bidang infrastruktur memang investasi yang besar dan memiliki risiko yang besar pula, jadi memang harus ada sistem penyebaran informasi dan regulasi yang kuat," katanya.

Selain pembangunan ruas jalan, tim task force juga memprioritaskan pembangunan waduk penampung air, untuk penyedia sumber energi listrik, serta pengembangan sistem pertanian dan mendukung kebutuhan sumber daya air.

Dua waduk yang segera diprioritaskan pengembangan pembangunannya adalah waduk Jambo Aye dan Krueng Keureuto di Kabupaten Aceh Utara.

Sumber : Waspada.co.id

MDF beri bantuan 646 juta dollar

Thursday, 20 January 2011 22:06

BANDA ACEH - Multi Donor Fund (MDF) telah mengalokasikan paket bantuan senilai 646 juta dollar untuk pekerjaan 23 proyek di lima area utama sesuai dengan prioritas pemerintah untuk mendukung keberlanjutan program rekontruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias pasca tsunami. Hal ini dikemukan Manager MDF, Shamima Khan, malam ini.

Dijelaskan, MDF yang didirikan pada Mei 2005 telah mengumpulkan dana dari 15 donor sebesar US $678 juta untuk mendukung pemulihan dan rehabilitasi Aceh-Nias.

“Dana terhimpun merupakan sepuluh persen dari keseluruhan biaya rekonstruksi,”ujar Shamima seraya menyebutkan,setelah beroperasi selama lima tahun lebih, MDF telah membangun kembali atau memperbaiki lebih dari 19.500 rumah, membangun lebih dari 2.600 Km jalan.

Tak hanya itu, MDF juga membangun 7,5 Km jembatan, lebih dari 1.500 Km irigasi dan drainase, 6.000 sumur bor, 483 sekolah, 400 kantor pemerintah lokal atau bali desa, serta 220.000 lebih sertifikat tanah telah didistribusikan.

"Semua ini dapat di capai melalui partisipasi komunitas, di mana penduduk desa diberdayakan untuk menentukan apa yang paling dibutuhkan dalam komunitasnya, melaksanakan pembiayaannya dan memantau kualitas hasilnya," pungkas Shamima.

Selain itu, MDF juga melanjutkan komitmen hingga akhir mandatnya pada Desember 2012. Harapan lainnya, yaitu masa akan datang, Aceh yang aman dan damai sebagai warisan dari rekonstruksi.

Sementara itu, Ketua Perwakilan Bank Dunia, Stefan Koeberle, menyatakan pihaknya sangat bergembira bahwa program yang dijalankan selama ini telah mencapai hasil yang luar biasa.

Dikatakan, proyek MDF berjalan sesuai rencana dalam memenuhi target sebelum penutupan Juni 2012. "Saat ini kami bekerja untuk memperkuat kapasitas lembaga daerah dan meletakkan landasan bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan," jelasnya.

Sumber : Waspada.co.id

Tata Kelola Lingkungan PLB-KTS Terbaik di Aceh

Wed, Jan 19th 2011, 09:09


SONY DSC Tim dari Bapedalda Aceh yang didampingi staf PT KTS sedang memeriksa fasilitas tanki pembuangan limbah B3 di areal pabrik PT KTS, Kaway XVI Aceh Barat. FOTO/IST

BANDA ACEH - Tata kelola lingkungan PT Perkebunan Lembah Bakti (PLB) dan PT Karya Tanah Subur (KTS) ditetapkan sebagai yang terbaik pertama dan kedua di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dua perusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah Grup PT Astra Agro Lestari Tbk tersebut memperoleh penghargaan sebagai yang terbaik itu dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Aceh.

“Ini berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi (monev) yang dilakukan oleh Bapedalda Aceh selama tiga bulan terakhir 2010 terhadap 26 perkebunan kelapa sawit (PKS) di wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,” kata Kepala Bapedalda Aceh Ir Husaini Syamaun MM dalam keterangannya terkait pengumuman pengelolaan lingkungan PKS di wilayah Aceh.

Head of Public Relations PT Astra Agro Lestari Tbk (PT AAL), Tofan Mahdi, kepada Serambi kemarin mengatakan, keberhasilan yang diraih itu tak lepas dari kerja kolektif semua pihak, serta komitmen tiada henti pihak PT AAL untuk senantiasa menciptakan usaha perkebunan sawit yang berbasis pengelolaan lingkungan.

PT Perkebunan Lembah Bakti (PLB) terletak di Kecamatan Singkil Utara Aceh Singkil meraih terbaik pertama. Dan PT Karya Tanah Subur (KTS) di Kecamatan Kaway XVI Aceh Barat meraih rangking kedua.

Sementara Staf SHE (safety, health, and environment) PT KTS, Iqbal, menjelaskan, tim monev Bapedalda tersebut menilai aspek pemenuhan legalitas perusahaan termasuk perizinan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu pencapaian pemenuhan matrik pengelolaan lingkungan hidup pada dokumen AMDAL, ketertiban pelaporan AMDAL, pengelolaan limbah B3, kebersihan pabrik, pemenuhan kualitas baku mutu limbah cair dan emisi udara serta program CSR yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat sekitar, juga dinilai.

Untuk melakukan penilaian ini, tim dari Bapedal Aceh melakukan audit lapangan untuk mengumpulkan data sekaligus melihat langsung kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di setiap perusahaan.

Keberhasilan ini merupakan hasil komitmen manajemen PT PLB dan KTS dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup secara konsisten. Namun begitu, dari hasil audit lapangan oleh Bapedal masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam pengelolaan lingkungan, sehingga jajaran PT AAL tidak berpuas diri dengan pencapaian yang telah ada.

Administratur PT KTS Azhar Rahman mengatakan “PT KTS bukan hanya milik Grup Astra tapi juga merupakan milik seluruh karyawan dan masyarakat yang ada disekitar PT KTS. Apabila PT KTS mampu memperbaiki kinerjanya, maka hasilnya juga akan dinikmati oleh karyawan dan masyarakat dalam bentuk perbaikan fasilitas dan bantuan sosial lainnya.”(*/nur)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 02 Maret 2011

Kepala Daerah Harus Tahu Lingkungan

Tue, Jan 18th 2011, 13:25

BANDA ACEH - Selama ini pengelolaan alam buruk. Indikatornya dilihat intensiitas bencana yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka siapapun yang menjadi kepala daerah (bupati/walikota) di Aceh, harus memiliki apresiasi dan wawasan lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM. Zulfikar kepada Serambinews.com, Selasa (18/1) usai memberikan pengarahan kepada aktivis lingkungan di Banda Aceh, menyebut intensitas bencana alam akibat ekosistem yang rusak makin meningkat. Ia menyebut contoh, bencana banjir pada tahun 2008 saja sebanyak 170 kali, 2009 sebanyak 213 kali, dan tahun 2010 sebanyak 250 kali. "Itu yang sempat dicatat oleh Walhi," ujarnya.

Fenomena itu, paparnya, membuktikan bahwa perencanaan pembangunan di Aceh belum berperspektif lingkungan. Karenanya, kebijakan moratorium logging harus tetap dipertahankan dan implementasinya harus konkrit dan tidak ambigu. "Kita buat slogan Aceh green, namun pemerintah masih memberi perizinan usaha-usaha tambang dan konversi lahan besar-besaran," tukas TM Zulfikar seraya menambahkan, kebijakan itu sangat bertolak-belakang dengan program Aceh Green.

Sumber : Serambinews.com